05. Pertemuanku dengan Arham

161 19 0
                                    

Nyatanya hingga pelajaran baru dimulai, PT. Dewata belum juga mendirikan sekolah. Padahal kami sabagai anak-anak dari orang tua rantau sangat mengharapkan dibangunnya sekolah di sekitar lingkungan PT. Dewata Sejahtera. Alhasil, kami harus kembali mendaftar di SD Long Jenew. Sekolah yang letaknya jauh dari afdelingku. Jarak tempuhnya yang jauh adalah salah satu alasan kenapa aku harus menunda sekolah 4 bulan lalu. Tapi alasan tersebut sudah tak berlaku. Alasan itu terdengar seperti lelucon yang garing dari para orang tua kami. Orang tua kami telah tertipu oleh janji atasan perusahaan. Dan bagaimanapun, kami harus melanjutkan sekolah.

"Pin!" sahut Eby memanggilku.

"Iya, tunggu sebentar," balasku. Saat itu aku sedang memasukan buku pelajaran ke dalam tas.

"Huh lelet banget," desis Eby saat setelah aku keluar dari rumah.

"Maaf-maaf, yuk berangkat," ajakku.

Hari ini adalah hari pertamaku sekolah. Dua hari lalu, aku dan teman-teman lainnya sudah didaftarkan di SD Long Jenew. Dan kini tak ada lagi kata menunda sekolah. Kami benar-benar akan memulai lagi untuk berjuang sebagai pelajar. Kami sudah siap menuntut materi yang sudah menanti.

Seperti 4 bulan lalu, untuk tiba di sekolah kami harus menaiki truk angkutan. Melewati jalan yang terjal dan berliku. Menempuh waktu satu jam untuk bisa tiba di tempat.

Walau harus menempuh waktu satu jam, tapi waktu tersebut terasa lebih singkat kerena kami begitu asyik di dalam truk. Kamu bernyanyi-nyanyi sambil melompat-lompat girang. Kadang jika truk mengenai tonjolan di jalan, kami bisa melompat lebih tinggi dengan sendirinya. Dan saat itu juga kami akan berteriak serentak "hoooo yaaaaa!" Seperti itu.

Tidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras apapun itu, perjalanan menuju sukses dimulai dari titik tersebut.

Tak terasa, satu jam berlalu. Kami pun tiba di SD Long Jenew. Keadaannya masih sama seperti 4 bulan lalu. Berdiri di tengah kebun sawit dan dengan tembok berwarna kuning hijau. Sedangkan di belakangnya masih berdiri empat barak panggung.

Kami segera turun dari truk dan berlari menuju lapangan karena sebentar lagi upacara bendera akan dilaksanakan. Sementara itu, tas kami digeletakan di emparan depan kelas.

Setelah upacara selesai, saatnya sesi pembagian kelas. Aku sendiri kebagian kelas 1c, sedangkan Eby berada di kelas 1b. Saat setelah mengetahui masing-masing kelasnya, kami langsung masuk ke dalam kelas masing-masing. Lalu mencari kursi yang kosong.

Kursi di dalam kelas 1c nampak sudah terisi semua. Hanya satu yang masih kosong, yaitu di meja paling kanan sebelah kiri seorang anak laki-laki.

"Duduklah disini," ucap anak itu mengajakku untuk duduk bersebelahan.

Aku melangkahkan kakinya menuju kursi yang ada di sebelah anak itu. Lalu duduk bersebelahan dengannya. Kulihat anak itu sedang mengunyah permen karet.

"Hai, namaku Arham," ucap anak itu memperkenalkan diri. Tangannya dialurkan kehadapanku, tanda ingin berjabat tangan denganku.

"Namaku Ipin," balasku menjabat tangannya.

"Dari mana?" tanyanya.

"Maksudnya?"

"Rumah kamu dimana?" Dia menanyakan rumahku.

"Aku berasal dari Wonosobo, tapi sekarang berdomisili di Dewata." Jawabku.

"Dewata? Dimana itu?".

Sepertinya Dewata memang belum terlalu familiar di telinga madyarakat. Buktinya Arham saja tak tau dimana Dewata.

"Disana, paling jauh dan paling ujung." Jawabanku terkesan berlebihan.

"Iyakah?" Logat kaltimnya mulai muncul.

"Kau sendiri, berasal dari mana?" Tanyaku.

"Aku berasal dari Sulawesi, tapi sekarang berdomisili di afdeling 5 LJ 1." Jawabnya. LJ sendiri adalah kependekan dari Long Jenew.

"Berarti dekat?"

"Tidak juga. Sekitar seperempat jam dari rumahku, itupun jika menaiki truk," jawabnya. Ternyata Arham juga sama denganku. Walaupun kediamannya lebih dekat dariku, tapi dia juga harus menempuh perjalanan sekolah dengan truk.

Sejak saat itu, kami menjadi lebih akrab. Bahkan ketika di sekolah, kami sering melakukan sesuatu bersama. Dari jajan, mengerjakan tugas, hingga saling menemani ke WC ketika pup.

Arham adalah anak yang baik dan polos. Ia sering memandangku saat aku sedang menulis. Katanya, tulisanku indah dan ia ingin seperti diriku. Hal itu wajar, karena aku juga sering melihat ibunya memerahinya kerena tuliasannya yang sangat jelek seperti kumpulan cacing yang sedang menari-nari. Karena itu, Arham sering terlihat menulis sendiri saat waktu istirahat. Saat kutanya "Kenapa kau menulis? Padahal ibu guru tidak menyuruhmu." Dia menjawab. "Aku sedang berlatih menulis indah sepertimu." Aku tertawa.

Setiap hari Arham membawa 1 pak permen karet dan aku selalu ditawari. Ia paham, Jika aku mengangguk berarti aku menerima tawarannya dan ia akan memberiku 3 bungkus permen karet. Dan itu berlanjut sampai datanga waktu perpisahan antara aku dengannya.

#cuapcuapauthor
Terimakasih sudah membaca.
Jangan lupa vote dan comment

SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang