Eccedentesiast - 5

7.1K 555 8
                                    

Tidak biasanya, pukul 6 pagi Raskal sudah siap dengan seragam sekolahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak biasanya, pukul 6 pagi Raskal sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sepatu juga sudah melekat rapih di kakinya, membuat Maura––Bunda Raskal yang baru saja ingin memasak langsung mengeryit bingung. Perempuan itu mendekati putra bungsunya sembari menatap Raskal tidak percaya.

"Kunaon ini sudah rapih pagi-pagi?"

Raskal terkekeh sembari mencium punggung tangan Maura. "Raskal berangkat Bun."

"Sakedap atuh. Kamu punya gebetan nya'? Songong pisan kamu, nggak mau cerita lagi sama Bunda."

Raskal tersenyum geli. "Bukan gitu Bun."

"Trus apa?"

"Raskal tuh–" Raskal menghela nafasnya saat ditatap tajam oleh Maura, "iya-iya. Raskal punya gebetan."

"Saha?"

"Lila."

"Wah, kenalin atuh sama Bunda Kal."

"Iya Bun," Raskal berlari menjauh dari Maura, "kalo udah jadi!"

Raskal melajukan motornya menuju rumah Kalila. Sebenarnya ini alasan mengapa ia rela bangun pagi dan tidak sarapan ke sekolah. Hanya untuk menjemput Kalila. Setaunya, Kalila ke sekolah itu naik angkutan umum, jadi pagi ini ia berinisiatif untuk menjemput perempuan itu. Sesampainya di depan rumah Kalila, Raskal mematikan mesin motornya. Belum sempat ia melepas helmnya, mobil sedan berwarna hitam keluar dari rumah itu, membuat Raskal yang tadinya ingin mengirim pesan kepada Kalila untuk keluar dari rumah, mengurungkan niatnya dan beralih masuk ke dalam rumah besar itu.

Setelah mengetuk pintu dua kali, pintu besar itu terbuka, menampakkan wanita paruh baya yang wajahnya pucat. Raskal mengernyit, sedetik kemudian ia tersenyum. "Kalilanya ada–"

"Den temennya Non Kalila?"

"I–iya."

Dengan cepat perempuan paruh baya itu menarik lengan Raskal dan berhenti di depan pintu bercat abu-abu. "Tolong Non Kalila, Den. Dari tadi malam Non Kalila nggak ada suaranya. Bibi udah ketuk-ketuk, tapi nggak ada jawaban. Bibi takut Non Kalila pingsan karna Tuan–"

Bi Inah menggantungkan kalimatnya, membuat Raskal menaikkan satu alisnya.

"Karna apa Bi?"

"Tolong Non Kalila, Den. Dobrak pintunya, cuma Tuan yang nyimpan kunci kamar Non Kalila."

Tanpa bertanya lagi, Raskal langsung mendobrak pintu di hadapannya. Perlu 4 kali hantaman dari tubuh Raskal, barulah pintu itu terbuka. Respon mereka berdua sama. Sama-sama menahan nafas dan membulatkan mata.

Saat melihat Kalila terbaring dengan genangan darah di lantai.

• • •

Hening menyelimuti kamar rawat Kalila. Punggung tangan Kalila sudah terhubung dengan selang dan hidungnya ditutupi oleh masker oksigen. Bibir yang selama ini menampilkan senyum favorite Raskal pucat dan tertutup rapat. Sudah 4 jam setelah Raskal mendobrak pintu kamar Kalila dan membawa perempuan itu ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa Kalila harus dirawat beberapa hari untuk membuat tubuhnya menjadi normal tanpa luka. Raskal tau, Kalila pasti menolak untuk dirawat karna takut bahwa Ayahnya akan mengamuk lagi.

