Eccedentesiast - 32

2.9K 245 9
                                    

Karna Rifki mengatakan bahwa Edo masih lama, akhirnya Kalila memutuskan untuk mengganti perban lengannya terlebih dahulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karna Rifki mengatakan bahwa Edo masih lama, akhirnya Kalila memutuskan untuk mengganti perban lengannya terlebih dahulu. Sedangkan Erland yang posisinya sebagai supir pribadi Kalila, setuju-setuju saja dengan permintaan perempuan itu. Namun saat baru saja mereka duduk nyaman di mobil, Kalila membuka pembicaraan.

"Land kita ke apartnya Kak Aariz ya?"

"Katanya mau ganti perban?"

"Gue bawa kok perbannya. Daripada ke rumah, jauh lagi."

Lagi-lagi Erland menyetujui permintaan Kalila. Hari ini minggu, kemungkinan besar Aariz ada di apartemen sedang bermalas-malasan karna 2 minggu terakhir ini sedang banyak pasien yang berkunjung. Setelah mengetuk pintu dua kali, Kalila melirik Erland sekilas.

"Kak Aariz nggak lembur kan?"

Erland menggeleng sembari terus mengetuk pintu apartment Aariz. "Kayaknya nggak sih."

"Lo nggak bawa kunci cadangan?"

"Nggak," Erland menyengir, "lupa."

Kalila kembali mengetuk pintu. Satu detik, dua detik sampai satu menit lamanya, pintu tidak juga terbuka, membuat Kalila berpikiran bahwa Aariz sedang tidak berada di apartemen. Dan Erland berpikir bahwa Abangnya itu masih molor dan berniat untuk tidur seharian penuh. Erland langsung menggedor-gedor pintu apartemen Abangnya sampai Aariz membukakan pintu. Kalila mengalihkan pandangannya sedangkan Erland menatap Aariz datar. Dengan setengah mata yang terbuka, Aariz berdiri dengan telanjang dada.

"Pake baju Bang. Malu ada Kalila."

Mendengar nama Kalila, kedua bola mata Aariz langsung terbuka sempurna. Benar saja, di samping Erland ada Kalila yang sedang menoleh ke samping. Aariz dengan cepat berlari ke dalam kamarnya lalu ikut duduk di sofa panjang dengan kaus oblong yang melekat di tubuhnya.

"Bang PS kuy?" ajak Erland karna ia sudah sangat bosan menatap televisi yang menampilkan siaran berita.

"Kuy lah."

Erland dan Aariz pun berjalan menuju kamar, dan Kalila sendiri mengekor di belakang. Lucu bila melihat mereka berdua sedang nyolot-nyolotan akibat perbuatan curang dari Erland maupun Aariz. Kalila langsung melompat ke sofa panjang di depan televisi. Membuat Adik Kakak itu menggeleng memaklumi. Mereka yang mau bermain, mengapa Kalila yang heboh?

"Awas nanti jatuh!"

Kalila benar-benar heboh sendiri. Perempuan itu sampai lompat-lompat, menggoyang-goyangkan tubuh Erland dan Aariz bahkan sampai berteriak-teriak alay. Erland menghembuskan nafasnya kasar saat avatar yang ia maini mati duluan.

"La, lo ganti perban dulu sana," Erland menegur, matanya masih fokus pada televisi di depannya.

"Oh iya! Lupa gue."

Kalila meninggalkan Adik Kakak itu yang masih sibuk dengan PSnya. Sedangkan ia sendiri sibuk mencari keberadaan gunting untuk memotong perban yang terlalu panjang. Hingga akhirnya Kalila lelah sendiri mencari keberadaan gunting lalu kembali ke kamar Aariz.

"Gunting dimana Kak?"

"Atas kulkas," jawab Aariz tanpa mengalihkan pandangannya.

Kalila kembali ke dapur, mencari keberadaan gunting yang berada di atas kulkas. Ia perlu berjinnjit sedikit agar tangannya dapat meraba sisi atas kulkas. Saat sudah ketemu, Kalila menarik gunting turun dari atas kulkas, bersamaan dengan itu, ada suara benda jatuh yang terdengar sangat nyaring.

"Eh?"

Ia menaruh gunting itu ke meja makan lalu menunduk, mencari benda yang jatuh tadi. Kedua alisnya hampir menyatu saat mendapati cincin yang tergeletak di pinggir lemari. Saat itu juga, detak jantungnya seperti berhenti berdetak. Seluruh badannya lemas tidak bisa digerakkan. Ia hanya bisa menatap cincin manis itu dengan tatapan tidak percaya.

