"Pin! Bangun." Teriak ibuku membangunkanku. Aku mendengar teriakannya. Tapi badanku berat untuk beranjak dari kasur lantai yang semakin menipis.
Suara adzan subuh terdengar samar di telingaku. Kupaksakan diriku untuk keluar dari petualanganku di pulau kapuk. Kedua Mataku masih tertutup oleh kelopak mata. Kubuka kedua mataku secara perlahan-lahan hingga terlihat secara remang-remang benda-benda di sekitarku. Aku mencoba mengucek kedua mataku hingga terlihat secara jelas benda-benda di sekitarku. Terlihat juga dua gelas susu sereal berbaris rapi mengeluarkan uap panas dari dalamnya. Dua gelas susu sereal itu menatapku seakan-akan mengharapkanku agar aku segera meminumnya.
Setiap pagi, aku memang selalu sarapan dengan susu sereal. Ibuku selalu membuatkan untukku dan adikku. Itu memang sudah menjadi kebiasaanku sejak TK. Bagiku, pagi hari tanpa susu sereal seperti kondisi 55 tapi semangatnya 5. Yah begitulah.
"Ayo mandi Pin! Airnya udah siap." Pada waktu-waktu tertentu memang ibuku akan berubah menjadi lebih cerewet.
"Iya bu," balasku.
Aku segera berjalan semboyongan menuju kamar mandi berukuran 2x2 M. Lalu masuk ke dalamnya dan menutup pintunya. Aku mandi dengan air yang yang berada di bak kecil. Ukurannya tidak lebih dari dua qullah atau bahkan kurang. Sedangkan krannya tidak mengalir karena hanya dialirkan 2 hari dalam seminggu. Aku pun mandi dengan air seadanya. Jika saat itu aku sudah tau perihal tentang hukum agama islam, aku pasti akan protes kepada siapapun termasuk ibuku. Sudah pasti air itu makruh untuk ku pakai, dan tidak akan mensucikan jika digunakan untuk membersihkan hadas. Tapi inilah fasilitas yang sudah disediakan PT. Kami hanya bisa menggunakannya tanpa bisa memprotes. Jika pun bawahan seperti orang tuaku protes kepada atasan, mereka tak akan menanggapinya, apalagi hanya masalah bak mandi.
Saat aku mandi, biasanya ibu dan ayahku sedang apel pagi untuk mendengarkan pembagian kerja yang akan dilakukan di hari itu. Sedangkan adikku mungkin masih tertidur atau sedang menikmati segelas energen. Untuk persiapan sekolahku sendiri, sudah kupersiapkan sejak sore hari. Ibu juga pasti sudah memasukan bekal makanan ke dalam tasku. Seperti biasa, setelah perlengkapan sekolah sudah siap, aku pun segara berangkat menuju tempat penungguan truk angkutan bersama Eby dan lainnya.
***
"Arham! Temani yuk." Perintahku sambil memegangi perutku. Aku benar-benar mules saat itu.
"Kemana?" Tanya Arham.
"WC, ayo cepet." Aku menarik lengan Arham sambil terus menahan rasa mulesku yang sudah berada di ujung maut.
Kami berlari keluar dari kelas. Saat itu kelas sedang tidak diajar karena gurunya sedang pergi. Aku dan Arham pergi menuju WC yang berada belakang sekolah. Namun saat kami berdua tiba di tempat, bak dalam WC tersebut tidak terisi air.
WC di SD Long Jenew memang begitu mengenaskan. Bak WC.nya hanya terbuat dari belahan bekas drum oli. Sedangka penghalangnya masih terbuat dari kayu. Suasana dalamnya begitu gelap. Banyak cerita horror tentang WC itu, dari cerita kemunculan tangan buntung hingga kepala buntung.
Karena tak ada air dalam WC, dengan terpaksa kami harus menimba air dari sumur yang terletak di depan WC. Sumur yang konon katanya pernah memakan korban tersebut begitu ngeri aku lihat. Tepian sumur terlihat licin sedangkan di sisi-sisinya juga tak ada penghalang. Aku sendiri tidak tau berapa dalam sumur tersebut, namun ku pastikan dalamnya lebih dari 6 meter. Pantaslah jika sumur itu bisa memakan korban.
Arham segera mengambil ember yang sudah dikaitkan dengan tambang dan katrol. Sedangkan aku masih menahan rasa mules yang luar biasa rasanya. Rasanya sudah berada di ujung lubang terluar. Arham melemparkan ember tersebut ke dalam sumur untuk mengambil airnya. Namun percobaan pertama gagal. Dia mencoba lagi yang kedua. Namun tidak berhasil juga. Aku kira Arham memang tidak pernah menimba air dari sumur.
"Kita cari lebung aja." Aku berlari mencari lebung terdekat untuk mengobati rasa mulesku. Sedangkan Arham mengikutiku dari belakang.
Lebung sendiri adalah sungai kecil dengan dasar tanah atau lumpur. Sungai seperti ini sangatlah banyak di Pulau Kalimantan.
"Apa kamu tau lebung terdekat?" Tanyaku kepada Arham sambil terus berjalam mencari lebung dan menahan mules.
"Sepertinya disana." Jawabnya.
"Aduh! Kenapa nggak dari tadi." Aku kesal sebab rasa mulesku tidak bisa diajak bertoleransi.
"Aku kira kamu lebih tau, jadi aku ngikutin aja."
"Ya udah yuk cepet."
Arham berjalan menuju tempat lebung yang dituju. Aku mengikuti Arham dari belakang. Aku mengambil sebuah batu untuk ku wadahi di saku celanaku. Konon katanya, itu bisa mengurangi rasa mules.
"Masih jauh?!" Tanyaku sedikit emosi.
"Sebentar lagi."
Aku benar-benar sudah tak tahan lagi. Rasanya tak karuan. Badanku mengeluarkan keringat dingin. Tubuhku juga semakin gemetar. Rasanya sudah hampir keluar. Yah! hampir hampir dan mendakati. "Broottt." Akhirnya keluar di tempat yang salah.
"Suara apa itu?" Tanya Arham melototiku. Langkahnya terhenti.
"Emm anu." Keringat dinginku berkucuran di pipi. Aku menuduk malu.
"Kamu be'ol di celana?"
"Biarkan aku jelaskan di lebung nanti." Ucapku.
Arham menatapku dengan heran.
"Ayo lenjutin cari lebungnya." Ajakku untuk mengalihkan perhatiannya.
Setelah tiba di lebung, aku segera menuntaskan misi mengobati rasa mulesku. Setelah itu, kami berjalan menuju kelas sambil ngobrol tentang hukuman yang mungkin akan diterima kerena keluar tanpa izin. Aku sendiri, saat itu belum pernah mendapatkan hukuman. Dan hari itu adalah yang pertama kali bagiku. Kami dihukum push up 7 kali.
Yah begitulah fasilitas di dalam PT yang berada Muara Wahau (pada tahun 2007). Minimnya fasilitas memang merepotkan banyak pihak. Kadang kami terpaksa melakukan sesuatu yang dilarang agama karena hal itu. Kadang kita melakukan hal konyol dan bodoh karena minimnya fasilitas. Dan terbatasnya fasilitas juga membuat agaknya pengetahuan kami kalah dengan anak-anak kota. Yah tapi mau bagaimana lagi. Sudah ada bangunan sekolah juga kami sudah sangat bersyukur.
#cuapcuapauthor
Terimakasih sudah membaca.
Jangan lupa vote dan sarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
General FictionTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...