Setelah mencoba menelfon Raskal hingga baterai ponselnya habis, akhirnya laki-laki itu mengangkatnya. Erland langsung mengatakan bahwa Kalila berada di rumah sakit dan mencari keberadaan laki-laki itu. Raskal hanya diam saja lalu mematikan sambungan, membuat Erland menggeram kecil. Dasar, tidak tau terima kasih. Atau... itu bukan nomornya Raskal? Makanya laki-laki itu diam saja.
"Gimana?"
Erland mengangkat bahunya. "Nggak tau. Tapi bener kan, itu nomornya Raskal?"
"Bener sih kalau kata Dokter Leri. Soalnya Raskal yang nanggung biaya rumah sakitnya Kalila kemarin."
Kalila bergerak tidak nyaman, bibirnya selalu menggumamkan nama Raskal, membuat Aariz khawatir dan menanyakan kebaradaan laki-laki itu pada Erland, berkali-kali. Tak lama setelah itu, pintu kamar rawat Kalila terbuka dan menampilkan sosok Raskal dengan balutan kemeja yang lengannya ia lipat hingga ke siku. Dadanya naik turun seperti ia berlari dari parkiran hingga ke kamar ini. Matanya menatap khawatir Kalila yang terbaring di brankar.
"Kenapa?" tanya Raskal dengan nafasnya yang terengah-engah, "kenapa Lan?"
"Lo tau masalah Kalila sama Ayahnya?" tanya Aariz pada Raskal dengan wajah yang tidak enak. Anggukan dari Raskal membuat Aariz langsung menarik kerah baju laki-laki itu, "trus lo diem aja selama ini?!"
"Bang, jangan Bang," ucap Erland sembari berusaha melepaskan tangan Aariz dari kerah baju Raskal.
"Pikiran lo dimana? Lo diem aja liat cewek lo dihajar sama Bokapnya sendiri?! Lo biarin dia kesakitan sendiri?!" teriak Aariz menatap Raskal emosi.
"Dia minta gue untuk rahasiain ini Kak, gue juga nggak mau liat dia kesakitan."
"Tapi lo tetep diem aja! Padahal banyak yang bisa lo lakuin Kal," ucap Aariz lalu mendorong pelan tubuh Raskal, "lo sama sekali nggak pantes jadi pacarnya. Lo nggak bawa pengaruh apa-apa di hidupnya Kal, kehadiran lo itu nggak ada gunanya."
Setelah mengucapkan kalimat menyayat hati itu, Aariz keluar dari kamar rawat, meninggalkan Raskal yang sedang menatap pintu kosong dan Erland yang bingung harus apa pada Raskal.
"Sorry Kal, Abang gue lagi emosi. Jangan masukin di hati ya," ucap Erland lalu pergi dari sana.
Setelah pintu benar-benar tertutup, barulah Raskal mendekati brankar Kalila. Perempuan itu pucat, nafasnya tidak teratur dan dahinya mengeluarkan banyak keringat. Raskal mengusap keringat itu dengan ibu jarinya, membuat Kalila bergerak tak nyaman.
"Kak Aariz."
Seketika tubuh Raskal mematung. Yang Kalila cari bukan dirinya, melainkan orang lain.
"Cari Raskal," lanjut Kalila masih dengan mata yang terpejam menahan serangan rasa pening di kepalanya.
Tangan Raskal beralih mengenggam tangan mungil Kalila, membungkus dengan kedua tangannya lalu mengecupnya lembut. Matanya masih memperhatikan Kalila yang bergerak tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Teen Fiction[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...