"Udah dapet guntingnya?"

Aariz langsung mematung saat melihat Kalila sedang duduk sembari menatap cincin yang ada di tangannya. Dengan sekuat tenaga, Kalila berdiri sembari menyodorkan cincin itu ke wajah Aariz.

"Jelasin kenapa cincin Bunda gue ada di sini," tanya Kalila yang lebih terdengar seperti gumamman.

Melihat air mata mengalir di pipi Kalila membuat lidah Aariz kelu. Baik Aariz maupun Kalila sama-sama tidak percaya dunia se-sempit ini. Kalila masih berpikiran positif bahwa Aariz adalah saksi pada saat kecelakaan itu terjadi. Namun reaksi Aariz membuat pikiran negatif menghampirinya. Jangan bilang Dokter baik ini yang menabrak Bundanya, jangan bilang dia.

"Kak Aariz!"

"M-maafin gue La, gue nggak sengaja. gue—"

Permintaan maaf Aariz sudah mewakili seluruh pertanyaan yang terputar di otak Kalila. Benar, Aariz yang melakukan hal itu pada Bundanya. Kalila mundur dua langkah saat Aariz hampir menggapai lengannya. Kalila berkali-kali menggeleng tidak percaya, tangan kanannya ia pakai untuk memukul dadanya, berusaha menghilangkan rasa sesak di sana.

"Gue panik saat itu. Apalagi gue masih kuliah, belum ngasilin duit sendiri. Pas gue cek denyut nadinya, tangan gue nyentuh cincin itu. Karna nggak mau sidik jari gue ke baca, gue simpen cincin Bunda lo dan kabur."

Aariz mengambil tangan kanan Kalila lalu mengarahkan ke dadanya. "Pukul gue La!"

Kalila melepaskan genggaman tangan Aariz dari lengannya, menatap laki-laki itu dalam. Bukan kilatan kemarahan yang terlihat di sana, sama sekali tidak ada. Yang ada cuma kilatan kekecewaan terpancar dari sana. Di tatap seperti itu membuat dada Aariz sesak. Dari awal seharusnya ia menjauh dari perempuan ini. Saat mengetahui bahwa wajah Kalila persis dengan orang yang ia tabrak, seharusnya ia sadar bahwa dekat dengan Kalila adalah kesalahan.

Tubuh Kalila ambruk di lantai. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutup mulutnya, meredam isak tangisnya. Dan Aariz, sama sekali tidak berani menyentuh Kalila lagi setelah ditatap seperti itu.

"Kalian lama banget," Eland yang baru saja datang langsung terdiam melihat Kalila sedang menangis sembari terduduk, dengan cepat Erland mendekati perempuan itu, mengusap bahunya lembut, "kenapa La?"

Tak ada jawaban, hanya Kalila memeluk Erland erat, mengeluarkan semua air matanya pada dada bidang laki-laki itu. Sedangkan Erland yang tidak mengerti hanya bisa mengusap kepala Kalila lembut sembari menatap Aariz, meminta penjelasan. Keheningan yang membuat isakan tangis Kalila semakin terdengar jelas. Aariz dan Erland, keduanya sama-sama terdiam, tidak tau apa yang harus mereka lakukan.

"Erland, gue mau pulang," ucap Kalila sebelum Erland membawanya keluar dari apartment itu.

Aariz yang mendengar itu tidak bisa melarang, bahkan untuk mengatakan maaf sekali lagi pun, rasanya memang sudah tak pantas. Rasa sesak merajainya, hingga bernafas pun susah. Apalagi saat Kalila tidak meliriknya sama sekali saat keluar dari apartment ini.

Sesampainya di rumah Kalila, ia langsung turun setelah mengucapkan terima kasih. Kalila memasuki kamarnya, berteriak sekeras-kerasnya. Semuanya ia keluarkan. Sakit saat mengetahui orang yang ia kehilangan Bundanya adalah orang yang sangat dekat dengannya. Ia mengusap cincin itu lemah.

"Maafin Kalila Bun. Kalila nggak bisa mukul dia. Kalila nggak bisa balas apa yang dia lakuin sama Bunda."

Masih dengan air mata yang mengalir di pipinya, Kalila terlelap.

Satu harapannya malam itu. Buat semuanya menjadi mimpi buruk.

🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang