Eccedentesiast - 25

3.1K 238 4
                                    

Raskal duduk di jok motornya sembari mengamati rumah mewah di hadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raskal duduk di jok motornya sembari mengamati rumah mewah di hadapannya. Ia juga tidak bisa bertanya pada Bi Inah dimana letak kunci yang Bi Inah pegang karna Bi Inah juga mendapat hukuman. Bi Inah bersalah karna selama kejadian terjadi, ia hanya bungkam tanpa mau melaporkannya ke pihak yang berwajib. Entah ide darimana, terlintas di otak Raskal bahwa ia harus pergi ke rumah yang berada persis di samping rumah Kalila. Setelah memencet bel beberapa kali, perempuan paruh baya keluar dengan senyuman hangatnya.

"Sore Tante, maaf ganggu."

"Iya, nggak pa-pa kok. Ada apa?"

"Raskal boleh nanya?"

"Boleh dong, masa nggak."

"Tante tau Bi Inah?"

Irene melirik rumah mewah di sampingnya lalu kembali menatap Raskal. "Pembantu rumah tangga sebelah? Tau Tante, setiap pagi ketemu kalau lagi siram tanaman. Ada apa emangnya?"

"Anu Tante," Raskal jadi ragu, mana mungkin Bi Inah cerita ke tetangga dimana ia sering menaruh kunci, "nggak jadi deh Tante."

"Loh nggak jadi? Emang mau nanya apa?"

"Anu, Raskal mau nanya. Tante tau nggak Bi Inah biasanya taruh kunci rumah dimana?"

"Kalau itu Tante nggak tau," ucap Irene membuat Raskal menghela nafasnya kasar, ia harus mencari Kalila kemana lagi? "tapi kalau Tante sendiri nih ya, naruh kunci rumah biasanya di bawah karpet, di sela-sela ventilasi udara, di pot bunga atau di tempat tersembunyi lainnya."

Senyum kembali terbit di bibir Raskal. Benar juga, Bundanya bila pergi ke pasar juga menaruh kunci rumah di bawah kaki kursi. Setelah mengucapkan terima kasih, Raskal kembali ke rumah Kalila. Mulai dari bawah karpet, sela-sela ventilasi sampai di bawah kaki kursi juga tidak ada. Raskal mengedarkan pandangannya, lalu berhenti di guci besar yang berada di kiri dan kanan pintu. Mulai dari kiri, hingga kanan, dan akhirnya Raskal menemukan kunci itu di bawah guci tadi.

Guci seperti ini ia biasa lihat di rumah Eyangnya, katanya sih harganya cukup mahal. Namun kenapa Ayah Kalila malah menempatkan guci ini di luar rumah? Dan juga mengapa Raskal perduli dengan hal itu?

"Astaga, La!"

Begitu pintu terbuka, Raskal langsung disambut oleh Kalila yang terbaring di sisi kanan pintu. Keringat membanjiri tubuh perempuan itu, wajahnya pucat, badannya dingin. Untung saja nafasnya teratur, tidak terengah-engah seperti dulu. Dengan cepat Raskal mengangkat tubuh Kalila, membawanya ke dalam kamar yang terbuka di dekat tangga.

Dua jam kemudian, barulah Kalila membuka matanya, menatap seisi kamarnya yang kosong. Bila tak ada yang datang, lalu bagaimana ia bisa berbaring di sini? Sedangkan di sisi lain, Raskal sedang tersenyum senang melihat Kalila sudah bangun dari dapur. Walaupun jaraknya cukup jauh, Raskal masih bisa melihat Kalila sedang memijit pelan pelipisnya.

Setelah memanasi sup krim yang ia buat tadi, dan menaruhnya di mangkuk, Raskal kembali ke kamar Kalila, membuat perempuan itu terkejut melihat kehadirannya di sini. Raskal mati-matian menahan senyumnya sembari duduk di pinggir kasur Kalila lalu mengaduk sup krim, menyendokkannya ke dalam mulut perempuan itu. Kalila yang awalnya hanya terdiam kini membuka mulutnya, menerima sup krim hangat itu.

