Eccedentesiast - 28

3.1K 256 3
                                    

Setelah diberi tahu oleh Rifki bahwa Edo mengalami kecelakaan dan Kalila berada di sana, Raskal langsung melajukan mobilnya dari bandara menuju rumah sakit yang Rifki tunjukkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah diberi tahu oleh Rifki bahwa Edo mengalami kecelakaan dan Kalila berada di sana, Raskal langsung melajukan mobilnya dari bandara menuju rumah sakit yang Rifki tunjukkan. Matanya langsung menangkap Kalila sedang memeluk lututnya sembari menenggelamkan kepalanya di lekukan tangannya. Bahunya bergetar, menandakan perempuan itu masih menangis semenjak mengetahui keadaan Edo. Raskal mendekati Kalila, mengusap lembut bahunya.

Kalila mendongak, menatap Raskal dengan mata bengkak dan wajah berantakannya. Lalu sedetik kemudian ia memeluk Raskal erat sembari terisak pelan.

"Ini salah aku Kal," Kalila mengeratkan pelukannya, "seharusnya aku nggak ninggalin Edo sendirian di sana."

"Seharusnya aku nemenin dia di sana, dengerin semua yang mau dia bilang ke aku. Tapi dengan jahatnya aku ninggalin dia. Padahal aku tau, dia lagi down."

Raskal berusaha menenangkan Kalila dengan mengusap kepala perempuan itu lembut. "Semuanya akan baik-baik aja. Edo bakalan sembuh, kumpul sama kita lagi."

Pagi harinya, Kalila masih setia menunggu Edo membuka matanya. Tadi malam, Raskal pulang tengah malam karna Kinan menelfon, menyuruhnya pulang. Padahal Raskal sudah ngotot ingin menemani Edo yang masih koma. Di kamar rawat itu hanya ada Rifki dan Kalila yang setia menunggu. Orang tua Edo? Mereka sudah resmi cerai kemarin.

Rifki bilang bahwa sore itu, kondisi Edo sedang tidak stabil karna kedua orang tuanya cerai dan tubuh Edo lemas. Edo mengatakan bahwa ia harus pergi ke tebing itu sebelum matahari tenggelam. Awalnya Rifki melarang karna kondisi Edo, namun laki-laki itu tetap ingin pergi ke sana. Alhasil, Rifki hanya bisa mengiyakan tanpa banyak bertanya lagi, takut Edo kumat. Perasaan Rifki sudah tidak enak semenjak motor Edo meninggalkan rumahnya. Dan benar saja, baru saja satu jam yang lalu, polisi sudah menghubunginya bahwa Edo mengalami kecelakaan lalu lintas.

Semua yang Rifki katakan membuat Kalila tambah bersalah. Entah apa yang harus ia lakukan, Kalila hanya bisa mengenggam tangan Edo sembari memohon laki-laki itu kembali membuka matanya.

"La, makan dulu."

Rifki yang baru saja balik dari kantin rumah sakit menaruh satu bungkus styrofoam di atas meja. Dari tadi pagi, ia tidak pernah melihat Kalila beranjak dari kursinya. Bahkan saat Rifki menawarkannya untuk tidur di sofa, Kalila menggeleng, lalu perempuan itu tertidur di sana dengan posisi terduduk.

"Nanti aja Ki."

Rifki menghembuskan nafasnya kasar lalu menelfon Raskal. "Kal mending lo ke sini. Kalila nggak mau makan dari tadi."

"Iya bentar. Gue lagi–"

Sambungan tiba-tiba terputus membuat Rifki menjauhkan ponselnya dari telinganya. Ia mengernyit bingung, seingatnya kemarin ia baru saja isi pulsa. Tak lama setelah itu, Raskal membuka pintu kamar rawat Edo, matanya langsung menatap Kalila yang sedang menidurkan kepalanya di pinggir brankar sembari menatap Edo.

"La," Raskal langsung menarik lengan Kalila, hingga genggaman perempuan itu terlepas.

"Pelan-pelan Kal."

"Kamu kenapa–"

"Apa? Ngomongnya jangan keras-keras bisa nggak sih?"

"Mana hp kamu? Aku nelfon kamu berkali-kali!"

Kalila mendesis. "Kal please. Ini rumah sakit!"

Kalila melirik Rifki sebentar kemudian menarik lengan Raskal keluar dari sana. Kalila tau, Raskal tidak suka bila ia berlama-lama di sana. Apalagi laki-laki itu melihatnya mengenggam tangan Edo.

"Aku anter kamu pulang, sekarang."

Kalila dengan cepat melepaskan lengannya dari cekalan Raskal. Ia mengusap lengannya yang Raskal cekal tadi, cekalan Raskal cukup keras, membuat lengannya sedikit perih.

"Aku mau di sini."

"Kamu mau ngapain di sini? Kamu keluarganya? Pacarnya–"

"Ini salah aku!"

Kalila mengulum bibir bawahnya. "Kal, kalo kamu nggak suka sama yang aku lakuin, kamu boleh pergi. Tapi kali ini aku bener-bener nggak bisa nurutin perintah kamu. Karna ini salah aku, aku yang ninggalin dia sendirian di sana."

"Okay," Raskal menghembuskan nafasnya kasar, "terserah kamu."

Raskal pergi meninggalkan Kalila sendiri di depan pintu kamar rawat Edo. Dengan langkah besar ia meninggalkan rumah sakit menuju rumahnya. Saat Raskal baru saja mematikan mesin motornya, Kinan langsung menyambut anaknya di depan pintu dengan menanyakan pertanyaan yang membuat kepala Raskal ingin meledak.

"Gimana Kal? Kamu udah ngomong sama Kalila?"

"Bun, please."

"Bunda udah bilang sama kamu. Kamu menjauh dari dia atau kamu pindah ke Bali sama Oma."

"Raskal sayang Kalila, Bun."

Kinan mendekati anak semata wayangnya, menatap Raskal khawatir. "Raskal dengerin Bunda. Ayahnya Kalila itu bukan orang sembarangan. Ayahnya emang udah di penjara. Tapi kita nggak tau sebanyak apa anak buahnya di kota ini."

"Kamu liat apa yang Ayahnya lakuin sama Kalila? Bunda nggak mau dia lakuin itu ke kamu," lanjut Kinan.

Raskal memijit pelipisnya pelan saat Kinan meninggalkannya sendirian di ruang keluarga. Meninggalkan Kalila dengan alasan yang seperti itu? Apa ia bisa? Tidak, tidak bisa. Ia sangat menyanyangi perempuan itu.

Setelah 5 menit lamanya, Raskal bangkit dari duduknya, menghampiri Kinan yang sedang berkutat di dapur. Matanya menatap perempuan yang hingga kini sudah merawatnya sampai sebesar ini. Seumur hidupnya Raskal mengikuti semua yang Kinan perintahkan, tanpa terkecuali. Namun kali ini berbeda. Ia benar-benar tidak bisa mengikuti perintah Bundanya untuk menjauh dari Kalila.

"Bun Raskal nggak bisa. Raskal sayang Kalila Bun. Dia beda."

"Raskal, jauhin dia."

"Beri aku satu alasan kenapa Bunda nyuruh aku menjauh dari Kalila."

"Bukan Tio yang bunuh Ayah kamu. Kamu tau siapa pembunuh sebenarnya? Ayahnya Kalila. Dia yang bunuh Ayah kamu."

Raskal terdiam sebentar. "Raskal sayang Kalila, Bun."

Kinan menampar pipi Raskal keras. "Sadar kamu Kal. Dia anak dari orang yang bunuh Ayah kamu!"

Kinan menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ia lakukan tadi. Sedangkan Raskal menyentuh pipi kanannya, terasa sedikit perih di sana. "Kenapa Bunda perduli sama Ayah? You don't love him, did you?"

"Raskal!"

"Bun, Raskal udah besar, bukan anak kecil lagi. Raskal tau semua perbuatan Bunda selama ini. Dan kali ini, Raskal nggak akan diem aja."

Kinan berteriak frustasi saat Raskal sudah keluar dari rumah. Seharusnya waktu itu ia menyadari bahwa Kalila anak dari Irene dan Rino.

🌙

eccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang