Hari itu seperti biasa. Suasana pagi begitu cerah. Dengan burung-burung gereja dan walet yang terbang menghiasi penampakan langit. Dan juga cahaya matahari sudah menampakan diri menerangi setiap sudut bumi.
Kami begitu girang di dalam truk sembari menyanyikan lagu Wali yang berjudul 'Emang Dasar'. Kala itu, lagu anak kecil tak populer di kalangan kami, jadi kami lebih menyukai lagu-lagu cinta yang sedang hits.
Semua orang di dalam truk nampak bahagia. Nampaknya kebahagiaan mereka memang selalu konsisten di dalam truk. Selama ini, tak pernah ku lihat ekspresi yang menggambarkan kesedihan dari wajah mereka. Semuanya begitu sumringah.
Aku mendengar suara truk lain mendakati kami. Aku juga mendengar teriakan anak-anak yang bukan dari kelompok kami. Mungkin itu adalah suara anak-anak dari angkutan truk lain yang belum menampakan diri.
Tak lama kemudian, terlihat truk angkutan anak puhus berada di belakang truk kami. Kami menyambut mereka dengan sorakan "huuuu!" Dan mengejek mereka dengan menunjukan gaya thumb down atau acungan jempol ke bawah. Mereka juga membalas sorakan kami "wwoowwee!" Kira-kira seperti itu. Lalu menantang kami dengan menunjukan gestur the finger hand atau acungan jari tengah.
Masing-masing kelompok masih terus melontarkan ejekannya. Kedua kelompok memang rival yang sangat sulit didamaikan. Sejak dulu, anak dewata dan anak puhus memang sudah saling mengejek satu sama lain. Aku sendiri tak tahu apa penyebabnya. Aku kira, mungkin itu hanya gara-gera letak lokasi yang berbada namun sama-sama menggunakan truk untuk menuju sekolah. Lalu kedua kelompok merasa tersaingi dan terbentuklah konflik tanpa sebab yang berarti, kurasa seperti itu.
Truk Puhus semakin mendekati truk kami. Ejekan per ejekan pun semakin terdengar jelas. Hingga kata-kata 'asu' pun terdengar jelas di telingaku.
"Kalau bisa, ayo salip kami, hhhhha dasar pecundang!" umpat Rizal yang merupakan anak dewata.
"Huuuuu pada kaya tai raine (Pada kaya tai mukanya)." Eby manambah panas suasana. Masalah ejek-mengejek, Eby lah jagonya.
Hingga akhirnya truk puhus menyalip kami, kedua belah pihak masih terus saling melontarkan ejekan.
"Awas kalian!" cetus Rizal saat truk puhus itu menyalip truk dewata.
"Hhhhha cemen!" ejek salah satu anak puhus yang sepertinya ketua gengnya.
Truk puhus itu semakin jauh meninggalkan truk kami. Ejekan dari mulut per mulut pun mereda. Setidaknya hatiku lega, kerena sudah tak ada suara ejekkan yang tek enak didengar. Kini hanya suara mesin truk yang terdengar jelas di telingaku. Sedangkan anak-anak dewata terdiam di dalam truk karena mungkin kecewa telah dikalahkan rivalnya. Nyanyian yang sebelumnya begitu ramai kini hilang dan mulut-mulut mereka seperti terkunci.
Aku merasakan bahwa tempat yang sedang kami lalui baru saja terjadi hujan. Itu terasa ketika truk yang kami tumpangi seperti berjalan tergelincir ke kanan dan ke kiri. Saat aku melihat keluar, dan benar bahwa ternyata jalan itu becek karena baru saja terkena tetesan hujan. Perasaanku menjadi harap-harap cemas. Hal seperti ini bisa membuat truk terjebak di dalam lumpur, sedangkan sekolah kami masih jauh. Jika truk terjebak, kita tak akan tiba di sekolah.
Benar saja. Di sebauh pertigaan, truk tiba-tiba berhenti. Sedangkan suara mesinnya masih terdengar jelas bahkan mengegas lebih keras. Kami segera melompat-lompat agar roda truk mengenai dasar lumpur yang padat. Namun, truk masih mengegas keras dan tak bergerak. Mati lah kami. Kami harus menunggu bantuan datang. Sedangkan SD Long Jenew masih begitu jauh. Hari ini mungkin akan menjadi hari libur bagi anak dewata.
Kami turun dari truk. Lalu bersinggah di bawah pohon sawit. Sedangkan supir dan keneknya masih berusaha membebaskan truknya dari jebakan lumpur.
Kami hanya bisa melihat truk kami mengegas keras dengan dua roda belakang yang memutar di dalam lumpur. Truk itu hanya memutarkan rodanya saja, tapi badannya hanya diam tanpa gerak. Semakin lama semakin bosan melihatnya. Sedangkan anak angkutan yang lainnya; ada yang sedang membuat alas dari daun sawit, ada yang makan bekal sekolah, bahkan ada yang berak di genangan air kebun sawit.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
General FictionTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...