Rumor tentang Kalila yang menggunakan obat terlarang sudah mereda semenjak Bu Indah menjelaskan bahwa obat yang dikonsumsi Kalila bukan obat terlarang. Melainkan obat maag yang selalu Kalila bawa di tasnya. Alasan ia menangkap obat itu walau obat, selalu berada di tas Kalila adalah plastik obat sudah terlepas dari botolnya. Jadi Bu Indah ragu dengan obat tersebut.
Namun Kalila tetap saja Kalila, ia tidak mau menceritakan semua masalahnya pada siapapun dan menutupinya dengan senyuman hangat yang menenangkan hati. Seperti sekarang Bu Indah masih saja berada di kelas walaupun jam pelajarannya sudah habis dan Bu Endang sudah menunggu di ambang pintu.
"Kalila Mariza! Sudah Ibu bilang berkali-kali kalau di kelas, buka jaket kamu!"
"Bu," tegur Bu Indah lembut, "biarin ajalah. Mungkin Kalila lagi nggak enak badan."
Teguran Bu Indah membuat Bu Endang tertegun lalu memperhatikan Kalila secara saksama. Mata perempuan itu merah seperti kekurangan tidur dan wajahnya pucat. Bu Endang mengangguk membuat Bu Indah keluar dari kelas itu. Kalila hanya memandang ke luar jendela tanpa perduli dengan apa yang terjadi. Jaket ini hanya berfungsi untuk menutupi semua luka-lukanya.
"Aduh, spidol Ibu ketinggalan. Tolongin Ibu ya, ambilin spidol Ibu di meja."
"Kalila aja Bu!"
Kalila langsung berdiri dari tempatnya menuju ruang guru. Sudah biasa ia dijadikan budak oleh teman-teman sekelasnya. Kalau tidak mau, Kalila lagi yang kena sindiran pedas menyesakkan dada. Namun belum sampai di depan pintu ruang guru, kepala Kalila seperti di hantam batu besar dan lama-lama penglihatannya memburam lalu semua menjadi hitam.
Seperti biasa, setelah 2 jam pingsan, Kalila bangun dari pingsanya sembari memijit pelan kepalanya yang pening. Terasa aneh pada seluruh tubuhnya, Kalila langsung melihat pakaiannya. Jaketnya sudah terlepas dan beberapa perban menempel di pergelangan tangan maupun punggungnya. Seketika matanya membulat. Berarti sudah ada orang yang mengetahui luka-lukanya?
"Kepala lo masih pusing?" ucap laki-laki yang baru saja datang dari luar UKS sembari membawa air putih hangat. Raskal.
"Lo yang ngobatin luka gue?"
"Iya, gue–"
Kalila berdecak. "Ngapain sih lo ngobatin luka gue?"
Kalila yang baru saja ingin menggapai jaketnya, lengannya langsung ditahan oleh Raskal. Laki-laki itu duduk di kasur samping Kalila, menatap kedua bola mata itu. "Siapa yang ngelakuin ini ke elo?"
"Apaan sih?"
Kalila menghempaskan lengan Raskal lalu menggapai jaketnya. Baru saja ia ingin melangkah keluar UKS, namun suara lembut Raskal membuat matanya memanas. Setelah memperhatikan gerak-gerik Kalila di ruang guru waktu itu, Raskal jadi cepat tanggap dengan respon yang diberikan oleh perempuan itu saat Bu Indah berbicara. Dan tidak mungkin remaja seusianya mengkonsumsi obat tidur hanya karna sulit tidur. Pasti ada alasan lain. Obat tidur, isak tangis yang memilukan dan luka di tubuh Kalila meyakinkan Raskal bahwa bohong jika Kalila tidak punya masalah di rumahnya.
"La, bilang ke gue siapa yang ngelakuin ini sama lo?"
Air mata jatuh dari mata indah Kalila, mengalir meninggalkan jejak di pipinya. Ia kembali mengigit jari telunjuk kanannya yang sudah terlilit oleh perban kecil. Raskal mendekat, berdiri di hadapan perempuan itu.
"Ayah lo?"
Samar-samar isak tangis Kalila mulai terdengar, membuat siapapun yang mendengar ikut merasakan apa yang perempuan itu rasakan. Raskal membawa tubuh mungil itu ke dekapannya, di dada bidang Raskal, barulah Kalila mengeluarkan isak tangisnya yang sedari tadi ia pendam. Tangan kirinya ia gunakan untuk meremas ujung seragamnya agar ia berhenti menangis. Tapi tetap saja hal itu sia-sia, terlebih saat Raskal mengusap kepalanya lembut.
Setengah jam kemudian, tangis Kalila baru mereda, perempuan itu melepas pelukannya dari Raskal lalu menunduk malu. Sedangkan Raskal hanya bisa terdiam sembari menatap Kalila.
"Gue anter lo pulang."
Selama perjalanan pulang Kalila hanya diam sembari menatap ke luar jendela. Dan Raskal sesekali melirik Kalila. Sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan pada Kalila tentang masalah tadi. Tapi ia takut Kalila kembali menangis.
"Lo udah makan?"
"Udah."
Bohong, padahal di rumah Kalila tidak pernah makan. Pernah sih, tapi ia cuma memakan makanan sisa. Untung saja Raskal peka, laki-laki itu memberhentikan mobilnya di sebuah restoran kecil yang membuat Kalila mengernyit.
"Kita mau ngapain di sini?"
"Makan."
"Gue udah makan."
"Gue belom."
Kalila hanya mengangkat bahunya sebentar lalu keluar dari mobil. Mungkin Raskal minta ditemani untuk makan kali ini. Lagi-lagi di restoran Kalila hanya diam sembari menatap keluar jendela, membuat Raskal yang baru saja memesan makanan menghela nafas. Bahkan Kalila tidak sadar bahwa Raskal memesan dua porsi nasi goreng untuk dia sendiri dan Kalila.
Tak banyak yang mereka bicarakan selama di restoran. Hanya Kalila yang protes karna Raskal memesankannya nasi goreng dan Raskal yang terus memaksa Kalila memakan makanannya. Akhirnya jam 5 sore barulah mereka bisa pulang dari sana. Kalila menunjukan arah rumahnya lalu kembali diam tanpa membuka mulutnya lagi. Raskal juga takut menanyai Kalila tentang apa saja yang menyangkut perempuan ini. Takut Kalila tersinggung.
Sesampainya di depan rumah Kalila, perempuan itu menoleh, menatap Raskal yang berada di sampingnya. "Makasih Kal. Buat semuanya."
"Sama-sama."
Kalila keluar dari mobilnya. Yang membuat Raskal bingung adalah perempuan itu tidak langsung masuk ke dalam rumah mewah yang berada di hadapannya. Kalila menatap rumah itu cukup lama lalu meliriknya sekilas dengan senyuman hangatnya, sebelum masuk ke dalam sana.
Entah hanya perasaannya atau memang begitu, Kalila meliriknya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Seperti; sakit, lelah, perih, takut, sedih. Semua menjadi satu dalam satu lirikan tadi.
🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Fiksi Remaja[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...