"Kapan aku bisa pulang?" ucapnya saat aku hendak menyuapinya bubur yang diberika suster pagi tadi.
"Aaaa" aku memberinya isyarat agar membuka mulutnya, saat ia membuka mulutnya aku segera menyuapinya, "Mas istirahat dulu disini, nanti kalau keadaan mas udah baik kan udah bisa kembali beraktivitas lagi."
Iqbal mengangguk pelan, "Abah sama Ummi sudah tau kalau aku masuk rumah sakit?"
"Iya mas, katanya bentar lagi sampai." aku terus menyuapinya hingga sekotak nasi yang berisi bubur tadi habis.
"Minum dulu,mas" aku mengambil segelas air yang tersedia dinakas yang berada didekat kasur Iqbal, lalu menyerahkan segelas air itu pada Iqbal agar ia meminumnya.
"Assalamu'alaikum.." aku dan Iqbal segera menoleh kearah sumber suara, ada Maryam disana.
"Wa'alaikumsalam." jawabku kemudian berjalan menyambutnya dengan sebuah senyuman. "Ayo masuk, yam"
Ia berjalan sembari tersenyum kearah Iqbal, namun Iqbal segera mengalihkan pandangannya saat tahu bahwa yang datang adalah Maryam.
"Kang Iqbal udah enakan?" tanya Maryam, meletakkan sebuah kotak nasi dinakas dekat kasur Iqbal.
"Alhamdulillah." jawab Iqbal singkat.
"Udah minum obatnya, Kang?" ku dengar ia bertanya, aku membawakannya setoples kue dan air mineral.
"Belum." Iqbal menoleh kearahku dengan pandangan mengeluh, mengisyaratkan bahwa ia tak suka ada Maryam disini.
Aku segera memberikannya kode untuk tetap terlihat baik-baik saja.
"Obatnya dimana kang? Biar aku ambilin." Maryam segera berdiri, mencari obat Iqbal.
"Maryam, aku sudah punya istri. Sekarang segala keperluanku, istriku yang mengaturnya. Bukan siapapun, apalagi kamu yang bukan siapa-siapaku." ucapnya dengan nada yang lembut namun penuh ketegasan. Aku segera menoleh kearahnya, lalu menggelengkan kepala, memberi isyarat bahwa apa yang ia katakan itu salah.
Namun, Iqbal tak menghiraukanku, ia sudah benar-benar tidak tahan melihat sikap Maryam.
"Istri macam apa seperti itu? Ga becus banget jadi istri. Suami pengen makan ga dikasih makan, suami sakit malah dibiarin. Cih." Maryam menatapku sinis dengan senyuman tipis yang terukir diwajahnya, kemudian ia berlalu meninggalkan ruangan Iqbal.
Aku tidak ingin berdebat dengannya, biarkan saja dia mengatakan hal buruk tentangku. Lagipula, suamiku tahu kok aku seperti apa. Sebelum Maryan datangpun aku sedang menyuapi mas Iqbal.
Maryam sepertinya sangat menyukai Iqbal, namun cintanya tak terbalaskan. Hingga ia terlihat seperti membenciku.
Aku berjalan mendekati Iqbal, menggenggam tangannya erat. "Mas, mau minum obat?"
Iqbal menangkup pipiku dengan kedua tangannya, mengelusnya lembut. "Maafkan perkataan Maryam tadi ya. Akupun tidak menyangka ia akan seperti itu."
Iqbal memelukku erat. Entah mengapa, aku merasa aman dan nyaman saat berada dipelukannya.
"Iya, mas. Maafkan aku jika aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu. Aku mencintaimu mas, sungguh." aku membalas pelukannya, tak kalah erat.
"Aku tidak pernah marah dengan apa yang Maryam katakan padaku. Aku justru akan berterimakasih padanya, karena ia telah mengingatkan ku agar lebih memperhatikan suaminya dan menjadi istri yang lebih baik lagi."
Aku bersadandar pada pundaknya yang sudah menjadi tempat ternyamanku untuk menumpahkan segala keluh kesalku.
Iqbal mengelus pelan pucuk kepalaku, "Aku juga mencintaimu, sayang. Sungguh."
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEPERTIGA MALAM [END]
EspiritualAdakah cinta yang lebih indah dari Mencintai disepertiga malam? Ini cerita tentangku dan suamiku, yang saling mencintai disepertiga malam. Selamat menjadi saksi cintaku dan suamiku. Kisah kami ini hanya lebih menampilkan sisi romantis didalam rumah...