"Jadi, mau cerita?"
Kalila membungkus gelas coklat panasnya menggunakan kedua tangan mungilnya. Kedatangan Kalila di ruang kerja Aariz membuat laki-laki itu terkejut. Apalagi Kalila datang masih lengkap dengan seragam sekolahnya dan dengan mata yang bengkak. Kalila hanya duduk di kursi samping jendela besar yang menyuguhkan pemandangan Ibukota di bawah sana. Lily juga sempat mengekori Kalila dari belakang, kepo mengapa perempuan itu menangis. Namun Aariz menggeleng membuat Lily keluar dari ruangan itu.
"Kita jalan-jalan aja gimana?" tanya Aariz membuat Kalila menatapnya, "wisata kuliner mau nggak? Gue laper."
Senyum terbit di wajah Kalila. Perempuan itu mengangguk semangat. "Ayo!"
"Tapi tunggu, lo ganti baju dulu."
"Gue kan nggak bawa baju, Kak!"
"Pake baju gue aja mau nggak?" Aariz bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke lemari kecil di sudut ruangan.
Aariz kembali duduk di hadapan Kalila, memberi perempuan itu kaus oblong hitam. Kalila langsung menerimanya tanpa protes dan memasuki kamar mandi yang berada di sana. Tak lama kemudian, Kalila keluar dan tersenyum lebar menatap Aariz. Kausnya memang sedikit kebesaran sih, tapi tak apalah, daripada ia harus memakai seragam sekolah yang mengerahkan.
"Ayo!"
Tak perlu waktu lama, mereka sudah sampai di depan parkiran yang berada tak jauh dari banyaknya kedai makanan. Kalila melompat kecil sembari tersenyum lebar melihat aneka macam makanan yang terjual di sana. Aariz ikut tersenyum melihat tingkah Kalila yang seperti anak-anak. Laki-laki itu memasukkan satu tangannya pada saku celananya lalu berjalan di depan Kalila. Namun, siapa sangka, Kalila mengalungkan lengannya pada tangan Aariz yang ia masukkan tadi.
Baru saja mereka memasuki jalanan yang dipinggirnya terdapat kedai dengan makanan yang berbeda, langkah kaki Kalila berhenti, matanya menatap seseorang yang sangat ia kenali sedang mengantri di salah satu kedai. Air matanya kembali mengalir dan dadanya sesak. Sudah dua kali dalam sehari ia menangisi laki-laki itu. Entahlah, hanya hormon saja karna ia sedang halangan atau memang semua ini benar-benar menyakitkan. Sejak kejadian 'berpelukan' itu, apakah Raskal tidak mencarinya?
"La," Aariz menahan lengan Kalila saat perempuan itu berlari menjauh darinya, Aariz membawa Kalila masuk ke dalam mobilnya dan segera meninggalkan tempat itu.
Selama perjalanan, Kalila masih saja menangis, isak tangisnya terdengar sesekali. "Lo—"
Kalimatnya terpotong saat ponselnya berdering, terdapat nama Erland di sana.
"Bang, lo dimana? Gue di apart lo."
"Iya gue ke sana."
Sesampainya di apartemen Aariz, setelah Aariz mengetuk pintu dua kali, pintu terbuka dan melihatkan Erland dengan mulut yang penuh dengan snack. Erland mengernyit ketika melihat Abangnya datang tidak sendirian.
"Ngapain lo–"
Ketika Erland baru saja ingin adu mulut dengan Kalila, perempuan itu malah nyelonong masuk sembari berbaring di sofa, memeluk bantal sofa dan sesekali memukulnya. Erland menatap Aariz meminta penjelasan atas sikap Kalila, namun Aariz hanya mengangkat bahunya lalu masuk ke kamarnya.
Rintik hujan menghantam jendela kaca apartemen Aariz,membuat apartemen yang tadinya hening berubah menjadi ramai karna rintik hujan. Kalila bangkit dari posisinya, memandang kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Entah apa yang ia pikirkan, Kalila keluar dari apartemen itu tanpa pamit pada Erland maupun Aariz. Di saat orang-orang mencari tempat berteduh guna menghindari hujan, Kalila malah berjalan di bawah rintiknya. Kakinya melangkah mengikuti trotoar, tanpa tujuan, Kalila tetap melangkah.
Berjalan di bawa rintik hujan hanya dengan kaus oblong tipis dan rok pendek satu jengkal di atas lutut, Kalila mengundang perhatian orang-orang yang sedang berteduh. Hingga akhirnya langkah kakinya berhenti, ketika mendapati Raskal di depan minimarket. Laki-laki itu memakai hoodie putih dan celana jeans selutut, kedua tangannya ia gesekkan, sesekali meniupnya hingga menimbulkan rasa hangat. Senyum tipis terbit di bibir Kalila, perempuan itu melangkah mendekati Raskal. Namun baru dua langkah, langkahnya kembali berhenti.
Matanya menatap Raskal tidak percaya. Lagi, ia melihat Raskal bersama Naira lagi. Entah sudah ke berapa kalinya. Mata Kallila tak lepas dari kedua orang itu. Raskal melindungi kepala Naira dengan kedua tangannya agar tidak terkena rintik hujan ketika mereka berlari bersama menuju mobil. Dan tak lama kemudian, mobil itu melaju dengan kecepatan normal, meninggalkan Kalila yang masih terdiam di posisinya.
"Gue nyari lo kemana-mana."
Kalila mendonggak, menatap payung hitam yang melindungi tubuhnya dari rintik hujan kemudian beralih menatap Aariz. Aariz menghela nafasnya kasar. "Ngapain sih ujan-ujanan–"
Ucapannya terpotong saat Kalila memeluknya erat, isak tangis Kalila terdengar samar karna rintik hujan.
• • •
Malam itu, setelah ganti baju, Kalila memaksa Aariz untuk mengantarnya pulang, kalau tidak, ia akan pulang sendiri. Aariz awalnya ragu mengantar pulang Kalila, apalagi perempuan ini sendirian di rumahnya. Namun ancaman Kalila lebih membuatnya takut. Dan mau tidak mau, Aariz mengantar Kalila pulang malam itu juga.
Dan di sinilah Kalila sekarang, sendirian di dalam kamarnya sembari menatap kosong pemandangan samping rumahnya. Dari tadi malam, ia belum menerima asupan makanan sedikit pun. Hal itu membuatnya menjadi lemas dan pucat. Kalau mau dijelaskan secara rinci mengenai penampilan Kalila saat ini, Kalila seperti zombie.
Suara bel rumahnya berbunyi, membuat Kalila turun dari sofa dekat jendelanya, berjalan gontai menuju pintu utama. Sebelum membuka pintu, Kalila mengintip pada jendela di samping pintu, melihat siapa yang datang. Ia terdiam, memandang Raskal yang sedang menatap ke arah pintunya, sembari membunyikan bel.
"La?" panggilnya setengah teriak, tak ada jawaban membuat Raskal duduk di tangga depan pintu, sembari menjambak rambutnya frustasi, "kamu dimana sih, La?"
Seketika pandangan Kalila memburam dan menghitam, bersamaan dengan itu, Raskal melangkahkan kakinya menjauh dari rumah Kalila.
🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Teen Fiction[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...