Bau obat-obatan menyambut saat baru saja tersadar dari tidur lelapnya. Kedua matanya berkedip beberapa kali, membiasakan cahaya yang masuk ke retina matanya. Ringgisan kecil kembali terdengar saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya yang lagi-lagi terasa sakit. Tangannya terasa berat dan hangat, membuat kedua bola mata itu bergerak melihat apa yang terjadi. Di sana, tangan Raskal mengenggam tangannya.
Yang Kalila ingat siang itu adalah matanya ditutup oleh kain hitam sebelum tubuhnya diseret dan diikat di pohon besar. Dan semua yang biasa ia terima dari Ayahnya kembali ia rasakan siang itu. Namun lebih sakit. Entah karna siang itu turun hujan yang membuat luka-lukanya semakin terasa sakit. Padahal Kalila ingat sekali siang itu matahari sedang bersinar terik. Tapi ia bisa merasakan rintik hujan jatuh mengenai tubuhnya.
Dan yang Kalila dengar sebelum ia pingsan adalah teriakan salah satu dari 3 orang itu;
"Jangan deketin Raskal lagi!"
Kalila sudah tidak tahan, ia tidak pantas menerima semua ini hanya karna ia dekat dengan Raskal. Bila awalnya saja sudah seperti ini, bagaimana ke depannya? Apa ia harus menahan semua ini lagi? Bahkan untuk menjauh dari Raskal pun rasanya mustahil, Raskal sudah berhasil membuatnya nyaman dan Kalila tidak bisa melepas Raskal begitu saja.
Dengan lembut Kalila melepas tangannya dari genggaman Raskal, ia menapakkan kedua kakinya pada lantai rumah sakit yang dingin. Ia ingin keluar. Ia ingin menjauh dari Raskal. Sebentar saja, tidak lama. Walaupun tubuhnya masih terasa sakit, Kalila memaksa tubuhnya untuk keluar dari kamar rawat itu. Namun yang terjadi adalah, tubuhnya ambruk sesaat setelah ia menutup pintu kamar rawatnya dengan berhati-hati. Punggungnya terbentur dinding dingin rumah sakit.
Kalila melipat kedua kakinya hingga menyentuh dada dan kedua tangannya, menenggelamkan wajahnya di lipatan itu. Menangis dalam diam, di koridor rumah sakit yang sepi.
• • •
Laki-laki berkeperawakan tinggi, gagah dan menawan itu, keluar dari ruangan yang setengah tahun terakhir sudah menjadi tempat kerjanya. Tiap hari melihat gigi, cukup membosankan. Ia menutup pintu pelan, membuat papan kayu tipis yang tergantung di sana dengan tulisan 'Gigi' bergoyang sedikit.
"Udah mau pulang Dok?"
Laki-laki yang dipanggil Dok itu menghela nafasnya kasar. "Kak, jangan panggil Dok, berasa tua."
Perempuan yang memakai pakaian khusus suster itu tertawa kecil. "Terus panggil apa dong? Adik kecil?"
Laki-laki itu mendengus. "Kak."
"Iya-iya maaf Riz, abisan gila sih lo yang lebih muda 4 tahun dari gue udah jadi Dokter."
Aariz duduk di samping Lily, malas membicarakan apa yang sedang Lily bahas. Banyak Suster bahkan Dokter yang membicarakan tentang dirinya yang terlalu muda untuk menjadi seorang Dokter. Namun Aariz tidak perdulikan itu, walaupun dipuji sebagaimana pun, Aariz tidak akan terbang.
"Lo nggak pulang? Ini udah jam 2 loh."
Lily mengatur beberapa map lalu memasukan map itu ke dalam lemari. "Sekalian aja nginep di rumah sakit. Males pulang kalau udah jam segini."
Aariz mengangguk, ia bangkit dari duduknya. "Yaudah, gue duluan Kak."
"Hati-hati Dok! Nanti nemu cewek cakep lagi. Tapi kakinya nggak napak."
"Sembarangan!" ujar Aariz yang dibalas kekehan oleh Lily.
Aariz yang memang sudah memakai pakaian santai semenjak keluar dari ruangan kerjanya, menyusuri koridor rumah sakit yang biasanya memang sepi. Langkahnya ringan tanpa memakai jas putih yang biasa di pakai oleh kebanyakan Dokter. Ia hanya memakai kaus hitam polos yang serasi dengan warna kulitnya dan celana jeans pendek selutut. Di tangannya hanya ada sebuah ponsel tanpa tas yang biasa ia bawa saat berjalan di koridor ini pagi-pagi.
Di rumah sakit ini, ia dicap sebagai Dokter paling muda dan kelewat santai. Saat semua Dokter di rumah sakit itu sibuk memikirkan pasien mereka, Aariz malah santai-santai saja.
Aariz menghentikan langkahnya ketika melihat ada seseorang—yang Aariz belum yakin itu adalah orang sedang duduk bersandar di tembok sembari memeluk lututnya sendiri. Nafas Aariz tercekat saat mengingat apa yang Lily ucapkan tadi. Jangan-jangan ini adalah salah satunya?
Namun prasangka Aariz langsung sirna saat mendengar isakan samar yang menggema di koridor itu. Bahkan selang infus itu bergerak dan kedua kaki perempuan itu menapak di lantai. Dengan cepat Aariz mendekati perempuan itu, berjongkok di hadapannya.
"Hey, are you okay?"
Suara itu membuat Kalila mengangkat kepalanya, matanya langsung mendapati mata Aariz yang menyorotkan tatapan khawatir kepadanya. Benar, Aariz benar-benar khawatir. Apalagi saat melihat luka sayat yang berada di seluruh pergelangan tangan Kalila bahkan di wajahnya, ada segaris luka sayat di pipinya, garis lurus sampai dagu.
Kalila tersenyum tipis, ia menghapus air matanya dengan cepat lalu menggeleng pelan. "Gue nggak pa-pa. Lo bisa pergi," jawabnya pelan.
Bukannya pergi, Aariz malah ikut duduk di hadapan Kalila, menatap perempuan itu. Anak bayi juga pasti tau bahwa Kalila sedang ada apa-apa dan tidak baik-baik saja hanya dengan melihat semua luka ini dan mendengar isak tangis Kalila yang terdengar memilukan.
Aariz mengusap bahu Kalila lembut. "It's okay. Nangis sepuasnya. Keluarin semuanya. Gue tau ini berat," ucapnya dengan nada bicara yang sangat lembut.
Kalila yang masih menatap mata Aariz berkedip, membuat air matanya kembali terjatuh. Kalila menunduk, kembali mengigit bibir dalamnya erat, takut isak tangisnya menganggu orang-orang. Melihat cara Kalila menangis dalam diam, membuat Aariz sadar bahwa perempuan ini tidak mempunyai masalah yang sepele. Dan seperti sudah terbiasa menutupi bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
Air mata terus mengalir di pipinya hingga membuat genangan kecil di lantai rumah sakit. Matanya ia tutup rapat, berusaha menghentikan tangisnya. Dan kedua tangannya sudah mengepal kuat hingga membentuk empat luka berbentuk bulan sabit di sana. Saat ia baru saja membuka kedua kepala tangannya, Aariz sudah kembali menutupnya, mengenggam kedua tangan itu dengan tangannya, mengusapnya lembut.
"Semuanya akan baik-baik aja, lo aman di dekat gue."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Aariz membawa tubuh mungil itu kedalam pelukannya. Mendekapnya erat, membuat tangis Kalila kembali pecah. Aariz tidak tau apa yang membuat Kalila seperti ini, tapi ia tau bahwa Kalila saat ini butuh orang lain untuk menopangnya.
Malam itu, Kalila mengeluarkan semuanya. Dan Aariz setia menunggu Kalila hingga tenang di koridor rumah sakit yang sepi.
🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Teen Fiction[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...