Suasana cerah dan ceria di dalam kelas berubah menjadi mencekam sejak Denis menceritakan tragedi mengerikan. Tragedi itu terjadi ketika truk yang mengangkut para petani sawit afdeling 13 mengalami kecelakaan saat pulang dari pasar. Salah satu faktor penyebab kecelakaan adalah karena licinnya jalan yang truk angkutan lalui. Sehingga membuat truk tergelincir hingga terjungal dan rebah.
"Hampir seluruh penumpang mengalami luka berat. Ada yang betisnya sobek dan tulangnya keluar," ujar Denis. "Ada juga yang kepalanya bocor dan dilumuri darah," lanjutnya.
Bulu kuduku berdiri mendengarnya.
"Untung saja ayahku tak jadi berangkat ke pasar. Kalau ayahku ikut, Pasti dia tertimpa juga."
"Ah, kenapa mereka berangkat ke pasar? padahal sudah tau jalannya licin. Sekarang lagi musim hujan. Rawan kecelakaan," ucap Agung.
"Namanya lagi apes ya gitu," cetus Ovi.
Ya itulah hujan. Pandangan kami tentang hujan sering kali negatif. Namun aku fikir kini pandangan tentang hujan tak seburuk dulu. Terkhusus anak-anak afdeling 11, Jika dulu hujan adalah sebuah masalah bagi para pelajar, kini hujan justru berubah menjadi berkah bagi kami. Tak bisa kami pungkiri, hujan adalah salah satu bagian dari nikmatnya kehidupan di tanah rantau. Hal itu bukan tanpa alasan. Sebab sebagian air yang kami gunakan untuk sehari-hari adalah hasil dari tetesan hujan yang kami tadangi menggunakan pelaron. Pelaron tersebut kami pasang di sepanjang sisi atap rumah dan langsung menyalur di bak kamar mandi. Sehingga jika hujan deras tiba, maka bak mandi akan penuh air, ember-ember penuh air, deligen-deligen penuh air. Dengan begitu, kami tak perlu susah payah mengangkut air dari lebung.
Tak hanya itu, saat setelah hujan biasanya air lebung akan meluap. Sehingga kedalaman dan arusnya akan bertambah. Saat itu juga kami manfaatkan untuk ciblon.
Ciblon adalah kebiasaan kami selepas hujan. Disini kami bisa memperlihatkan kemampuan kami ketika berada di air. Seperti salto, berenang, menyelam, dan lainnya. Lebung keruh kami sudah seperti kolam renang yang sederhana. Sungguh, saat itu tak ada yang lebih menyenangkan daripada ciblon.
Kami bahagia saat musim hujan tiba. Para petani sawit juga turut bersuka cita menyambut musim hujan. Sebab saat musim hujan tiba, buah sawit yang matang akan semakin banyak dan tentunya akan menaikan gaji perbulan.
Namun, hal itu justru akan menyebalkan untukku dan kami para anak dari petani sawit. Saat buah sawit sedang gembor-gembornya bermekaran. Kami pasti akan disuruh orang tua kami untuk membantu memanen buah sawit yang bermerah-merah disepanjang jalur perkebunan sawit. Kami akan membantu orang tua kami memunguti biji sawit yang berjatuhan bawah pohon sawit hingga di dahan pelepah sawit. Ada juga yang sampai mendorong gerobak sawit.
Jujur, aku selalu bermalas-malasan jika disuruhnya untuk membantu ayah. Di kebun sangat melelahkan harus mendorong gerobak sawit yang sangat berat. Rerumputan yang nampak subur dan serangga-serangga kecil membuat sekujur badanku gatal. Aku heran pada ayah, walaupun keringat mengalir di sekujur badannya, tapi dia terlihat begitu nyaman di tempat yang menyebalkan itu.
Dari semua yang aku rasakan ketika membantu ayah di kebun sawit, aku mulai berfikir bahwa aku tidak cocok berdiri di sebuah perkebunan. Aku mulai bercita-cita lebih tingga dari pada apa yang ayah kerjakan. Aku tak mau seperti ayah yang setiap hari bermandi keringat mendorong gerobak sawit. Aku ingin lebih dari itu.
#terimakasih
Bab selanjutnya akan segera dipublish
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
General FictionTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...