Giska bilang, jangan bodoh, jangan menyakiti diri sendiri dengan menerima Raskal lagi. Tapi tidak ada yang bisa Kalila lakukan selain melakukan hal itu, menerima Raskal lagi. Kalila tidak bisa meninggalkan Raskal karna hanya laki-laki itu yang ia punya sekarang.
Jika Raskal pergi, ia bagaimana?
Semenjak hubungan mereka membaik, Raskal menjadi lebih posesif. Seperti penjahat yang sedang ditahan, Raskal tak henti-hentinya memperhatikan setiap gerak-gerik Kalila ditiap detiknya. Awalnya Kalila senang karna sikap yang jarang diberikan oleh Raskal. Namun lama-lama ia kesal juga dan akhirnya menegur Raskal dengan wajah dan nada bicara yang tidak santai.
"Udahan ah Kal! Kayak aku penjahat aja!"
"Emangnya kenapa sih?" Raskal menuangkan susu dingin yang ia keluarkan dari kulkas, menuangkannya digelas lalu memberikannya pada Kalila, "katanya mau diperhatiin?"
Kalila mengangguk mengerti sembari meminum susu yang sudah dituangkan oleh Raskal. "Pantesan Naira nyaman sama kamu. Perhatiinnya sampe segitunya."
Raskal menghela nafasnya kasar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Tuh kan," Raskal berucap tidak suka.
Kalila berdecak sembari menjauhkan tangan Raskal dari ujung bibirnya. "Aku kayak anak kecil tau nggak?!"
"Udahan ya?" lanjut Kalila yang membuat Raskal akhirnya mengangguk setuju.
"Iya udahan," Raskal melipat kedua tangannya di meja mini bar sembari menatap langit-langit ruangan.
Seperti Anak kecil yang sedang berbohong tapi takut ketauhan. Dua hari di rumah tanpa kegiatan, bosan juga. Kalila dari kemarin sudah membujuk Raskal agar laki-laki itu membawanya jalan-jalan, tetapi Raskal menggeleng dan mengatakan bahwa ia mager alias malas gerak.
"Kal, jalan-jalan yuk?"
Raskal menggeleng. "Nggak."
Kalila berdecak sembari memutar bola matanya pelan, mencari ide. Mungkin percikan-percikan sikap manja akan berhasil. Kalila bangkit dari duduknya, berdiri di belakang tubuh Raskal dan menaruh kedua tangannya di bahu laki-laki itu. Sedetik kemudian, kedua tangan itu merosot hingga kepala Kalila hinggap di bahu Raskal.
Kalila tersenyum kecil sembari menatap wajah raskal dari samping. "Kal, jalan-jalan. Aku bosen."
Raskal tersenyum kecil, ini jurus andalan yang selalu Kalila keluarkan. "Aku mager."
Kalila menggerakkan pelan kedua tangannya. "Ayolah. Aku bosen di rumah," ujar Kalila lagi.
Dan ia tau betul jika Kalila menggunakan jurus ini, Kalila selalu menang.
"Mau kemana sih?"
Senyum Kalila terbit lebih lebar dari sebelumnya. "Keliling kompleks aja deh, nggak jauh-jauh."
"Oke," ujarnya setelah menghela nafasnya kasar.
"Yeay!" Kalila tersenyum lebar lalu mengecup garis rahang laki-laki itu, "aku ganti baju dulu."
Setelah mengganti celana pendeknya dengan celana training, Kalila berlarian menuruni tangga dan mendatangi Raskal yang sedang sibuk dengan ban sepeda Ayahnya. Sepeda itu yang Ayahnya beli hanya untuk dipajang, dan sama sekali tidak pernah disentuh oleh siapapun. Raskal bangkit dari posisinya kemudian mengecek apa angin pada ban itu kurang atau tidak. Lalu mengecek rantai dan remnya. Semua aman, masih seperti sepeda baru.
"Aku naik sepeda kamu lari."
Raskal mengangguk sebagai jawaban, ia mengikuti langkah kaki Kalila keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah sedikit pemanasan, mereka pun beriringan keliling kompleks, tujuannya adalah taman kompleks yang berada di tengah-tengah. Rencananya, setelah mereka keliling, barulah beristirahat di taman itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Подростковая литература[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...