Lima menit lamanya, mereka berdua terdiam, tak ada dari mereka yang membuka pembicaraan lebih dulu. Raskal sibuk menyuapi Kalila dan Kalila sibuk memilin ujung bajunya sembari menerima sup krim. Hingga akhirnya Kalila membuka mulutnya, Raskal malah meninggalkan Kalila setelah memberi perempuan itu air di gelas. Entah kenapa, dada Kalila kembali sesak. Apa yang terjadi dengan Raskal?

Tak lama kemudian, Raskal kembali dan berdiri di ambang pintu, menatap Kalila yang sedang menunduk. "Kal, kamu kenapa? Aku ada salah ya?"

"Kal kalo kamu marah sama aku, bilang, setidaknya aku tau alasan kamu marah–"

Ucapan Kalila terpotong karna Raskal yang tiba-tiba mendekapnya erat. Tangisnya pecah saat berada di pelukan laki-laki itu. Kalila memukul dada Raskal berkali-kali. "Ngeliat kamu sama Naira waktu itu, kayak dada aku ketimpa batu besar, sakit. Apalagi waktu di kedai es krim sama di minimarket. Aku kira kamu akan ninggalin aku."

"Maafin aku," ucap Raskal parau, tangannya mengusap lembut kepala Kalila, "seharusnya hari itu, aku nyari kamu sendirian. Maafin aku, La."

• • •

"Bang, tolong!"

Mendengar teriakan Erland, Aariz yang sedang mandi langsung keluar tanpa membilas busa yang masih tertempel di kepalanya. Ia hanya melilitkan handuk dan keluar dengan tergesah-gesah. Aariz sudah ke kamar, namun tidak menemukan Erland, lalu dirinya menghentikan langkahnya saat Erland sedang berjongkok sembari menahan pipa di bawah wastafel.

"Tolong gue, Bang," ucapnya masih kesusahan untuk menahan air yang menyembur keluar.

"Gue kira apaan, bentar gue mandi dulu."

"Woy Bang! Gimana nih gue?"

"Tahan dulu."

"Sialan," gerutu Erland, baju dan celananya sudah basah oleh air, "Bang, gece!"

"Bentar, gue pake baju dulu."

Tak lama kemudian, Aariz keluar dari kamarnya dengan kaus navy dan celana pendek rumahan, matanya langsung menatap Erland yang sedang kesusahan menahan semburan air yang berasal dari pipa.

"Sini," ucap Aariz menggantikan posisi Erland, "lo ganti baju dulu, abis itu bantuin gue."

"Gue pinjem baju lo ya Bang."

Melihat anggukan dari Aariz, Erland pun berlari kecil menuju kamar Abangnya, sesampainya di sana, ia langsung membuka lemari dan mengambil sembarang kaus. Mendengar ada suara benda jatuh, Erland menunduk, mencari benda yang jatuh tadi. Alisnya hampir menyatu ketika menemukan sebuah cincin manis dengan berlian di dua sisi.

 Alisnya hampir menyatu ketika menemukan sebuah cincin manis dengan berlian di dua sisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lan!"

"Bentar Bang," jawab Erland, dengan secepat kilat kaus Aariz sudah melekat di tubuhnya, bajunya yang basah pun ia buang ke keranjang di sudut kamar.

Sebelum keluar kamar, Erland sempat meraih kembali cincin yang ia jatuhkan tadi dan membawanya ke dapur. Sembari memperhatikan bentuk cincin itu, Erland tidak memperdulikan Abangnya yang sedang kesusahan untuk melilitkan sesuatu di pipa yang bocor.

"Bang, ini cincinnya siapa?"

"Bantuin gue, Kambing!" geram Aariz ketika semburan air itu mengenai wajahnya.

Karna mendengar geraman Aariz, Erland pun langsung menaruh cincin itu diatas kulkas lalu mendekati Aariz dan membantu Abangnya.

"Kalo gitu doang mah, gue juga bisa."

Aariz menatap Erland tajam. Ucapan Erland tadi menggodanya untuk menelan Adiknya saat itu juga.


🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang