Eccedentesiast - 19

3.7K 288 3
                                    

"Kita mampir ke kantor polisi ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita mampir ke kantor polisi ya?"

"Mau ngapain?"

Kemarin ia diberi tahu bahwa Kalila harus memberi pernyataan untuk gugatan yang akan diterima oleh Tio. Bukti sudah jelas bahkan polisi sudah melihat rekaman cctv di Mall kemarin dan langsung menuju TKP begitu Raskal menelfon. Raskal berpikir sejenak, kejadian kemarin hanya bisa membuat Tio hanya 6 tahun di dalam sel. Belum ada bukti tentang kekerasan yang Tio lakukan pada Raskal. Namun Raskal sangat ingin Tio mendapat dua tuduhan atas perbuatan laki-laki itu pada Kalila.

"Minta pernyataan kamu," Raskal bisa melihat kilatan ketakutan dari mata Kalila, namun senyum masih terukir di bibirnya sembari mengangguk semangat, Kalila setuju, "luka di punggung sama ujung bibir kamu, bilang kalau itu Tio yang lakuin."

"Tapi kan–"

"La, dengerin aku. Bilang ke mereka kalau luka di punggung kamu itu karna Tio."

Kalila terdiam. Walaupun Tio sudah menculiknya hingga jauh-jauh ke Bandung, Tio tidak pernah sedikitpun melukainya. Luka di ujung bibirnya karna salah satu teman Tio, bukan Tio sendiri. Lalu bagaimana ia bisa mengatakan bahwa Tio yang menyebabkan luka di punggungnya? Padahal melukainya sedikit pun saja Tio tidak berani.

Sesampainya di kantor polisi, Kalila disuruh duduk berhadapan dengan Tio. Laki-laki itu menunduk, Kalila terkejut ketika melihat wajah Tio yang babak belur. Kalila menoleh, melihat Raskal yang sedang memasukkan kedua tangannya ke celana sembari menatapnya tersenyum. Entah senyum Raskal kali ini lain. Bukan senyuman hangat yang biasanya ia tujukkan.

"Saudari Kalila apa betul anda dipukul oleh Saudara Tio hingga menyebabkan bekas luka?"

Kalila mengigit bibir dalamnya. Ia melirik Raskal lagi, laki-laki itu mendesaknya agar menjawab iya. Kalila mengangguk samar.

"Menurut catatan Dokter di tubuh anda, bukan hanya di ujung bibir saja ada bekas luka, tapi di punggung anda juga ada. Apakah itu juga ulah Saudara Tio?"

Lagi dan lagi, Kalila melirik Raskal yang berada di belakang tubuhnya, Raskal mengangguk samar, mendesak Kalila mengikuti apa yang ia lakukan tadi. Lalu pandangannya jatuh pada Tio yang sedang menatapnya sendu, menunggu jawaban keluar dari bibir Kalila. Dibawah sana, kuku ibu jari Kalila ia adu dengan kuku jari telunjuknya, membuat pinggiran kulit kukunya terkelupas.

"Saudari Kalila?"

"I-iya. Tio yang melakukannya."

"La?" Tio bersuara tidak percaya.

Kalila langsung berlari keluar dari ruangan itu, duduk memeluk kedua lututnya erat, punggungnya bersandar di tembok belakangnya. Air mata keluar dari kedua bola matanya. Selama hidupnya, ia tidak pernah menuduh orang lain dengan tuduhan yang salah. Melihat tatapan mata Tio tadi, laki-laki itu seperti menatapnya seperti Iblis yang berlindung di balik topeng malaikat.

"It's okay. Everything gonna be alright."

"Gimana semuanya akan baik-baik aja kalau aku nuduh orang yang nggak salah Kal?!"

"Tio salah. Dia nyulik kamu!"

"Tapi dia nggak nyakitin aku!" Kalila menatap Raskal dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti, "gila kamu."

Selama perjalanan pulang, Kalila hanya diam sembari menatap keluar jendela. Raskal tadi sempat mengenggam tangan kanan Kalila, namun belum ada tiga detik, Kalila kembali menarik tangannya dengan kasar. Hal itu membuat Raskal menghela nafas gusar, rasa benci yang besar pada Tio yang membuat Raskal menjadikan Kalila sebagai kesempatannya.

Menyadari bahwa ini bukan jalan ke rumahnya, Kalila mengernyit. "Kita mau kemana?"

"Ke rumah aku."

"Turunin aku di sini."

"La–"

"Turunin, aku di sini, Raskal."

Raskal menepikan mobilnya, sebelum mobil itu benar-benar berhenti, Raskal sudah lebih dulu menahan lengan Kalila. Kalila meringgis kecil ketika genggaman Raskal pada lengannya sangat erat. Benar-benar, Raskal kalau berhubungan dengan Tio ataupun sudah marah, laki-laki itu berubah menjadi monster.

"Sakit, Kal."

"Ini buat kebaikan kamu!"

"Kebaikan apanya?!" pekik Kalila di hadapan wajah Raskal, air matanya kembali mengalir, ia menggeleng tak percaya, "kamu bukan Raskal yang aku kenal."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Kalila keluar dari mobil Raskal, meninggalkan laki-laki yang kini sedang terdiam sembari menatap punggung Kalila yang semakin lama menghilang dari pandangannya. Kabut hitam yang sedari tadi menutupi matanya hilang, saat mendengar penuturan Kalila tentangnya. Bagai di sambar petir di siang bolong, Raskal tidak bisa bergerak saat itu juga. Bahkan untuk menahan lengan Kalila saja rasanya pun tidak bisa.

Hingga akhirnya Raskal menyadari semua yang ia lakukan tadi lalu memukul stir mobilnya geram. Raskal kembali melajukan mobilnya menuju jalanan yang Kalila tuju tadi, mobilnya berjalan pelan, matanya menyapu setiap trotoar jalan, mencari sosok Kalila. Baru 10 menit yang lalu Kalila keluar dari mobilnya, pasti perempuan itu berada tidak jauh dari posisinya. Dengan kakinya yang belum begitu pulih, mana mungkin Kalila menghilang secepat itu.

Sedangkan di sisi lain, Kalila memasuki mobil yang lewat di sampingnya saat ia mencoba berlari menjauh dari Raskal. Orang yang berada di jok kemudi itu menatap Kalila khawatir. "La? Lo kenapa?"

"Pergi dari sini Kak, cepetan!"

Mobil yang Kalila naiki melaju membelah Ibukota, meninggalkan mobil Raskal yang berjalan pelan dan berada tak jauh dari mereka. Kalila menghapus air matanya kasar. "Makasih Kak, untung ada lo."

"Kenapa La? Lo bisa cerita sama gue," Kalila menggeleng sebagai jawaban, membuat Aariz menghembuskan nafasnya kecewa. "Trus lo mau gue anter kemana nih?"

"Lo emangnya mau kemana?"

"Gue mau apartemen gue, istirahat. Soalnya semalem lembur."

"Yaudah bawa gue ke sana juga."

"Gile aje! Nggak."

"Yaudah turunin gue lagi."

Aariz terdiam. Mana mungkin ia membawa Kalila ke apartemennya? Ia mau mengajak perempuan itu ke suatu tempat juga, ia sangat lelah. Dan mana mungkin ia menurunkan Kalila di tengah jalan begini? Kalila kan tidak tau banyak jalanan di sini. Setelah beradu dengan pikirannya akhirnya Aariz menyetujui permintaan Kalila. Ia membawa perempuan itu ke apartemennya.

"Kalo lo laper, masak sendiri ya. Gue pengen tidur."

Kalila mengangguk sebelum Aariz masuk ke kamarnya. Ia duduk di depan kaca besar yang menyuguhkan pemandangan Ibukota dari atas sini. Tak pernah terpikirkan olehnya kalau suatu saat ia berada di apartemen orang lain yang baru dikenalinya seperti sekarang. Raskal gila, Kalila tak percaya kalau laki-laki itu bisa seperti ini. Mengambil kesempatan di dalam kesempitan seperti itu hanya untuk kepentingannya sendiri, menjadikannya sebagai tameng dendamnya.

Jantung Kalila berdegup kencang sedari tadi, dadanya sesak, jemarinya bergerak tidak tenang. Ia benar-benar menyesal sudah mengikuti apa yang Raskal suruh tadi. Tatapan Raskal tadi bukan seperti yang Raskal kenal sebelumnya. Apa Raskal benar-benar membenci Abangnya sampai Raskal harus sejauh ini?

Kalila yang awalnya tidak ingin beranjak dari sana mau tidak mau beranjak karna bel apartemen Aariz berbunyi. Entah hanya Kalila atau orang itu yang terkejut, dua-duanya terdiam ketika Kalila baru saja membuka pintu.

"Kalila kan?"

"Eh? Cowok daun pandan?"

🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang