Bab 11. Meminta Restu

19.4K 2.1K 28
                                    

6 bulan yang lalu, aku memutuskan untuk tetap menunggu Iqbal. Hatiku telah mantap pada dirinya.

6 bulan sudah kepergian Iqbal. Meninggalkan Indonesia demi menuntut ilmu agama, yang Insya Allah bermanfaat dunia dan akhirat.

Aku melangkahkan kaki ku, menyusuri kampus. Berbalut dengan gamis berwarna hitam dan jilbab hitam yang lumayan panjang.

"Misha" Suara bass yang sudah sering tercerna oleh indera pendengaranku, sampai aku menghafal sang pemilik suara. Arkan.

Aku menghentikan langkah tanpa menoleh kearah Arkan yang sedang berjalan menghampiriku.

Aku menunduk, "Ada apa, Ar?"

"Mmm... Ini masalah Iqbal." nada bicaranya, cukup rendah.

Ada apa dengan Iqbal?

Ya Allah, segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi ini atas kehendakmu. Berikan segala yang baik untukku dan untuk Iqbal.

Aku terus berdoa meminta pertolongan agar Iqbal baik-baik saja.

"Ada apa?" tanyaku sedikit cemas.

"Dia, sudah ada di Indonesia." nada bicaranya kembali berubah, kedengaran seperti bahagia.

Alhamdulillah.

"Bukannya ini baru setengah tahun?" tanyaku.

"Aku juga gak tau, tapi besok dia akan kerumahmu." Arkan mengukir sebuah senyuman diwajahnya.

"Kerumah? Untuk apa?" aku mendongak, menatap lurus kedepan.

"Untuk apalagi jika bukan mengkhitbah mu?" ucapan Arkan yang berhasil membuatku terdiam dan terpaku.

Ya Allah, apa benar? Jika benar, lancarkanlah Ya Allah. Mudahkanlah Ya Allah. Kami ingin menyempurnakan agama-Mu dengan menikah maka, mudahkanlah. Aamiin.

"Alhamdulillah.." gumam ku yang mungkin masih bisa Arkan dengar.

"Alhamdulillah, sha. Semoga Lancar ya. Selamat." ia menoleh kearahku, mengucapkannya dengan penuh semangat

"Aamiin. Makasih ya, ar." aku tersenyum tanpa menoleh kearahnya

"Assalamualaikum" Arkan berbalik arah menjauh dariku.

"Wa'alaikumsalam.."

Atmosfer rasanya semakin menebal, seluruh badanku rasanya kaku dan dingin. Senyuman yang tak pernah lepas dari wajahku. Ucapan syukur dan do'a yang terus ku panjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Qadarullah.

***

Aku melihat ada 2 mobil terparkir didepan rumah, sepertinya ada tamu. Aku berjalan pelan memasuki rumah.

"Assalamualaikum.." aku melangkahkan kaki menuju Ayah dan Ibu yang sedang duduk manis diruang tamu. Segera menyalimi mereka dan mencium tangannya.

"Wa'alaikumussalam" jawab seluruh penghuni yang ada didalam ruangan itu. Keadaan berubah menjadi mencekam, sepertinya Ayah,Ibu, dan tamunya sedang membicarakan hal serius dan aku hadir merusak suasana.

"Udah pulang sayang?" Ibu masih memegang tanganku, aku mengangguk pelan "Sini duduk" Ibu menepuk kursi disebelahnya, memberiku isyarat agar duduk disampingnya.

Aku mengikuti intruksi yang ibu berikan. Aku segera menundukkan pandangan ketika merasa dihadapanku adalah seorang Pria.

Ibu menoleh ke arahku, "Sayang.."

Aku segera mendongak dan menoleh ke arah Ibu, memasang raut wajah seakan mengatakan "Ada apa?"

"Ada Abi Zaenal dan anaknya datang melamarmu..." ucapan Ibu, begitu lembut.

Aku tidak langsung merespon apa yang ibu katakan, aku berusaha mencerna apa yang ibu katakan tadi.

Sebentar...

Apa kata ibu tadi?!

Abi Zaenal dan anaknya datang melamarku ?! Ya Allah... Bagaimana ini?!

"Tenang sayang..." ucap ibu pelan, mencoba menenangkan ku, ketika melihat perubahan raut wajahku yang menjadi gelisah.

Ibu mengarahkan pandangannya kedepan, mungkin mengarah ke Abi Zaenal dan anaknya. Seakan memberi mereka intruksi untuk mengatakannya padaku.

"Nak, Misha..." suara pria paruh baya, Abi Zaenal. "Sesuai janji abi. Ketika anak abi datang dari mesir,  abi akan mendatangi rumahmu untuk melamarmu."

Aku masih menundukkan pandanganku, belum ada keberanian dalam diriku untuk melihat siapa anak Abi sebenarnya.

"Abi dan anak abi, datang kesini baik-baik untuk meminta restu orang tua dari nak Misha dan juga Misha.." Abi memberi jeda "Sebelumnya, abi ingin bertanya. Bagaimana dengan jawaban istikharah mu?"

Ya Allah, bagaimana ini?! Apa yang harus Hamba katakan?

Aku menggenggam erat ujung jilbabku, meremasnya kuat. Mengumpulkan segenap jiwa pemberani ku untuk berbicara pada Abi Zaenal.

"Abi, mohon maaf sebelumnya..." aku sengaja memberi jeda, menarik nafas dalam kemudian membuangnya kasar, "sebelum Abi mengatakan padaku beberapa bulan yang lalu, sejujurnya telah datang dua pria yang ingin melamarku..." tanganku bergetar hebat, aku semakin menenggelamkan wajahku dalam.

"Yang pertama itulah... Ya-yang menjadi jawaban istikharah Misha." lanjutku dengan nada sedikit bergetar.

Hening.

"Siapa nama pemuda itu, nak?" tanya Abi lembut.

"I-Iqbal, bi..." kulihat dari sudut mataku, ibu sedang menahan tawanya.

Ada apa?! Apa yang salah?

Aku memberanikan diri untuk mendongak, melihat siapa anak Abi.

Astagfirullah.

Penampakan dihadapan ku sungguh menyeramkan. Siapa dia? Kenapa dia begitu mirip dengan Iqbal?!

"Ini anak Abi, namanya Iqbal. Muhammad Iqbal Khair." Abi memperkenalkan pria yang disebut anaknya, yang sedang duduk manis disampingnya dengan baju gamis berwarna hitam putih dan berpeci dominan putih bergaris hitam.

Aku masih shock, masih kaget, masih tidak percaya. Apa benar dia Iqbal?! Jangan-jangan dia Iblis yang menjelma sebagai Iqbal?!

Astagfirullah.

Aku kembali menundukkan pandanganku, bisa-bisa nya aku menatap dia lama. Apalagi sampai berpikiran bahwa dia adalah jelmaan iblis. Istighfar sha, istighfar.

"Nah, bagaimana nak Misha?" tanya Umi Aisyah.

Aku mengangguk pelan, menenggelamkan wajahku sedalam mungkin. Karena ku rasa pipi ku sedang memerah bagaikan kepiting rebus.

"Alhamdulillah..." ucap seisi ruangan, termasuk Iqbal.

***

CINTA SEPERTIGA MALAM [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang