Eccedentesiast - 30

3K 236 20
                                    

"My man, Raskal!"

Raskal menerima uluran tangan laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya. Mereka berpelukan ala laki-laki lalu Raskal duduk di sofa panjang. Tempat ini, masih saja seperti dulu. Tidak ada yang berubah sedikit pun.

"Setelah jeblosin Abang lo ke penjara, lo dateng ke sini tanpa rasa bersalah?"

"Hey, hey. Calm down. Gue yakin Raskal nggak ada maksud gitu," Erwin membela Raskal, "mau gimana pun, Tio yang salah karna nyulik anak orang demi mancing Raskal."

Raskal menggeleng saat Erwin menyodorkannya botol yang sudah lama tidak ia konsumsi lagi. Raskal kembali menggeleng saat Yudris menawarkan sekotak rokok.

"Sejak kapan lo jadi anak baik-baik kayak gini?"

Raskal terkekeh. "Sejak gue sadar kalau kalian semua bawa pengaruh buruk."

Tawa Erwin terdengar menggema hingga ke sudut-sudut ruangan. "Raskal gue sekarang udah gede."

"Gimana Abang lo?"

"Gue nggak pernah jenguk dia."

"Parah lo! Gitu-gitu dia juga Abang lo."

"Tahun depan juga udah keluar."

Erwin duduk di samping Raskal. Sudah 2 tahun terakhir Raskal tidak menginjakkan kakinya di tempat ini. Namun malam ini, Raskal kembali datang, tidak mungkin ia datang tanpa ada maksud tujuan. Raskal yang mengerti dari tatapan Erwin langsung menceritakan semuanya.

Setelah selesai, Raskal diam, begitu juga Erwin. Raskal bangkit dari duduknya. "Gue harap lo mau tanggung jawab atas perbuatan keji lo Kak. Gue pulang."

Yudris memblokir jalan keluarnya. "Cepet amat pulangnya bro. Baru jam 2."

"Minggir, gue nggak level adu bacot sama lo."

Yudris terkekeh. "Gimana pacar manja lo? Masih suka cari perhatian?"

Iruk menahan Raskal saat laki-laki itu hampir melayangkan bogemannya pada wajah Yudris. "Udahlah, lo tau gimana sampahnya mulut Yudris."

"Makasih udah mau dateng lagi ke sini Kal. Kita nunggu lo balik lagi, ngumpul sama kita," lanjut Iruk.

Ia menepuk bahu Raskal sebelum laki-laki itu pergi meninggalkan tempat yang mempunyai jutaan cerita di dalamnya. Dua tahun Raskal benar-benar pergi dan tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat ini, dua tahun juga mereka mati-matian memaksa Raskal untuk kembali. Setelah kesalah pahaman waktu itu, Raskal benar-benar berubah. Namun sikapnya pada semua orang pada tempat itu masih sama. Dingin, keras dan datar. Selalu. Raskal yang dulu mereka kenal, sudah menghilang.

• • •

Pagi harinya, Raskal benar-benar kembali. Entah jam berapa dan entah bagaimana ia bisa masuk, yang penting Kalila sangat senang saat menemukan Raskal tertidur di sofa dengan pakaian yang sama dengan tadi malam. Dan di sinilah Kalila sekarang, duduk di karpet sembari menatap Raskal yang masih terlelap dengan dengkuran tipis. Dari jarak sedekat ini, Kalila bisa merasakan hembusan nafas Raskal yang teratur dan hangat menghembus hingga menyentuh permukaan kulit wajahnya.

Sesaat kemudian, dengkuran halus itu berhenti bersamaan dengan Raskal yang membuka kedua matanya. Kalila yang kaget langsung menjauhkan wajahnya dari Raskal, membuat laki-laki itu terkekeh. Raskal menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuhnya.

"Kamu kok nggak tidur di kamar? Kamar kan banyak. Kamar tamu juga nggak dikunci."

"Nggak enak, bukan rumah aku."

"Harusnya kamu bangunin aku, biar kamu tidur di kamar."

"Nggak pa-pa, La, aku tidur dimana aja. Yang penting malam ini aku jagain kamu."

Kalila tersenyum geli saat Raskal mengusap pipinya dengan tangan kanannya. "Kamu tadi malam kemana?"

"Ketemu temen lama."

Kalila mengangguk, bangkit dari posisinya berjalan ke dapur, memasak nasi goreng seadanya. Sedangkan Raskal mengecek ponselnya sudah banyak notifikasi di sana. Namun satu yang membuatnya tertarik dan langsung membalas pesan itu.

Raskal: iya nanti aku ke sana.

Raskal: <3

Setelah itu, Raskal pergi ke dapur, duduk di kursi mini bar. Mengamati bagian belakang tubuh Kalila yang sedang sibuk memasak. Tak terasa senyum terbit di sana. Senyum Raskal melebar saat Kalila ikut duduk di hadapannya sembari menaruh sepiring nasi goreng dan segelas air putih. Tak banyak yang mereka bicarakan hanya hal-hal kecil yang mampu membuat Kalila sesekali tertawa kecil dan Raskal tersenyum hangat melihat tawa Kalila.

"Baju aku masih di sini kan?"

Kalila mengangguk sembari membilas piring dengan air yang mengalir. "Ada di lemari, nanti aku siapin. Kamu mandi aja dulu."

Tanpa babibu lagi, Raskal langsung memasuki kamar mandi, ia tidak boleh terlambat menemui orang itu. Setelah selesai menyusun piring di rak, Kalila langsung memasuki kamarnya, mengeluarkan baju Raskal yang sempat tertinggal di sini. Ia menaruhnya di kasur lalu kembali keluar dari kamar. Baru saja dua langkah, Kalila kembali berbalik memasuki kamarnya dan mengambil ponsel Raskal yang tergeletak di kasur. Nama Naira terpampang jelas di sana.

Belum sempat Kalila membuka mulut, Naira lebih dulu berbicara di sebrang sana.

"Raskal, kamu dimana sih? Nanti kita telat. Dokter kandungannya jam 11 udah pulang. Kamu jadi kan nemenin aku?"

Hening. Hingga akhirnya Raskal merebut ponsel yang masih berada di telinga Kalila. Naira? Dokter kandungan? Apa yang sebenarnya terjadi?

"Siapa?"

"Kamu ada hubungan apa sama Naira?"

Raskal langsung terdiam. "Naira yang nelfon?"

Kalila mengangguk membuat Raskal berlari memasuki kamar mandi sembari mengambil baju yang tergeletak di kasur. Tak lama setelah itu, Raskal keluar dari kamar mandi lalu melewati Kalila begitu saja tanpa melirik sedikit pun.

"Kal! Kamu mau kemana?"

Entah sengaja atau tidak sengaja, Raskal menghempaskan lengan Kalila yang menahannya. Hingga perempuan itu terhuyung dan lengannya mengenai ujung meja yang tajam. Darah mengalir di sana, lengan Kalila robek. Namun reaksi Raskal hanya diam dan kembali berlari keluar dari rumah.

"Raskal!"

"Aku harus pergi."

"Kal, aku butuh kamu di sini."

"Tapi Naira lebih butuh aku."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Raskal keluar dari rumah besar itu, meninggalkan Kalila dengan darah yang menetes dari lengannya dan air mata yang menetes di pipinya.

🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang