Eccedentesiast - 29

3K 245 0
                                    

"Can i hug you?"

Kalila yang awalnya mengira Raskal akan marah-marah lagi, tapi ia langsung terdiam saat mendengar ucapan Raskal yang ragu-ragu dengan suara kecil. Laki-laki itu menunduk, takut menatap wajah Kalila. Ada apa dengan laki-laki ini? Tidak biasanya Raskal seperti ini.

Kalila melingkarkan kedua tangannya di leher Raskal, membuat laki-laki itu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Kalila. "Kamu kenapa?"

"Kita keluar sebentar bisa?"

Kalila mengangguk mengiyakan. Hingga mereka berdua sampai di taman rumah sakit, pukul 11 malam, taman rumah sakit sudah sepi, bahkan hanya ada dua lampu yang menyinari dari sisi kanan dan kiri. Kalila duduk di samping Raskal, menyerong ke arah laki-laki itu, siap mendengarkan cerita Raskal.

"Ayah kamu, Mafia?"

Kalila terdiam sebentar. Hanya ada sedikit orang yang mengetahui bahwa Ayahnya adalah seorang Mafia. Selebihnya yang mereka tau Ayahnya adalah CEO di perusahaan terkenal di Ibukota.

"Iya."

Raskal menghembuskan nafasnya kasar. "Bunda nyuruh aku menjauh dari kamu."

"Karna Ayah Mafia?"

"Itu poin pertama. Yang kedua, Ayah kamu yang bunuh Ayah aku."

"Kal–"

"Beneran La. Aku yakin Bunda jujur. Dia nggak akan ngelarang aku deket sama siapapun kalau nggak ada alasannya."

"Jadi?" Kalila mengigit bibir dalamnya, "kamu mau pisah?"

Raskal mengangkat bahunya sebentar. "Aku harus tau kenapa Ayah kamu bunuh Ayah aku." 

Kalila menunduk, mengadu jari tangannya. Selama ini, Rino selalu tertutup pada keluarga. Apa yang ia lakukan di ruang kerja, semua orang termasuk Irene tidak tau. Bahkan saking tertutupnya, Rino memisahkan kamarnya dengan kamar Irene. Itu gila, kan? Seharusnya dalam rumah tangga tidak ada yang saling menutupi satu sama lain. Namun kali ini beda, Rino benar-benar tertutup sampai ia jadi CEO terkenal pun media yang memberi tahu Irene dan Kalila bahwa Ayahnya adalah seorang CEO di perusahaan itu. 

Dan sekarang. Raskal membahas tentang perbuatan Ayahnya. Jadi, apa yang harus ia katakan?

"Aku nggak marah sama kamu, La."

Kalila masih menunduk, malu menunjukkan wajahnya pada Raskal. Orang sepertinya, apakah pantas untuk Raskal? Seharusnya ia malu. Malu karna Raskal masih baik kepadanya padahal Ayahnya yang membunuh Ayah Raskal.

Tentang foto itu, apakah ada hubungannya dengan kejadian ini?

Mata Kalila menatap mata Raskal dalam. "Kal, aku nggak mau pisah sama kamu."

"Cuma kamu yang aku punya," lanjutnya.

Raskal menangkup wajah Kalila dengan kedua tangannya. Kedua ibu jari Raskal ia gunakan untuk mengusap lembut pipi Kalila. Raskal hanya melakukan aktivitasnya tanpa merespon perkataan Kalila tadi. Hal itu yang membuat perempuan itu tidak tenang. Lalu Raskal membawanya ke pelukannya, memeluknya erat sembari mengusap kepalanya. Apa yang Raskal lakukan? Apa ini ucapan selamat tinggal darinya?

Raskal melepas pelukannya lalu bangkit dari duduk, tangannya menggapai lengan Kalila yang terkulai lemas di pangkuan perempuan itu. "Aku anter kamu pulang."

Di perjalanan, mereka berdua hanya diam. Sesekali Kalila melirik Raskal yang fokus menatap jalanan tanpa mau membuka pembicaraan. Begitu pula Raskal, ia hanya diam, memikirkan apa yang akan ia lakukan untuk masalah ini. Pertama, ia harus mengetahui kenapa Ayah Kalila membunuh Ayahnya. Kedua, apa yang Bundanya tutupi hingga menyeret hubungannya dengan Kalila? Ia yakin bukan hanya itu alasan Bundanya mengapa ia harus menjaga jarak dari Kalila yang statusnya adalah anak Mafia terbesar di Ibukota.

Sesampainya di rumah mewah itu, Raskal tidak langsung pulang. Ia ikut masuk ke dalam rumah dan berjalan ke dapur, mengambil peralatan masak. Kalila yang baru saja selesai menyalakan seluruh lampu di rumah itu ikut berjalan ke dalur, duduk di salah satu kursi mini bar. Sambil menuangkan air di gelas, matanya masih menatap Raskal yang sibuk mengeluarkan beberapa makanan dari kulkas. Sepuluh menit kemudian, Raskal menyajikan telur, sosis dan roti gandum di piring.

"Buat aku?"

Raskal mengangguk dengan senyum hangatnya, sedangkan Kalila tersenyum lebar. "Kamu nggak makan?"

"Aku udah," Raskal mengambil gelas bekas Kalila lalu meneguk airnya hingga habis dan kembali memenuhi gelas itu, "kalau belum kenyang, kita keluar cari makan."

"Ini aja cukup, Kal."

Kalila memasukkan potongan sosis ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya perlahan. Sederhana memang, tapi itu yang membuat Kalila merasa spesial. Jika perilaku Raskal seperti ini terhadapnya, bagaimana ia bisa melepaskan laki-laki ini nanti? Iya, nanti. Bila Kinan sudah melakukan segala hal untuk menjauhkannya dari Raskal. Seumur hidupnya, ia tidak pernah merasakan kasih sayang yang sehangat ini kecuali dari Mamanya yang sudah tenang di alam sana. Empat tahun berlalu, hidupnya menderita. Hingga akhirnya Raskal datang dan semuanya berangsur membaik.

"La?"

Kalila berkedip, menatap Raskal. "Hm?"

"Jangan dipikirin. Aku akan nyelesaiin semuanya."

Kalila menangguk dengan senyumannya. Tenang? Belum, Raskal belum menjawab perkataannya tadi di taman rumah sakit. Jadi, ada kemungkinan kan, Raskal meninggalkannya? Memangnya ia siapa? Keluarga memang nomor satu, ia tidak bisa memaksa Raskal untuk tetap tinggal.

Setelah selesai membersihkan diri dan ganti baju, Kalila kembali menemui Raskal yang masih berada di dapur. Laki-laki itu sedang menatap ponselnya dengan air wajah yang jarang sekali Kalila lihat. Marah,  bimbang, sedih. Semuanya menjadi satu. Kalila duduk di hadapan Raskal, mengusap tangannya lembut. Sedangkan Raskal menatap perempuan yang sangat ia sayangi.

Ponselnya kembali berdering, membuat Raskal kembali menatap ponselnya, melepas genggaman tangan mungil Kalila pada tangannya. Ia berjalan ke dekat pintu, menerima telfon. Air wajah Raskal yang tadinya sudah tenang kembali seperti semula. Bahkan kilatan kemarahan terlihat di matanya. Suara Raskal kecil membuat Kalila tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Kecil memang, tapi setiap perkataan Raskal, ada tekanan di sana.

Selesai menelfon, Raskal mendekati Kalila, berdiri di hadapan perempuan itu, menangkup wajahnya dengan tangan kanannya. "Kunci semua pintu, abis itu kamu tidur."

"Kamu mau pergi?"

Raskal terdiam. Ia tidak tega meninggalkan Kalila sendiri di rumah besar ini dengan semua kemungkinan kejahatan di sini. Namun ia harus pergi. Harus.

"Turutin apa yang aku bilang. Kunci semua, abis itu kamu tidur. Jangan tungguin aku."

"Nanti balik?"

Raskal mengecup puncak kepala Kalila lama. "Iya."

Kalila tidak yakin Raskal akan kembali. Apalagi Raskal mengatakan hal tadi dengan nada yang ragu.

🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang