Eccedentesiast - 31

2.9K 241 14
                                    

Seminggu setelah kejadian itu, lengannya sudah mulai membaik. Erland yang mengantarnya ke rumah sakit pagi itu. Erland menanyakan penyebab luka robek di lengan Kalila, namun tanggapan perempuan itu hanya diam sembari melihat ke luar jendela. Darah terus mengalir keluar dari lengannya, untung saja Kalila tidak kekurangan darah. Yang Erland pertanyakan adalah, luka selebar itu dan Kalila sama sekali tidak kesakitan? Perlu di acungi jempol.

Seminggu setelah itu juga, Raskal sama sekali tidak pernah datang menemuinya bahkan hanya untuk mengirimkan pesan, tidak ada. Seperti di telan bumi, Raskal bahkan tidak menampakkan batang hidungnya di sekolah sekali pun. Di kamar Irene—ruangan di depan kamar Ayahnya, Kalila duduk di antara rak buku tinggi, menatap ke arah jendela besar yang dihiasi dengan bulir-bulir air yang menempel.

Minggu pagi ini dingin, dan Kalila sendirian. Seperti hidup sendirian, Kalila merasa sangat kosong tanpa Raskal di sisinya. Rasa sakit pada hari itu berangsur hilang digantikan dengan rindu. Rindu yang setiap detik memaksa Kalila untuk mencari keberadaan Raskal. Namun otaknya berkata lain, otaknya menolak semuanya, menyuruhnya hanya untuk diam sampai Raskal datang dan minta maaf.

Suara bel menggema membuat senyum lebar terukir di sana. Dengan cepat ia menuruni tangga menuju pintu utama. Namun senyum lebarnya luntur ketika mendapati Erland sedang tersenyum kepadanya.

"Eh, hai Land."

"Hai La. Edo udah siuman–"

"Serius?!"

Erland mengangguk membuat senyum lebar Kalila kembali terukir. Dengan cepat ia memasuki kamarnya dan ganti baju. Setelah itu ia kembali menemui Erland, menarik laki-laki itu. "Ayo Land!"

"Kunci pintu dulu kali La."

"Oh iya!" Kalila berbalik, mengunci pintu rumahnya kemudian kembali menarik lengan Erland, "kuy!"

Di peluk sama Kalila itu rasanya jantungnya seperti dag dig dug ser. Walaupun sepenuhnya lengan Kalila tidak melingkar penuh di pinggangnya, hanya mengenggam ujung jaketnya saja. Tapi memberi efek listrik-listrik cintah pada seluruh tubuhnya. Erland tersenyum sepanjang perjalanan. Sedangkan Kalila hanya menatap jalanan tanpa sadar bahwa sedari tadi Erland menatapnya lewat kaca spion.

Kalila langsung turun saat mesin motor Erland mati, ia melompat-lompat kecil menunggu Erland melepas helmnya. Ia tak henti-hentinya mengoceh sepanjang koridor yang membuat Erland terkekeh. Hingga akhirnya ocehan Kalila berhenti saat melihat dua orang yang dikenalnya berada 3 meter di depannya. Bukan hanya ocehannya saja yang berhenti, langkahnya juga ikut berhenti. Ternyata benar, Naira hamil. Perutnya sudah terlihat membuncit walaupun belum terlalu kentara.

"Itu Raskal kan? Raskal!" Kalila langsung menarik ujung jaket Erland sembari menggeleng, "kenapa?"

Yang dipanggil berbalik, namun hanya sebentar, setelah itu Naira menarik lengan Raskal keluar dari rumah sakit itu. Keadaan mereka sekarang, membuat Kalila bingung. Satu sisi ia sakit, satu sisi ia sayang. Kalila kembali melangkah, namun ocehan itu tidak kembali. Erland yang mengerti keadaan tidak banyak tanya dan mengikuti langkah Kalila.

"Edo!" bukan, bukan Kalila yang berteriak, melainkan Erland yang nyelonong masuk sembari memeluk erat temannya itu, "ma bro."

Sedangkan Edo meronta sembari mencoba melepas pelukan Erland. Namun kedua matanya terarah pada Kalila yang sedang tersenyum kikuk dengan sebucket kecil bunga mawar putih di tangannya.

"Mata Do, mata."

Mendengar teriakan Rifki, Edo kembali sadar dan melepas pelukan Erland, menatap tajam temannya itu. "Jijik gue Land."

"Jahat kamu Mas! Tidur di luar lo abis ini!"

Semua yang berada di dalam kamar itu tertawa, terutama Kalila. Ia mendekati Edo, menaruh bucket bunga di nakas lalu duduk di samping laki-laki itu. "Nggak pa-pa kan bunga aja? Abisan gue bingung mau bawa apa. Lo kan alergi buah."

"Nggak pa-pa. Lo dateng aja gue udah seneng."

"Bagus Do! Gas terus!"

Kalila tersenyum lebar sembari melirik Rifki lalu kembali menatap Edo. "Gimana? Udah baikan? Kaki lo masih sakit?"

"Langsung bisa lari kalau udah dijenguk sama lo, La!" Rifki kembali berseru heboh.

"Astaga," Edo menghela nafasnya kasar lalu menatap tajam Rifki, membuat laki-laki itu terkekeh.

"Kok bisa sih? Lo nggak mungkin lompat ke jurang kan?"

Edo tertawa kecil membuat Kalila terdiam. Ada sengatan di hatinya ketika mendengar suara tawa Edo dan melihat kedua bola mata itu menyipit.

"Nggak lah, gila aja. Malam itu gue ngejar lo, gue nggak liat ada truk dari kanan. Dan truk itu nabrak gue, motor hancur, kaki gue ketindih motor–"

"Oke, stop," Kalila meringgis membayangkan apa yang Edo katakan, "semua salah gue. Harusnya malam itu gue nggak ninggalin lo sendiri dengan kondisi lo yang nggak stabil."

"It's okay, La. Nggak usah ngungkit masa lalu, udah lewat."

Edo mengusap punggung tangan Kalila, membuat detak jantung Kalila berdetak tidak normal. Sedangkan Rifki dan Erland yang memperhatikan hanya bisa tersenyum geli, Rifki menepuk-nepuk keras lengan Erland membuat Erland meringgis.

"Gila-gila. Cute couple banget nggak sih?" Rifki memekik tertahan seperti perempuan alay yang sedang melihat idolanya, membuat Erland geli sendiri.

"Emang lo nggak ngeship Raskal sama Kalila?"

"Cocokan sama Edo. Apalagi mereka udah saling kenal sejak SMP. Unch unch banget."

"Ki, geli banget sumpah."

Setelah berbincang-bincang, Dokter masuk ke kamar rawat Edo dengan senyuman hangatnya. Ia mengatakan bahwa kondisi Edo sudah mulai membaik hanya perlu kontrol tulang kering dan rusuknya saja. Kalau tulang keringnya sih sudah tidak masalah, sisa penyembuhan saja. Yang masalah adalah tulang rusuknya. Ia takut bahwa serpihan tulang yang retak masuk ke dalam paru-paru dan menimbulkan masalah.
Edo dibawa ke ruang scanning untuk dicek keadaan tulang kering dan tulang rusuknya. Setelah menutup kembali pintu, Kalila duduk di sofa single samping Erland.

"Kak Aariz yariin. Katanya lo udah sombong nggak mau main sama kita lagi."

"Katanya dia sibuk," Kalila melirik Erland sekilas lalu kembali mengikat tali sepatunya, "kemarin waktu lengan gue robek–"

"Lengan lo robek La?"

Kalila terdiam, baru sadar kalau sedari tadi ada Rifki di samping Erland. Kalila memakai sweater lengan panjang, pantas saja Rifki tidak melihat perban yang melilit di lengannya. Karna ditatap oleh Rifki, akhirnya Kalila mengangguk samar.

"Kena pinggiran meja waktu gue kepeleset."

Alasan klasik. Padahal Erland tau bahwa di TKP tidak ada genangan air ataupun sesuatu yang menjadi penyebab Kalila kepeleset. Apalagi saat Kalila menangis bukan karna lukanya, melainkan hal lain.

🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang