Pukul 9 malam, Kalila membuka matanya dan mendapati kamar yang tidak dikenalnya. Kalila langsung turun dari kasur kemudian berjalan ke arah pintu. Kedua alisnya hampir menyatu saat melihat keluar pintu kaca di hadapannya. Ia sedang berada dimana sekarang? Mengapa di hadapannya langsung pemandangan pantai?
Kalila kembali ke kasur, mengambil selimut yang tadi ia pakai. Seragam masih melekat di tubuhnya, membuat angin pantai dapat menusuk kulit hingga tulang. Kalila duduk di samping Raskal sembari menatap ke depan. Merasakan angin pantai yang berhembus menerpa wajah dan menerbangkan beberapa helai rambutnya. Berada jauh dari orang-orang yang dapat menyakitinya adalah satu keinginan Kalila. Sudah dari dua tahun yang lalu ia ingin menenangkan pikiran di pantai atau tempat yang berada jauh dari Jakarta. Namun semuanya tidak kesampaian mengingat Ayahnya yang seperti itu. Dan sekarang impiannya tercapai.
"Maaf La, gue–"
"It's okay. Gue nggak marah, malah seneng," potong Kalila dengan senyuman lebarnya.
Ia berdiri kemudian menyelimuti tubuh Raskal dengan selimut yang ia bawa tadi. Jadi mereka sedang berada di dalam selimut itu dan hanya kepala yang menyembul keluar. Deruan ombak memenuhi gendang telinga, menenangkan hati. Apalagi dengan langit malam yang dihiasi oleh bintang-bintang. Membuat suasana malam itu menjadi lebih indah. Raskal menatap Kalila dari samping sembari tersenyum tipis ketika melihat senyum lebar di bibir perempuan itu.
Kalila berbalik, membuat jarak wajah mereka lebih dekat. Raskal segera menjauhkan wajahnya dari Kalila. Sedangkan Kalila melebarkan senyumnya. "Makasih, Kal."
Setelah mengucapkan hal itu, Kalila langsung memeluk Raskal erat, menenggelamkan wajahnya pada lekukan leher Raskal. Menghirup aroma tubuh yang selama ini menenangkannya. Raskal melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Kalila mendekap perempuan itu lebih dalam. Entah yang ia rasakan saat ini hanya kebetulan atau memang benar. Jika jantungnya selalu berdetak dengan kencang saat berada di dekat Raskal. Terlebih saat Raskal melakukan hal-hal kecil yang mampu membuatnya merasa spesial.
Saat baru saja melepas pelukannya, rahang Kalila langsung ditahan oleh Raskal. Laki-laki itu menatapnya dalam lalu mendekatkan wajahnya. Saat tinggal beberapa cm lagi, Kalila mengalihkan pandangannya dan langsung bangkit dari posisinya. "Gue tidur duluan Kal."
Bohong. Padahal ia baru saja bangun dari tidurnya. Kalila meninggalkan Raskal yang masih dengan selimut di tubuhnya. Ia masuk je dalam kamar itu dan berbaring sembari memunggungi Raskal. Kalila menahan senyumnya sembari mengigit-gigit ujung kukunya, wajahnya merah padam. Tak lama setelah Kalila masuk, Raskal juga ikut masuk ke dalam sana, menyelimuti Kalila dengan selimut yang perempuan bawa tadi. Dengan cepat Kalila menutup matanya erat. Ia bisa merasakan tangan Raskal mengusap kepalanya lembut sebelum berjalan ke arah sofa di sisi ruangan. Lampu kamar mati, digantikan dengan sinar bulan dari luar.
Entah sudah jam berapa ini, Kalila masih saja tidak bisa menutup matanya. Perempuan itu bangun dari posisinya, membuat selimut yang awalnya sampai di bawah dagu Kalila, menjadi di bawah perut. Bibir bawahnya menyembul lucu. Seperti anak kecil yang takut tidur sendiri, Kalila berjalan ke arah sofa tempat Raskal tidur. Laki-laki itu tidur tanpa menggunakan bantal dan selimut. Padahal suhu di kamar itu lumayan dingin. Dengan lembut, Kalila menyelipkan bantal di bawah kepala Raskal. Dan menyelimuti sebagian tubuh Raskal dengan selimut tebal tadi.
Bukannya kembali ke kasur, Kalila malah ikut berbaring di samping Raskal, membuat sofa yang hanya cukup untuk satu orang, sempit akibat Kalila yang memaksa untuk tidur di sana juga.
"Kal, sanaan dikit napa sih?"
Raskal mengerang kecil lalu tidur menyamping menghadap Kalila, membuat perempuan itu menahan nafasnya beberapa detik karna wajah mereka berdua sangat dekat. Berbeda dengan Raskal yang melanjutkan petualangannya di alam mimpi. Matanya terpejam, nafasnya keluar teratur. Kalila berdecak sembari menjauhkan tubuh Raskal darinya. Mau dijauhkan sejauh apa itu, tetap saja tubuh Raskal dekat dengannya karna ukuran sofa yang kurang besar. Bukan kurang besar sih, Kalila saja yang memaksa untuk tidur bersama Raskal.
"Ih!" pekik Kalila sebal saat tubuh Raskal masih saja sangat dekat dengannya, ia mau tidur dengan Raskal di sofa, tapi tidak mau dekat dengan Raskal, "jangan deket-deket napa sih?"
"Lo-nya aja ngapain di sini?" gumam Raskal sembari memperbaiki posisinya.
"Sanaan dikit Kal."
Raskal berdecak setengah sadar. Setengahnya lagi kesal. Ia memeluk tubuh mungil Kalila erat lalu kembali tidur, membuat kedua bola matanya membulat sempurna, nafasnya tercekat beberapa detik, wajahnya memerah, detak jantungnya berdetak kencang. Seperti ada aliran listrik yang Raskal hantarkan di setiap sentuhannya. Kedua bola mata Kalila terpaku menatap wajah Raskal. Selama ini, ia tidak pernah menyangka bisa dekat dengan laki-laki yang menjadi anak emas sekolahnya. Laki-laki yang banyak diminati oleh teman-temannya maupun adik kelas.
Kalau saja saat itu Raskal tidak melihatnya di pos satpam, apa kejadian ini akan tetap terjadi?
"La."
"Hm?" gumam Kalila kaget, ia kira Raskal sudah kembali tidur.
"Gue," Raskal terdiam sebentar, "sayang sama lo."
"Tidur lo, jangan kebanyakan ngigo."
"Serius."
"Huh?"
"Gue sayang lo, Kalila Mariza."
🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Ficção Adolescente[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...