Eccedentesiast - 27

3.1K 255 2
                                    

Kalila membuka lemari kecil di dekat dapur, lalu mengambil salah satu dari tiga kunci mobil yang berada di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalila membuka lemari kecil di dekat dapur, lalu mengambil salah satu dari tiga kunci mobil yang berada di sana. Jangan salah, ia bisa bawa mobil, walaupun bisa itu sudah 3 tahun yang lalu, ia mungkin masih bisa bawa mobil. Dengan hati-hati, Kalila menyalakan mesin mobil lalu menghela nafas lega. Mobil ini masih sama seperti 3 tahun yang lalu.

Tanpa tujuan, Kalila masih melajukan mobilnya di antara mobil-mobil yang lain. Matanya menyapu jalanan, melihat sekelilingnya dengan saksama. Entah apa yang membawanya ke sini, Kalila berhenti di sebuah tebing yang terdapat kursi panjang di sana. Yang Kalila rasakan saat turun dari mobil adalah hangat. Padahal, angin berhembus dengan kencamg, tapi di dalam sana, ia merasa hangat. Matahari sore menyinari kulit wajah Kalila, seperti mengabsen setiap inci kulit wajah perempuan itu.

Kalila duduk di kursi sembari mengeratkan jaket tipis yang dipakainya,matanya menatap matahari yang akan tenggelam di ujung sana. Terakhir kalinya ia pergi ke sini, bersama seseorang yang baru kemarin ia temui. Tidak ada yang berubah darinya, tatapannya masih sehangat dulu, senyumnya masih semanis dulu. Dan yang paling penting, debaran jantung yang Kalila rasakan dulu saat berada di dekatnya masih saja sama. Seperti waktu tidak mempengaruhi laki-laki itu, ia masih saja sama seperti dulu.

Saat matahari benar-benar ingin tenggelam, langit berubah warna menjadi keunguan, ia datang. Dengan tangan kosong, dan masih dengan tatapan yang sama. Duduk di samping Kalila tanpa ada beban sedikitpun. Tanpa perduli dengan debaran jantung Kalila dan rasa itu.

Dengan satu kata sapaan, matanya tidak terlepas menatap Kalila yang sedang bungkam di tempat. Bukan hanya Kalila saja, keduanya melepas rindu hanya lewat tatapan. Kita tidak tau apa yang mereka pikirkan saat sedang bertatapan seperti ini. Mungkin mereka berimajinasi tentang 3 tahun yang lalu di tempat ini. Seharusnya ia tidak mengatakan itu, seharusnya mereka masih sama-sama seperti dulu. Dan masih banyak keharusan yang mereka imajinasikan.

Hingga akhirnya salah satu dari mereka sadar, ini salah.

Kalila bangkit dari duduknya, lengannya langsung ditahan oleh Edo. "I wanna talk to you."

Kalila melepaskan genggaman itu lembut lalu menggeleng pelan, membuat Edo bangkit dari posisinya, berdiri di depan Kalila.

"I miss you."

"Nggak, ini salah."

Kalila berjalan menjauh, namun lagi-lagi Edo menahan lengannya. "Sebentar aja La, biarin gue natap lo."

"Semuanya jadi sulit semenjak kejadian itu. Bahkan untuk ngomong sama lo aja sulit," lanjutnya.

Edo menghela nafasnya gusar. "Kenapa lo ngehindarin gue? Kenapa lo nggak pernah mau natap gue?"

"Okay stop. Lo ngomong kayak gue yang paling jahat di sini. Sore itu, semua udah jelas. You don't love me! Jadi, kenapa gue harus tetep tinggal?"

"We bestfriends right?"

"Gimana bisa kita sahabatan kalau gue jatuh cinta sama lo?!"

Kalila mundur selangkah, ia menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya kasar. Matanya menatap Edo di tengah minimnya cahaya.

"Gue kira saat itu lo akan bilang kalimat yang sama. Tapi nyatanya nggak. Gue bener-bener di tampar sama realita bahwa di lingkaran ini, cuma gue yang jatuh cinta sama lo."

"I love you!" Kalila bungkam seketika saat Edo menyerukan kalimat itu, "saat itu gue juga cinta sama lo, ngedenger lo bilang kalo kita cuma sahabat, ngebuat gue berpikir dua kali buat jatuh cinta sama lo."

"Tiga tahun lamanya, kemana aja lo? Lo sama sekali nggak pernah jelasin ini ke gue. Lo biarin gue jatuh cinta sendirian. Di masa-masa sulit gue, gue harap, lo dateng, ngerangkul gue. Tapi apa? Lagi-lagi gue di tampar oleh realita. Semuanya cuma jadi angan-angan gue semata."

"Gue salah, lo salah. Let me fixs this."

"How?"

"Kita mulai dari awal."

Kalila mengernyit tidak percaya mendengar kalimat Edo. "Lo gila? I'm in relationship with Raskal! With your friend!"

"La–"

Kalila menggeleng kemudian meninggalkan Edo sendirian di sana. Entah apa yang Edo pikirkan sampai bisa mengatakan kalimat itu. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan melajukan kembali mobilnya menjauh dari sana. Entah kemana, ia bahkan tidak tau arah pulang. Yang ia lakukan hanya mengarahkan mobilnya kemana saja ditemani air mata yang terus mengalir di sana.

Hingga akhirnya mobil itu berhenti di sebuah minimarket, Kalila turun, membeli sebotol air dan membawanya keluar. Duduk di kursi depan minimarket itu sembari menatap jalanan dengan tatapan kosong. Hanya begitu sampai setengah jam lamanya, barulah Kalila kembali masuk ke dalam mobil itu. Terdengar suara getaran dari kursi penumpang sampingnya membuat Kalila mengalihkan pandangannya. Ia mengeryit saat nomor tidak dikenal menelfonnya berkali-kali. Belum sempat menerka-nerka, nomor itu sudah kembali terpampang di layar ponselnya.

Tanpa membuang waktu, Kalila langsung mengangkatnya. "Siapa?"

"Rifki. Edo kecelakaan, dia koma."

Entah salah nelfon atau memang benar, jantung Kalila terasa berhenti saat itu juga. Tubuhnya seperti es krim yang kapan saja siap untuk melumer. Air matanya kembali jatuh. Setelah menerima pesan share location dari Rifki, Kalila langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit itu. Air matanya terus jatuh hingga membasahi celana panjangnya.

Sembari berlari, Kalila langsung menyusuri koridor rumah sakit hingga menemukan Rifki dan anak basket lainnya sedang menunggu sembari menunduk lesu. Kalila mendekati Rifki, berdiri di depan laki-laki itu. "Edo mana?"

"Dia lagi di operasi. Tulang keringnya patah, rusuknya retak dan dia gegar otak."

Kaki Kalila benar-benar lumer sekarang, tubuhnya ambruk di lantai rumah sakit yang dingin. Kedua tangannya ia gunakan untuk meredam isak tangisnya. Baru satu jam yang lalu ia meninggalkan Edo di tebing itu. Lalu apa yang terjadi dengan laki-laki itu sehingga bisa seperti ini? Jika ada mesin waktu, Kalila ingin kembali ke tebing tadi, memeluk Edo dan membujuk Edo menceritakan apa yang ia alami sampai-sampai ia datang ke tempat itu, tempat dimana semuanya berakhir.

Rifki melingkarkan tangannya di bahu Kalila, mengusap bahu itu lembut. "Edo kuat, dia akan baik-baik aja."

Kalila menyesal sekarang. Seharusnya ia tidak meninggalkan Edo sendirian dengan emosi yang tidak terkendali seperti tadi.

🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang