"Kalila!"
Kalila yang sedang membenarkan letak jaketnya berbalik, menatap Raskal yang sedang berlari ke arahnya. Selama ia sekolah di sana, baru kali ini ada yang memanggil namanya sekeras itu. Terlebih di koridor yang ramai. Teriakkan Raskal berhasil membuat koridor yang tadinya ramai seperti pasar sekarang sehening kuburan. Sedetik kemudian langsung terdengar bisik-bisik dari mereka semenjak Raskal sudah berada di hadapannya.
Raskal itu lumayan hits. Walaupun sedikit cuek, Raskal itu seru dan menyenangkan. Sikapnya yang manis membuat siapapun yang berada di dekatnya menjadi nyaman. Prestasinya juga menambah poin dalam ke-hitsan laki-laki itu. Akademik, maupun non-akademik. Seperti seminggu yang lalu, tim basket dan futsal mereka juara 1 karna kehadiran Raskal dalam tim itu. Padahal laki-laki itu tidak memasuki salah satu dari ekstrakulikuler tadi. Banyak guru yang bilang Raskal itu seperti anak ajaib. Ia bisa melakukan apapun. Bahkan kemarin sepulang sekolah ia baru saja menebang pohon belakang sekolah membantu Pak Remi.
"Seriusan Raskal manggil Si Sampah?"
"Raskal? Lo salah manggil kali. Masa lo manggil cewek pinggir jalan?"
"Kalila? Seriusan? Cewek gila itu?"
Raskal tidak menanggapi sahutan itu, ia hanya tersenyum tipis ke arah Kalila yang sedang menatapnya datar. "La, nanti kita–"
"Lo nggak usah deket-deket sama gue."
Senyuman Raskal luntur ketika melihat mata Kalila berkaca-kaca. Perempuan itu langsung berlari menuju toilet perempuan. Sedangkan Raskal masih berdiri di tempatnya. Ia sudah mendengar semua rumor tentang Kalila, namun semuanya tidak ada yang benar menurut Raskal. Kalila tidak gila, juga tidak aneh. Sampah juga bukan. Lalu kenapa semua orang mengucilkan perempuan itu?
Awalnya Raskal juga tidak tertarik dengan Kalila. Tetapi saat melihat kedua bola mata perempuan itu, Raskal jadi penasaran. Seperti ada rasa yang Kalila sembunyikan dalam kedua bola mata itu. Apalagi saat melihat respon Kalila di ruang guru saat Bu Indah membahas tentang 'masalah di rumah' Kalila malah menangis tersedu-sedu di dalam toilet. Dan yang paling penting, semua luka yang berada di tubuh Kalila. Semuanya berbekas, seperti ada yang melukai perempuan itu secara terus-menerus.
"Kalian semua yang gila," ucap Raskal akhirnya sebelum ia berlari menyusul Kalila. Ia berdiri di depan pintu toilet perempuan. Lalu menyingkir saat ada dua orang siswi yang keluar dari sana.
"Si Gila ngapain senyum ke kita?" tanya Si Rok Pendek.
"Geli gue disenyumin," jawab Si Kuncir kuda.
Raskal mengernyit bingung. Senyum? Kalila tersenyum? Karna penasaran, Raskal memasuki toilet itu. Persetan dengan toilet perempuan, yang ia mau tau hanya keadaan Kalila. Raskal mengunci pintu toilet kemudian duduk di dinding wastafel, matanya menatap pintu berwarna abu-abu di depannya. Yang Raskal tau, Kalila sedang menangis dalam diam. Sesekali isak tangisnya terdengar. Tapi sangat kecil, hingga siapapun tidak bisa mendengarnya dari luar. Perempuan itu memang sudah ahli menyembunyikan perasaannya.
Lima menit kemudian, kunci pintu di hadapannya terbuka, membuat Raskal dengan cepat bersembunyi di balik tembok samping wastafel. Dari sana, Raskal dapat melihat bahwa Kalila sedang mencuci wajahnya dan mengusapnya dengan tisu, menghilangkan sisa air di sana. Kalila sempat terdiam beberapa detik menatap pantulan dirinya sendiri lalu mengeluarkan sesuatu dari kantung roknya. Bedak? Perempuan itu memoleskan bedak itu tipis ke hidungnya yang merah dan matanya. Lumayan untuk menutupi kalau ia sudah menangis.
Jadi Kalila sering menangis di toilet seperti ini? Buktinya ia selalu membawa kemana-mana bedak itu.
Raskal kembali bersandar di tembok ketika Kalila berjalan ke arah pintu. Bukannya keluar, perempuan itu malah memegang knop pintu yang dingin sembari terdiam. Raskal yang berada di hadapan Kalila hanya diam. Sedangkan Kalila hanya menatap kosong pintu di depannya tanpa sadar bahwa ada seseorang yang memperhatikannya sedari tadi. Saat Raskal baru saja ingin membuka mulutnya, Kalila menjauhkan tangannya dari knop pintu itu lalu berjongkok sembari memeluk erat kedua lututnya.
"I can't," bisik Kalila yang terdengar jelas di kedua telinga Raskal, "it's hurt."
Lalu isak tangis Kalila kembali terdengar membuat Raskal keluar dari tempat persembunyiannya. Duduk di hadapan Kalila––di belakang pintu. "La."
Kalila segera mengangkat kepalanya menatap Raskal sendu. Perempuan itu sempat menggumamkan nama Raskal sebelum menghamburkan pelukannya. Ia menangis di sana sembari mengigit bibirnya dalam, takut isak tangisnya terdengar orang lain. Namun isakan samar keluar dari bibir Kalila, membuat dada Raskal sesak seperti di timpa batu besar. Raskal mengusap lembut kepala Kalila, sangat lembut. Takut perempuan itu terluka hanya karna sentuhannya.
Karna sadar mereka tak bisa berlama-lama di sana, Kalila melepas pelukannya lalu duduk di hadapan Raskal, menatap laki-laki itu dan lantai bergantian. "Maaf karna gue lo jadi bahan omongan anak-anak. Bukannya gue nggak mau temenan sama lo, tapi mending lo jauh-jauh dari gue. Gue–"
"La–"
"It's okay. Gue udah biasa nggak punya temen."
"La gue–"
"Jangan bilang ke siapa-siapa tentang semua luka gue. Lo harus sadar, lo siapa, gue siapa. Lo nggak pantes deket-deket sama gue yang cuma sam–"
"La!"
"Gue sampah Kal!" mata Kalila yang berkaca-kaca menatap mata Raskal dalam, "anak emas kayak lo nggak pantes deket-deket sama sampah kayak gue."
Raskal menghela nafasnya lalu mengusap pipi Kalila menggunakan ibu jarinya. "La, let me know you."
"Lo kenal gue. Sampah, cewek pinggir jalan, orang gila, aneh–"
"Okay stop. Gue yakin anak-anak salah. Lo nggak kayak gitu. Jadi biarin gue kenal lo lebih dalam."
Raskal menatap kedua bola mata coklat itu dalam. "Biarin gue jadi sayap pelindung lo."
🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Jugendliteratur[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...