Bab 13. Petunjuk?

18.7K 1.9K 3
                                    

"Misha, Iqbal yang membunuh DANIA!!!!" nada bicaranya semakin meninggi.

"Istighfar, Dan" aku mengingatkan. Namun, tak ada respon darinya.

"Aku tak ingin menerima informasi mu mentah-mentah. Besok jam 3 sore, datanglah kerumahku. Kita bicarakan ini dirumah. Assalamu'alaikum." aku berjalan menjauh dan meninggalkan Daniel.

"Oke" teriaknya dari kejauhan.

***
"Assalamu'alaikum.." ucapku sembari mengetuk pintu.

"Wa'alaikumsalam" jawab seseorang dari dalam rumah.

Ceklek.

Muncul seorang wanita paruh baya, "Eh ada Misha, sini masuk sayang." ia memberiku jalan agar aku masuk.

"Iya, umi." aku berjalan masuk kemudian duduk di ruang tamu.

"Ada apa, sayang?" tanya umi dengan suara yang begitu lembut.

"Iqbal ada umi?" tanyaku kembali dengan nada yang tak kalah lembut.

"Iqbal ya? Sedang keluar. Kenapa?" terlihat perubahan raut wajah dari Umi.

"Gapapa umi, tolong sampein ke Iqbal. Besok jam 3 aku tunggu dirumah. Umi sama Abi boleh datang juga." aku tersenyum.

"Kenapa misha? Apa ada yang perlu dibicarakan?" raut wajahnya terlihat cemas.

Aku mengangguk, "Iya Umi, ada."

"Perihal apa?"

"Kita bahas besok saja umi. Misha mau pamit dulu, udah jam 5. Kasihan ibu nunggu dirumah.." aku berdiri dan meraih tangan umi, menciun lembut punggung tangannya "Assalamu'alaikum"ak berjalan keluar rumah.

"Misha?" panggil seseorang dengan suara yang sangat lembut, Hani.

"Hani?" aku segera memeluknya erat.

"Aduh, calon kakak ipar nih" ia membalas pelukanku tak kalah eratnya.

"Apaan sih Hani.." aku melepas pelukan kami dan mencubit pinggangnya pelan.

"Semoga lancar yaa..." ia mencubit pipiku.

"Aw" aku segera menepis pelan tangannya. "Sakit tau!"

"Hehe, ga boleh ngambek ah kakak ipar" goda nya lagi.

"Yasudah, aku pulang dulu. Kasihan ibu udah nungguin dari tadi. Dahh" aku melambaikan tangan seakan ingin berpisah lama.

***

"Assalamualaikum.." aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya yang sudah keriput itu.

"Wa'alaikumsalam, tumben agak telat pulangnya?" tanya ibu.

"Iya bu, tadi lagi ada masalah." aku melepaskan tas punggung ku dan menaruhnya di sofa ruang tengah.

"Masalah apa?" ibu mengerutkan keningnya.

Aku mengambil posisi duduk dihadapan ibu, dan segera menceritakan perihal pertemuan ku dengan Daniel tadi.

"Ah, ga mungkin Iqbal kayak gitu." ucap ibu tak percaya dengan apa yang aku ceritakan.

"Iya, bu. Aku juga ga percaya. Tapi kita harus tabayyun dulu. Kita juga ga boleh suudzon sama Daniel."

"Benar juga, jadi besok Daniel dan Keluarga Iqbal akan datang?"

Aku mengangguk.

"Yasudah, gausah dipikirin. Kamu tidur aja dulu." aku kembali mengangguk, kemudian bangkit dan mengambil tas punggungku. Berjalan menuju kamar tidur ku.

Rasanya lelah menghadapi segala macam bentuk ujian dalam menuju pernikahan. Sabar.

Aku melepas hijab dan baju gamis yang ku pakai sejak tadi, menggantinya dengan piyama tidur lengan panjang.

Merebahkan diri kekasur kemudian tertidur.

***
Rintik hujan membasahi Kota Makassar dini hari, waktu yang tepat untuk berdoa dan bermanja ria pada Sang Pencipta.

Seperti biasa, aku sudah terbangun untuk meminta petunjuk dan pertolongan atau curhat kepada Rabb-Ku.

Aku segera mendirikan sholat sunnah tahajjud sebanyak 8 raka'at ditambah dengan sholat sunnah witir 3 raka'at. Setelah itu, aku berdzikir dan mengadahkan tangan keatas seraya berserah diri kepada Sang Maha Kuasa.

"Bismillahirrahmani rahim...
Alhamdulillah, segala puji bagi engkau Sang Pemilik Cinta Kasih, pemilik seluruh alam.
Terimakasih atas segala karunia yang engkau berikan ya Allah.
Jadikanlah hujan ini, sebagai hujan yang bermanfaat bagi seluruh manusia."

Aku tak pernah langsung meminta pada Allah. Rasanya tak sopan jika kita sebagai manusia, makhluk paling lemah ini tak memuji nya terlebih dahulu atau langsung meminta begitu saja.

"Duhai Allah...
Aku, sang hamba pendosa ini datang kepada-Mu untuk meminta pertolongan dan petunjuk.
2 pekan depan adalah waktu dimana hamba akan menyempurnakan agama hamba dengan lelaki yang Engkau pilihkan untuk hamba, Ya Allah.
Beribu cobaan dan godaan datang menghampiri kami berdua. Tolong ya Allah, kuatkan lah kami. Ditangan-Mu lah segala kekuasaan kerjaan, Ya Allah.
Hamba berlindung kepada-Mu dari godaan syaiton yang terkutuk."

Aku meneruskan doaku dengan meminta tanpa berhenti memuji Sang Maha Kuasa.

***

Apa ini petunjuk dari-Mu, Duhai Allah?
Allah, aku menyerahkan segalanya kepada-Mu.
Aku berserah diri kepada-Mu.
Engkau Maha Kuasa.

"Bu.." aku menghampiri ibu yang sedang memasak didapur, menyiapkan sarapan pagi.

"Iya sayang?" ucap ibu tanpa menoleh kearahku, ia sedang memotong tomat.

"Apa menurut ibu, ini petunjuk dari Allah?" aku mengambil beberapa bahan dapur, berniat ingin membantu ibu sambil bercerita, lebih tepatnya curhat.

"Maksudnya?" kini aktivitas ibu beralih dengan memotong sayur-sayuran, sepertinya ibu akan memasak sayuran kesukaan Ayah.

"Daniel datang dikirim Allah, untuk memberi aku petunjuk bahwa Iqbal bukanlah jodohku." aku memasukkan tomat yang ibu potong tadi, kedalam panci yang sudah terisi dengan air.

"Bisa jadi." ibu menjeda, "Bisa jadi Daniel datang dikirim Allah buat kasih kamu petunjuk  atau malah sebaliknya."

Aku menoleh ke arah ibu, "Maksud ibu?"

Ibu menghentikan aktivitas nya, kemudian mendekatiku mengelus pelan lenganku. "Bisa jadi juga Daniel dikirim Allah untuk menguji kalian, apakah kalian bisa bertahan melawan godaan syaiton atau tidak." ibu tersenyum, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya.

Aku masih belum bisa mencerna dengan baik ucapan ibu. Perasaanku saat ini sedang bercampur aduk.

"Kita lihat saja nanti bagaimana.." lanjut ibu.

Aku kembali melanjutkan aktivitas ku, membantu ibu membuat sarapan pagi.

***

CINTA SEPERTIGA MALAM [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang