15. Buruknya Spiritual Agama

71 14 0
                                    

Dari sisi negatif pandanganku, tanah rantau adalah tempat yang buruk untuk para petani muslim. Selain memaksa orang-orang untuk bermandi keringat di tengah hutan sawit, tanah rantau juga tak pernah memberikan waktu untuk sejanak bernafas melaksanakan kewajiban agama. Hampir seluruh petani sawit di tanah rantau melupakan kewajiban sholat lima waktu. Mereka telah terlena dengan kesibukan dan lelah yang disebabkan kerja setiap waktu. Ditambah lagi dengan sistem peraturan kerja yang seperti tak respeck dengan hak manusia untuk beribadah. Peraturan mereka terkesan seperti melimpahkan kerja rodi kepada para petani sawit. Sehingga waktu yang seharusnya digunakan untuk beribadah justru digunakan untuk istirahat atau bekerja.

Maka tak heran jika mushola yang sudah susah payah dibangun oleh kuli bangunan justru terbengkalai tak berguna. Walau di dalamnya ada beberapa Al-Qur'an dan peralatan sholat, tapi benda-benda itu seperti tak pernah disentuh oleh manusia. Tak ada yang mau masuk ke mushola walau hanya seledar beradzan dan bersholawat. Padahal di dalam Mushola sudah disediakan micrifon, tapi sungguh orang-orang afdeling 11 telah terpengaruh godaan setan yang lebih mementingkan kenikmatan dunia. Mereka lebih suka mengelus-elus bulu anjing ketimbang menghadap Al-Qur'an.

Belum lagi dengan kehidupan yang begitu liar. Banyak sekali anjing-anjing yang menyelinap ke rumah untuk mencuri makanan. Wajan yang digunakam untuk menampung lauk pauk justru dijilati oleh anjing-anjing biadap yang kelaparan. Seakan-akan itu sudah biasa bagi kami. Bekas jilatan anjing hanya kami bersihkan dengan air. Sedangkan najisnya tentu masih menempel. Hingga sampai sekarang aku tak tahu, apakah selama hidup di tanah rantau aku telah memakan makanan haram karena bekas jilatan anjing? Sungguh, hidup kami telah terbiasa berbaur dengan anjing-anjing.

Dan satu hal paling buruk dalam paradapan hidupku di tanah rantau. Sebagian orang yang beragama Islam KTP mengomsumsi segala macam mahluk yang menurut mereka sedap dimakan. Segala katak, bulus, biawak, ular, hingga babi mereka makan tanpa rasa dosa. Mereka tak tahu itu haram, yang mereka tahu hanya bekerja, mendapat uang, dan hidup sesukanya.


P

ernah pada suatu hari.

Suara adzan menggema keras di telingaku. Ini bukan adzan dari Masjid yang berasal di kantor pusat PT. Dewata. Ini adalah adzan dari mushola afdeling 11. Siapa gerangan orang beriman yang bersedia pergi ke mushola? Orang-orang pasti sedang heran dan bertanya-tanya. Tak sampai di situ, orang beriman itu juga bersholawat.

Keesokan harinya, aku mendengar bahwa ada karyawan baru bernama Yudis yang berasal dari Sidoarjo. Dialah orang yang tadi malam beradzan dan bersholawat di mushola. Pada sore harinya ia menghampiri setiap rumah dan meminta anak-anak afdeling 11 untuk pergi ke Mushola, katanya ia bersedia mengajari ilmu agama kepada anak-anak afdeling 11.

Pada waktu Maghrib, aku, Eby, dan anak afdeling 11 lainnya berbondong-bondong pergi ke Mushola. Lalu kami mengkaji Al-Qur'an dan ilmu agama lainnya yang dibimbing oleh Pak Yudis. Kami disuruh aktif bertanya tentang sesuatu yang membingungkan. Katika kami bertanya, Pak Yudis selalu menjawab dengan kata-kata mudah dipahami dan logis. Kami menjadi betah diajar Pak Yudis. Ia seperti pencerah bagi kami.

Sejak kedatangan Pak Yudis, kami jadi lebih sering mendengar Adzan dan Sholawat. Lingkungan afdeling 11 serasa lebih sejuk dan tenang. Namun setelah 3 bulan berlalu, secara mengejutkan Pak Yudis berpamitan untuk pulang kampung. Katanya, Ia tidak sanggup lagi bekarja sebagai petani sawit. Sangat sedih, kami harus ditinggalkan guru ngaji yang selama 3 bulan ini berusaha mengingatkan orang-orang afdeling 11 kepada Sang Pencipta.

Pak Yudis berpesan kepada kami agar terus mengaktifkan kegiatan mushola walau tanpa seorang guru. Ia juga meninggalkan tempelan lirik sholawat di dinding mushola yang ia tulis di selembar kertas.

"Jangan lupa bersholawat setiap hari, sebagai tanda cinta kita kepada Kanjeng Nabi." Kata Pak Yudis.

Setelah peninggalan Pak Yudis, kami masih sedikit aktif pergi ke Mushola. Namun sangat disayangkan, katiadaan seorang guru membuat kami bosan dan jenuh. Akhirnya kami tak lagi mengaktifkan kegiatan Mushola. Semua sudah lupa dengan amanat Pak Yudis. Kami kembali lupa dengan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah SWT.

