"Kamu ikut aja ya? Ke Bali, sehari doang."
Kalila menghembuskan nafasnya kasar, sudah setengah jam lamanya Raskal membujuk untuk ikut ke Bali bersamanya. Sudah berkali-kali juga Kalila menolak dan menjelaskan alasannya untuk tidak ikut. Tadi pagi, setelah bel istirahat berbunyi, panggilan masuk dari Kinan menggetarkan ponsel Raskal. Laki-laki itu disuruh menjaga Omanya yang tinggal di Bali karna Kinan tak bisa pergi sebab pesanan di butiknya semakin meningkat. Omanya hanya ingin bertemu dengan Raskal, satu hari saja, kalau sudah berhadapan wajah, Raskal boleh pulang kapan saja, kata Omanya.
"Nggak Kal."
"Sehari doang, La. Abis itu–"
"Kal, please aku nggak bisa nurutin semua mau kamu."
"Okay, aku bakal ajak Naira."
"Yaudah sana," jawab Kalila ketus, "honeymoon sekalian."
Mendengar nada ketus Kalila, Raskal yang awalnya ingin bercanda saja, langsung terkejut saat ucapannya ditanggap serius oleh Kalila. Raskal menahan lengan Kalila saat perempuan itu sudah bangkit dari duduknya menuju pintu kelas.
"La–"
"Sana! Pergi sama Naira."
"La, aku kan cuma," ucapan Raskal terpotong, keburu Kalila berlari keluar kelas, Raskal yang ingin mengejar Kalila langsung menghentikan langkahnya saat ponselnya tertinggal di meja Kalila, "shit."
Dengan langkah cepat, Raskal menyalakan motornya, ingin mencari keberadaan Kalila. Pasti perempuan itu belum jauh dari sekolah. Namun ponselnya yang bergetar membuat Raskal kembali mematikan mesin motor sembari melepas helm. Terpampang nama Kinan di sana, membuat Raskal menggeram frustasi. Kenapa sih hal bodoh tadi terlintas di otaknya?
"Ya, Bun?"
"Pulang sekarang, koper kamu udah siap dan Bunda udah pesen tiket. Setengah jam lagi kamu berangkat."
"Bun, Raskal nggak bisa."
"Kamu mau ngeliat Oma kritis gara-gara cucunya nggak dateng?"
"Tapi Bun, Raskal–"
"Kal, dengerin Bunda. Keluarga itu nomor satu."
Sambungan terputus.
Kedua kaki Raskal lemas sekarang, ponsel Kalila mati, ia tidak mengetahui posisi perempuan itu. Apa yang ia harus lakukan sekarang? Mencari Kalila juga sudah tidak sempat. Mana mungkin ia rela meninggalkan Kalila sendirian di sini. Raskal menggeram, memukul motornya sendiri dan melajukan motor itu menuju rumahnya.
Bila keluarga nomor satu, lalu siapa yang menjadi nomor satu di hidup Kalila sekarang?
Di sisi lain, Kalila yang baru saja sampai rumah setelah menaiki angkot merah dengan angka 71 itu menghempaskan tubuhnya ke kasur. Matanya menatap langit-langit kamarnya, lalu beralih ke arah ponselnya yang mati total. Pergi tiba-tiba seperti tadi, pasti membuat Raskal khawatir setengah mampus. Apalagi ucapannya tadi benar-benar serius. Entah karna efek bad moodnya atau memang ia yang kesal karna Raskal menyangkutkan Naira pada masalah mereka kali ini.
Masih dengan seragam sekolahnya, Kalila keluar dari kamarnya, menyusuri lantai dua. Selama ia tinggal di sini, baru kali ini ia bisa menapakkan kakinya di lantai dua. Apalagi Ayahnya yang memang kamarnya terletak di lantai dua, mana berani Kalila ke sini walau hanya mengintip saja. Tak ada yang spesial, hanya lorong dengan dua pintu di sisi kanan dan kiri, di ujung lorong ada balkon yang menyuguhkan pemandangan taman belakang dan taman kompleks.
Kalila menghentikan langkahnya di antara pintu sisi kanan dan kiri. Pintu hitam di sebelah kirinya memang lebih menonjol, tapi yang membuat Kalila tertarik pada pintu putih di sebelah kanannya adalah; ada gembok tambahan dengan sandi untuk mengunci pintu itu. Kalila berlari kecil menuruni tangga menuju kamar Bi Inah yang terletak di samping dapur. Bi Inah dulu pernah mengatakan bahwa salah satu dari kamar di atas adalah gudang. Karna itu Kalila ingin mengambil kumpulan duplikat kunci yang sudah Bi Inah siapkan untuk dirinya.
Kalila mendorong pintu kayu itu, lalu matanya langsung menangkap kotak kecil di sudut ruangan. Katanya itu adalah tempat berkumpulnya kunci-kunci duplikat. Tutup kotak terbuka, menampilkan banyaknya kunci di sana, untung saja Bi Inah sudah menandainya dengan nama, kalau tidak, ia harus mencobanya satu-satu. Mulai dari kunci gerbang, pintu utama, kamar, dapur, garasi, balkon, gudang dan masih banyak pintu di sana. Sebelum Kalila keluar dari kamar itu dengan kunci gudang di tangnnya, ia sempat mengambil senter untuk masuk ke dalam gudang. Kata Bi Inah sih, gudang itu sudah lama tak dibuka, mungkin saja kan, lampunya sudah tidak berfungsi.
Kalila memutar kunci itu dan berhasil, namun sisa satu. Gembok sandi. Kalila menyentuh dagunya bingung. "Apa ya?"
Mulai dari tanggal lahir Ayahnya, Bunda bahkan dirinya salah. Tanggal Ayahnya menjadi Direktur di perusahaan bergengsi juga salah. Namun saat gembok itu terbuka, Kalila terdiam. Bukan karna tidak senang gembok itu terbuka, melainkan sandi gembok itu yang membuatnya seperti ini.
Sandi gembok itu adalah tanggal pernikahan Ayahnya dengan Bundanya.
Kalila kira, gudang ini seperti gudang di film-film yang mengerikan dan banyak hantunya. Namun saat pintu terbuka lebar, mulut Kalila juga ikut terbuka lebar. Kalau ini sih, bukan gudang namanya. Di sisi kanan, ada kasur lengkap dengan lemari pakaian dan kamar mandi, di tengah ada dua rak buku yang tingginya mencapai langit-langit rumahnya dengan kaca besar di antara dua rak buku tadi. Dan di sisi kiri ada lemari kaca yang didalamnya terdapat penghargaan serta foto.
Kalila menuju lemari kaca di sebelah kiri, menatap semua foto dan penghargaan di dalam sana. Hingga akhirnya album foto yang tergeletak di atas lemari panjang mengalihkan pethatiannya. Kalila duduk di kursi panjang yang menyambung dengan rak buku tadi.
"Bunda dulu cantik banget," ucapnya sembari mengusap foto di lembaran pertama.
Sesekali Kalila tertawa dan sesekali tersenyum sendu melihat foto demi foto yang terpampang di sana. Lalu tangannya berhenti bergerak saat mendapati wajah yang tak asing di foto Bundanya. Kalila menyipitkan kedua matanya, melihat foto hitam putih itu dengan teliti. Kalila mengernyit.
"Tante Kinan?"
🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Novela Juvenil[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...