Kalila terbangun dengan nafas yang memburu. Cincin manis itu masih berada di genggamannya, berarti ini semua bukan mimpi. Padahal, Kalila mengharapkan semua ini hanyalah mimpi.
Setelah menghembuskan nafas, Kalila turun dari kasur, berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Jam dinding menunjukkan pukul 3 dini hari, berarti ia baru tidur selama 3 jam. Lagi-lagi, nafas Kalila tercekat saat melihat bayangan seseorang dari ambang pintu dapur. Jantungnya berdetak tidak normal, bukannya kabur, Kalila malah mendekati bayangan itu.
"Raskal?"
Raskal tersenyum tipis, ia menarik Kalila ke dalam pelukannya, mengusap kepala perempuannya lembut. "Maafin aku La."
"Seminggu terakhir semuanya terasa sulit. Aku ngerasa jauh banget sama kamu. Semuanya udah jelas sekarang. Aku minta maaf harus ninggalin kamu sendirian," lanjut Raskal.
Kalila mengeratkan pelukannya. "It's okay. I just miss you so bad," hanya itu yang dapat keluar dari bibir Kalila, tapi kenyataannya banyak makian yang Kalila pendam selama ini untuk Raskal.
Tapi tetap saja, Kalila tak bisa menyakiti Raskal dengan makiannya.
Raskal tersenyum tipis sesekali ia mengecup puncak kepala Kalila. Beberapa menit kemudian, barulah Kalila melepas pelukannya, menarik Raskal duduk di sofa. Kalila menceritakan semuanya, tentang Edo yang sudah siuman dan Aariz. Sedangkan Raskal yang mendengarkan ocehan Kalila hanya bisa memperhatikan dengan senyuman kecil. Namun senyuman itu hilang saat Kalila mulai menceritakan tentang cincin itu.
"Kamu tau La?" Kalila menatap Raskal, seperti air matanya sudah habis, Kalila sama sekali tidak menangis, "saat tau Bunda selingkuh sama Ayah kamu, Tante Irene, Bunda kamu keluar dari rumah, nangis dan dia kecelakaan."
Kalila mengernyit. Meminta Raskal menjelaskan lebih detail. Masih belum paham apa yang Raskal katakan tadi.
"Bunda selingkuh sama Ayah kamu. I just–"
"I just feel, how my mom can do that? Sementara Bunda kamu sahabat baiknya Bunda," ujarnya sembari menatap Kalila.
Jujur, Raskal malu terlihat seperti ini di depan Kalila, sementara Bundanya yang menjadi penyebab kepergian Bunda Kalila.
Kalila mengusap punggung tangan Raskal lembut. "Kita nggak tau apa yang sebenarnya terjadi Kal. Itu urusan mereka. You don't have to hate your mom."
Raskal menggeleng sembari menutup matanya erat, tak menyangka apa yang Bundanya telah lakukan. Tio bilang, hari itu dua nyawa tidak bersalah melayang akibat kesalahan dua orang keji yang berada di rumah itu. Saat itu di tengah-tengah ributnya rintik hujan dan kilatan petir, suara tembakan terdengar memenuhi sisi-sisi ruangan. Tio yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung di lantai dua. Darah mengalir lewat lubang yang berada di kepala Ayahnya, membuat genangan darah di lantai putih.
Sedangkan perempuan yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa menutup mulutnya sembari berlari menjauh dari rumah besar itu. Terus berlari, hingga akhirnya suara klakson mobil terdengar dan tubuh lemah itu melayang menghantam tubuh mobil.
Hari itu, dua nyawa orang yang tidak bersalah melayang. Menimbulkan penyesalan pada kedua orang keji itu.
Setelah lumayan tenang, Raskal menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan, kembali melirik Kalila yang masih tenang di sampingnya. Banyak yang Raskal ingin ceritakan tentang hari-hari dimana ia tak bisa menemani Kalila.
"Tentang Naira, iya. Dia hamil. Tapi anak itu bukan anak aku. Kamu inget temen lama yang aku bilang malam itu?"
Kalila mengangguk membuat Raskal tersenyum tipis, "dia yang ngelakuin itu sama Naira. Aku bantuin dia untuk nemenin Naira kontrol karna Naira masih trauma sama Erwin. Dan untungnya Erwin mau tanggung jawab."
Kalila tersenyum menanggapi, ikut senang mendengar kabar baik kalau Ayah dari Anak itu mau bertanggung jawab. Mau bagaimana pun juga, ia juga seorang perempuan, tau bagaimana sakitnya bila orang itu tidak mau bertanggung jawab.
"Luka kamu gimana? Aku minta maaf La, bener-bener luka itu diluar dari ekspetasi aku, aku seharusnya nggak dorong kamu waktu itu."
"It's okay. Luka aku udah sembuh. Tiga jahitan," Kalila mengusap perban lukanya, senyum tipis terukir di sana, mengingat bagaimana sakitnya luka dan hatinya saat itu.
Mendengar jawaban Kalila, hati Raskal seakan teriris-iris. Saat itu, Raskal ingin sekali tetap berada di sana, menamani Kalila sepanjang hari. Namun kondisi Naira mendesaknya untuk mengikuti apa yang perempuan itu mau, sebelum Kalila yang kena imbasnya.
"Untung aja Erland langsung bawa aku ke rumah sakit, jadi aku nggak kekurangan darah," lanjut Kalila.
"Aku harus berterima kasih banyak dong sama Erland?" tanya Raskal, ia menarik kepala Kalila agar bersandar di bahunya.
Kalila tersenyum lebar. "Dia jadi supir pribadi aku kemana-mana."
"Baguslah, dia ngerjain apa yang aku suruh."
"Hm?" dehem Kalila sembari menoleh.
Raskal menggeleng. "Tentang Aariz, kamu mau gugat dia?" Raskal mencoba mengganti topik pembicaraan.
Kalila kembali lemas, itu yang sedari tadi ia pikirkan. Ia tidak tega mengugat Aariz dengan tuduhan tabrak lari. Entahlah, Aariz sangat baik padanya selama ini.
"Kayaknya nggak deh Kal," Kalila menepuk dua kali lengan Raskal saat laki-laki itu ingin protes.
"Kak Aariz baik banget sama aku, Erland juga. Aku yakin Bunda juga setuju sama aku. Sepenuhnya bukan salah Kak Aariz, TKPnya di perempatan jalan, Bunda keluar dari perempatan," lanjut Kalila.
Raskal mengernyit, masih bingung dengan penjelasan Kalila.
"bertepatan dengan itu mobil Kak Aariz yang lewat sana, hantam tubuh Bunda."
Raskal mengangguk tanda mengerti dengan apa yang Kalila bilang. "Tapi seharusnya saat itu Aariz bawa Bunda kamu ke rumah sakit. Kemungkinan besar Bunda kamu selamat kan?"
Kalila tersenyum kecil. "Takdir, Kal. Bahkan yang nolongin Bunda saat itu nelfon ambulans dan ambulans datang setelah mobil Kak Aariz ninggalin Bunda."
Raskal terdiam, kagum dengan apa yang Kalila ucapkan tadi. Beruntungnya ia bisa menemukan perempuan seperti Kalila. Raskal tersenyum lebar, merentangkan kedua tangannya, menyuruh Kalila masuk ke dalam pelukannya. Dengan senang hati Kalila memeluk Raskal, menenggelamkan kepalanya pada dada bidang.
Satu jam kemudian, tidak ada pergerakan dari Kalila, membuat Raskal terkekeh. Kebiasaan, kalau sudah menemukan tempat nyaman, perempuan ini pasti terlelap. Dengan hati-hati Raskal membawa tubuh mungil itu ke dalam kamanya, menidurkan Kalila dengan lembut.
"Kal."
Raskal mendesis, seperti sedang menidurkan anak kecil. Ia menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh Kalila.
"Kamu nggak akan ninggalin aku kan?"
"Kamu tidur ya," gumam Raskal sembari mengusap pipi Kalila lembut.
Kalila melingarkan kedua tangannya pada leher Raskal. "Jawab aku Raskal," protes Kalila dengan mata yang masih terpejam.
"Iya La."
Matanya menyipit, Kalila tersenyum lebar. Ia menarik leher Raskal, agar wajah laki-laki itu lebih dekat dengan wajahnya. Dan Raskal sama sekali tidak percaya.
Saat kedua benda kenyal itu menyatu.
🌙
KAMU SEDANG MEMBACA
eccedentesiast
Teen Fiction[ some part are locked, follow to unlock ] ❛❛Eccedentesiast (n.) a person who hides their pain behind a smile.❜❜ Kebahagiaan. Satu hal yang selama ini Kalila dambakan. Namun Kalila sadar, kehidupannya telah hancur dan ia tak yakin bisa kembali bahag...