01. Air Mata Nenek

741 35 4
                                    

Usiaka baru menginjak 7 tahun ketika aku akan dibawa merantau, sedangkan adikku baru berusia 5 tahun. Di usia yang masih begitu belia, kami sudah harus menjadi korban kemiskinan. Kami harus mengikuti orang tua kami merantau ke tanah kalimantan. Tanah yang masih terdengar asing di telingaku.

Kami akan maninggalkan tanah Jawa, meinggalkan keluarga besar tercinta, meninggalkan masa-masa menyenangkan sebagai bocah cilik di desa, meninggalkam semua kawan-kawanku.

Aku seperti akan membuka lembaran baru. Entah itu lembaran yang utuh atau lembaran yang justru sudah kusam dan lapuk.

"Sebenarnya Ipin anaknya lumayan pintar, mungkin jika dia bisa bertahan di sekolah ini, dia bisa jadi aset berharga untuk SDN 2 Somagede di masa yang akan datang," ucap Ibu Darty di hadapan ibuku.

"Gimana ya bu? Kalau bukan karena kondisi ekonomi, saya dan suami saya juga nggak pengin ngambil jalan ini. Kami masih pengin tinggal di desa bersama kerabat lainnya," ujar Ibuku.

Ibu Darty menghela memperlihatkan rasa kecewa, sebab salah satu muridnya akan pindah dari sekolahnya. Walaupun begitu, beliau paham betul kondisi ekonomi keluargaku.

"Baik bu, saya paham. Nanti saya dan Pak Kepala Sekolah akan mengurus surat kepindahan Ipin dengan secepatnya."

"Terimakasih bu."

Keluargaku adalah salah satu dari banyaknya keluarga miskin yang ada di Desa Lancar. Penghasilan di desa benar-benar tidak bisa mencukupi untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah. Jika kami terus bertahan di desa, kondisi hidup kami akan semakin memburuk. Lihat saja rumahku yang hampir roboh dimakan usia. Beruntung di desaku tak pernah ada badai. Jika itu ada, rata dan habislah rumahku dengan tanah.

Setiap hari, rayap-rayap terus menambahkan bengunannya di setiap sudut dinding kayu rumahku. Dinding kayu rumahku yang tipis terus mengeropos dimakan usia dan dirampas haknya oleh rayap-rayap tak tau malu itu. Rayap-rayap itu tak pernah mengerti keadaan ekonomi kami, mereka terus melakukan aksinya meski kami selalu merusak bangunannya dan membunuh beberapa darinya. Tapi dari perbuatan rayap-rayap tersebut, aku mendapatkan sebuah pelajaran, bahwa ujian hidup tidak akan melunturkan semangat dan harapan. Seperti juga rayap-rayap yang tak pernah menyerah untuk membangun rumah-rumahnya. Meski pada akhirnya rumah yang telah mereka bangun akan kuhancurkan, tapi meraka pasti akan membangunnya kembali.

Kadang, aku iri kepada teman-teman yang mempunyai rumah bertembok dan berkeramik. Mereka bisa berguling-guling di lantai keramik yang mengkilap dan bersih itu, tidak ada tanah yang bergelombang seperti di rumahku. Mereka mempunyai rumah yang kokoh, berdinding tembok, tidak seperti rumahku yang dipagari anyaman bambu atau blabak tipis. Dan satu lagi, Aku iri karena rumah mereka tidak pernah kemasukan air saat hujan.

Sering aku mengatakan pada ibuku ketika kami melintasi rumah-rumah megah itu yang meski tak semegah di televisi. "Ibu, aku ingin mempunyai rumah seperti itu."

Ibu hanya membalasku dengan senyuman. Itu saja, aku tak tau artinya.

Yah, itulah ibuku, Fatimah. Namanya pasaran bagi standar orang kampung, tapi dia hanya satu, wanita terhebat dalam hidupku. Dia selalu meyakinkanku bahwa harapan itu selalu ada selama kita mau berusaha. Lewat rangkulannya, aku selalu merasa nyaman. Ia adalah selemut nyata yang menghangatkan keluarga.

Ibuku sendiri adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ia adalah seorang penjual gula merah. Setiap sore berkeliling desa meneriakan "Gula-gula!" agar gula-gula buatannya habis terjual. Sehingga bisa digunakan untuk membiayai sekolahku.

Saat ibu berjualan, aku dan adikku dititipkan kepada Bibi Ira. Nanti saat ia pulang, ia akan membawakan dua batang chocolatos untukku dan adikku. Dan itulah saat-saat yang kunantikan. Saat itu, Melahap chocolatos adalah aktifitas mencerna yang paling nikmat bagiku.

Saat hari minggu, aku akan diajak ibuku ke kebun untuk mengambil kapulaga atau hanya sekedar menebas-nebas rumput yang lebat. Kebun itu luasnya hanya sepetak, ditanami pohon-pohon albi dan kapulaga. Beberapa pohon albi di kebun itu mati karena kurangnya perawatan. Harta kami berupa pohon itu lagi-lagi dirampas oleh hama tak tau malu.

Ibuku hanya lulusan SD. Padahal, sewaktu kecil ibuku adalah anak yang sangat pandai. Ia selalu mendapat peringkat 1 di kelasnya. Ia juga lulusan dengan nilai UN terbaik se Kecamatan Wadaslintang kala itu. Atas prestasinya, ia ditawari untuk melanjutkan sekolah dengan biaya gratis. Tapi kakekku menolak tawaran itu dengan alasan ingin bersikap adil kepada semua anaknya. Sebab, dari ketiga saudara ibuku, tidak ada satupun yang melanjutkan ke jenjang SMP. Faktor utamanya adalah buruknya kondisi ekonomi.

Ibuku juga anak yang pekerja keras dan sederhana. Ia tidak pernah menggunakan tas saat sekolah. Buku-buku sekolahnya ia bawa dengan keresek hitam. Ia juga tidak pernah membawa uang saku kecuali di hari jumat. Sepulang sekolah ia selalu dititipi prabotan kotor untuk dicucinya. Setelah itu, ia membantu ibunya menjual nasi di pasar. Saat malam hari, ibuku belajar hingga pukul 9 dengan ditemani lilin dan buku-buku yang ia pinjam dari sekolah. Setelah itu ia bisa beristirahat.

Bagiku, Ibu adalah cerminan hati yang putih. Ia lebih dari sekedar seorang pahlawan. Di mataku, Ibuku adalah sosok wanita yang paling luar biasa di dunia. Dia sosok wanita yang tangguh dan tak mudah putus asa.

Sedangkan Ayahku bernama Tugianto, adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan sepatu yang ada di Bogor. Ia sudah bekerja di perusahaan tersebut sebelum aku lahir. Walaupun begitu, keadaan ekonomi kami tetap tak kunjung membaik. Oleh sebab itu, ibuku mengajaknya untuk merantau ke Kalimantan Timur.

Ayahku pulang dua kali setahun.
Jarak yang jauh antara Wonosobo dan Bogor membuat diriku sering rindu pada sosok Ayah. Hal yang menyedihkan adalah ketika Ayah akan pergi ke Bogor. Pernah aku mengejar sebuah bus yang membawa ayah ke tempat yang tidak aku ketahui. Aku terus mengejar sambil menangis dan meneriakkan kata "bapak!" berkali-kali. Tapi bus itu terus berjalan sampai dadaku sakit. Dan aku berhenti mengejar saat pamanku mencegahku di tengah jalan.

Sangat disayangkan, sosok ayah yang sering aku rindukan justru sering membuat aku kecewa ketika ia berada di rumah. Sebab kehadiran ayah justru membuat kondisi rumah menjadi broken. Ibu dan Ayah, mereka sering berdebat dengan selingan kata-kata kasar. Hal itu membuat suasana rumah menjadi pengap, membuatku tidak nyaman.

***


Sejak satu jam lalu, nenekku terus merangkulku. Ia mendekapku begitu erat. Wajahnya pucat pasi. Tak ada satupun kata yang terucap dari lisannya kecuali rintihan tangis yang terdengar lirih. Air matanya terus mengalir membanjiri pipinya. Hingga menetes di ubun-ubunku.

Aku tau, ia sedang sangat bersedih kerena beberapa menit lagi akan ditinggalkan anak dan cucunya.

Tak hanya nenek, ibuku juga tampak bersedih. Matanya tampak memerah . Sedang tangannya terus bergerak melipat pakaian-pakaian yang akan di bawa ke Kalimantan Timur.

Hampir semua anggota keluarga besarku sudah berkumpul di rumah. Sebagian dari mereka akan mengantar kami ke kota Wonosobo sebagai salam perpisahan. Semua sedang harap-harap cemas menanti bus yang akan membawa keluarga kecilku ke kota Wonosobo. Lalu akan melanjutkan ke Pelabuhan Tanjung Parak.

Tak lama kemudian, bus yang tak diharapkan kehadirannya oleh nenekku telah tiba di depan rumah. Ayahku bergegas membawa barang-barang yang akan dibawa ke Kalimantam. Ibuku menyalami semua saudara dan kerabatnya yang berada di dalam rumah. Sementara aku mesih didekap dengan erat oleh nenekku.

"Cucukku!" teriak nenekku.

Paman Ratno mencoba melerai pelukan nenek yang mendekap erat badanku. Aku pun berhasil lepas dari dekapannya.

"Cepat ke bus pin!" perintah Paman Ratno.

Sebelum melangkah, aku menatap wajah nenek yang tampak begitu sedih. Air matanya mengalir begitu deras. Sedangkan tangannya mencoba untuk meraih badanku. Tapi paman Ratno mencoba menahan pergerakan nenek, hingga ia tak mampu berkutik sedikitpun. Aku tak tega melihatnya. Baru kali ini aku melihat nenek sesedih itu.

"Pin, ke bus!" Paman Ratno memerintahku lagi.

Kemudian aku berlari menuju bus. Ayah, Ibu, dan Enal sudah menungguku di dalam bus.

Dari kaca bus, aku hanya bisa meresakan kesedihan. Nenekku terus menangis hingga bus berjalan dan bayangannya tidak terlihat lagi.

SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang