Setelah kejadian 'kepergok' kemarin, Kalila yang awalnya cuek dengan semua orang jadi was-was terhadap Raskal. Hanya Raskal. Siang ini, Kalila pergi ke rooftop sekolahnya yang dikenal angker oleh seluruh penjuru sekolah. Padahal tempat itu biasa-biasa saja, bahkan tempatnya nyaman karna kita bisa melihat keadaan Ibukota dari atas sini. Bagi Kalila tempat itu nyaman karena ia bisa menghindari orang-orang yang mengasingkannya. Lagipula hantu pasti juga takut dengan dirinya. Ia duduk di ujung rooftop sembari memainkan kedua kakinya yang tergantung dibawah sana. Kedua tangannya ia gunakan untuk menumpu tubuhnya di belakang.
Wajah menghadap ke atas, membiarkan sinar matahari menerpa kulit wajahnya. Rambutnya yang tergerai terbang terkena angin. Ini adalah tempat favoritenya untuk menjauh dari semua cemooh dari orang-orang. Entah apa yang salah dengan dirinya hingga di cap aneh dan gila. Padahal penampilannya biasa-biasa saja, tidak aneh. Dan ia masih waras. Ia pernah mendengar bahwa salah satu teman kelasnya pernah melihatnya keluar dari ruangan Psikolog. Memangnya ada yang salah dengan itu? Ia hanya mencari teman curhat atas semua masalahnya. Curhat dengan Tuhan saja belum cukup membuat Kalila tenang.
Masalah di rumah sudah cukup membuat Kalila tertekan ditambah lagi dengan keadaan sekolahnya yang seperti ini. Untung saja Kalila masih mengingat Tuhan, jadi kemungkinan kecil ia bisa gila. Namun, sudah beberapa kali Kalila menemui Psikolog tapi tidak ada satupun yang cocok dengan dirinya. Ia jadi tak nyaman menceritakan semuanya.
Bel pergantian pelajaran berbunyi, memutus jam istirahat, membuat Kalila bangkit dari duduknya lalu membersihkan roknya dari kotoran yang menempel. Dan berjalan ke arah kelasnya seperti biasa. Katanya hari ini ada pemeriksaan. Entah itu rokok, minuman keras, ataupun narkoba. Semua tas murid di geledah.
Bu Indah dengan Pak Rio masuk ke dalam kelasnya dengan sarung tangan khusus. Entah gunanya untuk apa, tapi setiap ada pemeriksaan, mereka selalu memakainya. Semua tas sudah di periksa, aman. Kini giliran tasnya. Seketika kelas yang tadinya hening menjadi ribut bisik-bisik karena Pak Rio mengeluarkan botol yang berisi beberapa obat yang berada di dalamnya. Dan botol itu berasal dari tas Kalila. Nafasnya tercekat, matanya membulat. Bagaimana bisa ia lupa mengeluarkan benda itu dari tasnya?
Tanpa bicara satu kata lagi mereka berdua keluar dari kelasnya dan bisik-bisik itu mulai terdengar menjadi bicara seperti biasa. Bahkan ada yang teriak menyinggungnya. "Gue bilang juga apa, dia emang gila."
"Dari dulu gue emang udah curiga sama dia."
"Geli satu kelas sama orang kayak gitu."
Kalila hanya diam sembari mendengarkan cemooh demi cemooh yang ditujukan padanya. Dadanya terasa sesak dan matanya memanas. Sakit, tapi ia harus kuat. Jangan membuat semua orang tau bahwa ia itu lemah. Kalila mengatur nafasnya beberapa kali lalu menatap keluar jendela dan menunggu namanya di panggil di sumber suara.
"Kalila Mariza silahkan ke ruangan saya."
Sepanjang koridor, bisik-bisik kembali terdengar hingga ada menunjuknya secara terang-terangan. Mereka biasanya hanya ketauhan membawa rokok, dan Pak Rio dengan Bu Indah hanya memberi poin untuk mereka tanpa memanggil yang terlibat ke ruangan mereka. Namun jika ada benda yang ingin diperiksa, mereka akan memanggil orang yang bersangkutan. Hal itu membuat semua orang menuduh bahwa Kalila menggunakan obat terlarang.
Setelah mengetuk dua kali pintu dan dipersilahkan masuk, Kalila masuk ke dalam ruangan yang dingin itu. Duduk di hadapan Bu Indah yang sedang menatapnya dengan saksama. Ia menaruh botol kecil yang berisi 3 kapsul obat di meja. "Kalila Mariza."
Suara Bu Indah lembut, hal itu membuat Kalila tidak bisa menahan tangisnya yang sedari tadi ia tahan. Kalila sangat jarang mendengar seseorang berbicara dengan lembut kepadanya. Hanya suara teriakkan dan makian yang nenjadi makanan sehari-harinya.
"Kalila, kamu ada masalah di rumah?" Bu Indah melipat kedua tangannya di meja, memperhatikan reaksi Kalila, "obat tidur itu bukan hal yang biasa untuk dikonsumsi oleh anak remaja seperti kamu."
Kalila mengigit jari telunjuknya keras, menahan isak tangisnya. Sedangkan Bu Indah menatapnya sendu. "Kalila, guru itu bukan cuma mengajar kamu, tugas kami juga sebagai pengganti orang tua kamu di rumah."
"Kalila, cerita sama Ibu–"
Kalila langsung menghindar saat kedua tangan Bu Indah ingin mengenggam tangan kirinya. Tanpa mengatakan satu hal pun, Kalila keluar dari ruangan itu sembari mengambil botol kecil tadi. Ia menutupi kedua wajahnya sembari berlari ke arah toilet. Setelah memastikan toilet itu kosong, ia masuk ke dalam salah satu bilik dan menangis sekeras mungkin di sana. Suara Bu Indah tadi sangat lembut, bahkan kedua orang tuanya tidak pernah berbicara dengan lembut padanya.
Obat tidur itu hanya untuk membantunya untuk menutup mata, bahkan satu kapsul obat tidur saja tidak mempan untuk membuatnya tertidur dengan luka yang berada di tubuhnya. Dua tahun terakhir, ia tidak pernah tertidur dengan tenang. Isakan memilukan keluar dari salah satu bilik toilet perempuan, hingga samar-samar terdengar oleh seseorang yang berada di luar toilet.
Seperti Raskal misalnya, laki-laki itu merasakan dadanya sesak walau hanya mendengar isak tangis Kalila.
🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Teen Fiction[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...