BAB TAMBAHAN : RAMADHAN DI TANAH RANTAU

Untuk kedua kalinya, aku merasakan bulan ramadhan di tanah rantau. Bulan ramadhan kali ini terasa sangat berbeda. Tak ada sholat terawih seperti yang sering aku jumpai di kampung halaman, tak ada buka dan saur bersama, tak ada suara iringan bedug yang menggema di di telingaku, bahkan hampir seluruh manusia di tempat itu tak melaksanakan kewajiban berpuasa.
Bagi mereka, berpuasa akan mengganggu efektifitas kerja dan takut mengurangi gaji. Mereka telah silau dengan dunia hingga lupa dengan perintah Sang Pencipta. Dan itu berimbas kepada anak-anaknya yang ikut-ikutan tak berpuasa karena orang tuanya yang tak mampu mencontohkan sesuatu yang baik. Tapi, Orang tua kami tak bisa sepenuhnya disalahkan, kami juga harus melihat kerja berat yang setiap hari mereka lakoni. Seakan kerja berat dan gaji telah menguasai fikiran dan mengalahkan segalanya termasuk kewajiban agama.

Di tahun ini, aku juga tidak merayakan lebaran bersama keluarga besar. Aku dan keluarga kecilku akan merayakannya bersama kerabat yang ada di afdeling 11. Malam itu, ibuku menghubungi nenek untuk mengucapkan permintaan maaf. Nenekku adalah orang pertama yang ibu telefon untuk mengucapkan kalimat sakral tersebut. Ibuku, ia menangis tatkala mengucapkan kalimat sakral tersebut. Satu tahun lebih berada di Kalimantan Timur, baru kali ini aku melihat ibu menangis setulus itu. Aku mengerti, bulan ramadhan ini adalah yang kedua kali kami tak bersama keluarga besar. Kami sangat merindukan momen-momen bersama keluarga besar. Kami rindu kebahagiaan sederhana yang salalu kami bangun setiap lebaran akan tiba. Seperti membuat sagon bersama, membuat jenang bersama, ramai bermain kembang api, semua itu tak bisa kurasakan di tanah rantau. Aku sungguh rindu saudara-saudara yang ada di kampung halaman.

Seperti tahun lalu, bulan ramadhan di tanah rantau begitu hampa. Kami tidak bisa merasakan bahwa malam ini adalah malam lebaran. Tak ada takbir iring-iringan yang biasa kita jumpai di malam lebaran. Tak ada banyak jajanan lebaran. Tak ada kembang api. Tak ada yang spesial. Baiklah, aku bisa menarik kesimpulan, kami sebenarnya tak pantas merayakan lebaran karena aku kira hari lebaran hanya untuk orang-orang yang berpuasa. Mungkin itulah sebabnya lebaran di tanah rantau sangat berbeda dengan lebaran di kampung halaman. Tentu saja lebaran di kampung halamam lebih terasa kerena disana kami melaksnakan ibadah puasa dan merayakannya dengan penuh kebahagiaan. Sedangkan di tanah rantau begitu hampa.

Tak berbeda dengan malamnya, hari idul fitri di pagi hari juga terasa biasa saja. Ibuku yang paling parah. Ia sangat meremehkan perayaan hari raya idul fitri di tanah rantau. Setelah melaksanakan sholat id, ibuku dengan fikiran gilanya justru mencuci pakaian di lebung. Aku sudah berkali-kali memanggilnya "Ibu, ada orang di rumah kita." Dan ia hanya menjawab. "Sebentar, kurang sedikit." Begitu terus jawabannya. Ia memang terkenal penunggu lebung berjam-jam sampai sore hari. Entah apa yang ia kerjakan selain mencuci pakaian dan prabotan. Aku berfikir Wajar jika orang-orang memanggilnya si penjaga lebung.

Setelah lama sekali menunggu ibu beranjak dari lebung, akhirnya kami bisa bernafas lega. Kami berkeliling di sekitar afdeling yang hanya berisi 50 pintu atau hanya 30 Keluarga dan sisanya dihuni petani lajang. Kami saling mengucapkan permintaan maaf dan mencari-cari makanan khas lebaran yang tak mungkin beragam seperti di kampung halaman. Di setiap rumah yang kami jumpai, rata-rata terdapat setoples rempeyek dan sepiring agar-agar. Makanan tersebut sudah sangat biasa di mataku. Tapi kenapa aku tak bisa menemukan rendang di setiap sudut rumah yang aku pijak. Makanan tersebut adalah makanan faforitku, tapi aku tak bisa menikmatinya bahkan untuk satu tahun sekali. Menyebalkan.

Setelah puas berkeliling sekitar afdeling, kami pergi menuju rumah keluarga Wa Siran. Ia adalah tetangga di kampung halaman yang juga merantau di kalimanatan Timur. Rumahnya berada di komplek bibitan. Jaraknya tak begitu jauh, hanya menempuh 30 menit dengan berjalan kaki.

Bermain ke rumah Wak Siran adalah obat hambarnya hari lebaran di tanah rantau. Bersama keluarganya, mengingatkan aku tentang kampung halaman yang begitu menenangkan. Kampung yang sangat aku rindukan.

#terimakasih sudah membaca

SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang