Sinar matahari bersinar di sela-sela horden, membentuk garis lurus kecil yang mampu membuat kedua mata yang baru 3 jam tertutup itu terbuka. Matanya mengerjap, membiasakan cahaya yang masuk ke retina matanya. Kalila berusaha untuk duduk sembari memengangi kepalanya yang sedikit pening. Namun kepalanya tidak separah tadi malam, tadi malam ia merasa kepalanya hampir pecah.
"Udah enakan?"
Kalila mengernyit ketika ada seseorang yang sedang mengupas apel di sofa sudut ruangan. Ia baru sadar bahwa ruangan ini bukan kamar rawatnya tadi malam. Ruangan ini lebih luas lagi dengan fasilitas yang mewah. Setelah menyapu ruangan yang cukup besar itu dengan matanya, pandangannya kembali ke sosok laki-laki yang kini sedang memakan apel yang sudah ia kupas.
Kalila terus mengikuti gerak-geriknya tanpa mau menjawab. Hingga akhirnya laki-laki itu duduk di brankarnya, menaruh sepiring apel yang sudah dikupas di lemari kecil samping brankar. Tangannya terulur menyentuh kening Kalila lalu kemudian menariknya kembali.
"Lo nggak inget gue?"
Setelah mengamati garis wajah laki-laki itu, Kalila baru sadar, ia adalah laki-laki yang memeluknya tadi malam. Kalila menjilat bibirnya yang pucat, malu mengingat kejadian tadi malam. Pasti wajahnya sangat kacau. Untung saja laki-laki ini tidak menganggapnya hantu tadi malam.
Kalil mengangguk sembari tersenyum kikuk. "Inget."
Senyum terukir di bibir Aariz, ia kembali mengambil piring yang berisi apel dan membawanya ke pangkuan Kalila. "Nih, makan."
Kalila mengambil satu potong apel itu tanpa ragu. Pandangannya kembali menatap Aariz. "Lo siapa? Kenapa perduli sama gue?" tanya Kalila langsung pada intinya.
Pertanyaan Kalila membuat Aariz terdiam sebentar. Pertanyaan itu seakan memberi tahunya jika Kalila tidak percaya bahwa ada orang yang dunia ini yang perduli dengan dirinya.
"Emangnya gue nggak boleh perduli sama lo? Lo manusia, gue manusia, kita makhluk sosial," Aariz menatap raut wajah Kalila, "butuh bantuan orang lain, nggak bisa hidup sendiri."
Kalila langsung diam mendengar jawaban dari Aariz membuat Aariz semakin yakin bahwa perempuan ini mempunyai masalah yang serius.
"Lo–"
Suara Aariz terpotong oleh suara pintu yang terbuka, menampilkan sosok Lily yang sedang tersenyum di sana. "Dokter Aariz, ada pasien."
Aariz menghela nafasnya kasar. "Kak, gue bilang jangan manggil Dokter!" ucap Aariz kesal.
Ia kemudian mendekati Lily, mengambil jas Dokternya dari lengan Lily, sembari memakainya Aariz melirik Kalila sebentar. "Jagain dia. Gue nggak mau dia keluar dari kamar ini."
Lily mengangguk memahami, Aariz tersenyum kecil setelah melirik Kalila dan keluar dari kamar rawat itu. Sedangkan Kalila yang melihatnya hanya terdiam sembari menyimpan banyak pertanyaan dipikirannya. Ia kira, laki-laki tadi adalah remaja seusianya, karna wajahnya terlihat masih muda. Tapi ternyata ia adalah salah satu Dokter di rumah sakit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Roman pour Adolescents[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...