Ayah Kalila mengamuk karena kemarin malam, Kalila tidak berada di kamarnya. Padahal Kalila tidak pernah keluar dari kamarnya. Bahkan untuk ke dapur saja Kalila takut. Entah alasannya apa, Raskal juga bingung. Karena Kalila bukan tipe perempuan yang suka keluar malam. Dan katanya, Ayah Kalila sering main tangan bila ia sedang stress. Dan yang menjadi korbannya adalah Kalila.

Bi Inah sempat menolong Kalila saat Ayahnya membuat ulah. Alhasil, malah Bi Inah yang kena pukul dan diancam untuk dipecat. Jelas Bi Inah tidak mau dipecat, bukan hanya karna kerjaan, bila ia dipecat, siapa yang akan menolong Kalila setelah Ayahnya pergi dari rumah? Juga, kata Bi Inah baru kali ini Kalila pingsan karna ulah amukan Ayahnya.

Jemari Kalila bergerak di genggamannya, membuat lamunan Raskal membuyar seketika. "La?"

"Raskal?" Kalila mengerang pelan, "badan gue sakit semua."

"Jangan gerak-gerak, nanti luka lo tambah parah."

Kalila menatap Raskal sebentar lalu beralih menatap tangan kirinya yang digenggam erat oleh laki-laki itu. "Lo yang bawa gue ke sini?"

"Siapa lagi?"

"Ngapain sih lo repot-repot ngurusin gue. Sampe bolos gini. Nggak ada gunanya Kal. Mending lo ke sekolah dari pada nolongin gue."

Raskal mengernyit tidak suka.

"Gue nggak suka kalo l bahas yang kayak gituan."

Kalila tidak menjawab. Ia menggerakan tangan kirinya tidak nyaman. Bukannya melepas tangan mungil itu, Raskal malah mengeratkan genggamannya. Lalu mengusap punggung tangan itu lembut.

"Lo kemarin malam kemana?"

"Lo tau?"

"Bi Inah cerita ke gue."

"Semuanya?"

"Nggak semua."

Kalila menghela nafasnya lega. "Gue nggak kemana-mana. Di kamar."

"Tapi Ayah lo–"

"Gue ngumpet di dalam lemari," Kalila menatap mata Raskal dalam, "gue pengen satu hari tanpa rasa sakit. Tapi nggak bisa. Walaupun malam itu Ayah nggak buat ulah, tapi tetep aja gue ngerasa sakit."

Sedetik kemudian air mata jatuh dari bola mata indah itu. Membuat Raskal dengan sigap menyekanya.

Laki-laki itu mengusap pipi Kalila lembut, berusaha menenangkannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Laki-laki itu mengusap pipi Kalila lembut, berusaha menenangkannya. Kalila melepas kontak matanya dengan Raskal. Tangan kirinya menyingkirkan tangan Raskal dari pipinya. Kalila takut. Takut bila Raskal hanya bermain-main dengannya. Atau ini hanya sebatas Dare dari salah satu temannya untuk mengjatuhkan Kalila lebih dalam.

Kalila melepas alat yang menempel di hidungnya lalu bangkit dari tidurnya, menjadi posisi duduk.

"Lo salah satu dari mereka. Dari mereka yang buat gue terasingkan. Semua orang tau, di dunia ini nggak ada orang yang peduli sama gue. Trus lo dateng, peduli sama gue, sedikit demi sedikit tau tentang kehidupan gue. Sebenernya gue salah apa sih sama kalian? Sampai gue diasingkan kayak gini?"

Nafas Kalila menderu. "Gue juga manusia! Kapanpun gue bisa jatuh!"

Air mata Kalila kembali mengalir. Membuat Raskal menarik tubuh mungil Kalila ke dalam pelukannya. Raskal mengusap kepala Kalila lembut, sesekali mencium puncak kepala perempuan itu saat terdengar isakan yang memilukan.

"Jangan ngomong yang nggak-nggak lagi."

"Kal," Raskal terdiam menunggu Kalila melanjutkan ucapannya, "sakit, semuanya sakit."

"Everything gonna be alright. I'm here for you."

🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang