Tanah rantauku sungguh tak seasyik dulu. Kini kebanyakan dari temanku hanya menghabiskan waktu dengan menunggangi mesin beroda dua atau sok keren menatap layar benda persegi panjang bernama ponsel. Hampir semua temanku sudah memiliki ponsel pribadi, walau yang membeli adalah orang tuanya. Mulai dari Eby, Agung, Ikhsan, hingga Liana. Mereka rajin sekali membawa ponsel mewahnya ke sekolah. Khusus untuk Liana, ia hanya menggunakannya ketika latihan menari atau sedang menonton MV Kpop. Ikhsan sering menggunakannya saat waktu istirahat untuk bermain game. Sedangkan Eby dan Agung membawa ponselnya agar terlihat keren saja dan dianggap anak gaul.
Kadang aku merasa anak yang kurang beruntung. Aku anak yang tertinggal zaman, tak punya motor, ponsel pun hanya pinjam milik ayah yang hanya berisi game ular tapi lebih menyerupai kecebong. Aku berkali-kali meminta dibelikan ponsel, tapi ibu tak menanggapi. Aku ingin seperti yang lain, tapi apa daya, orang tuaku tak mengerti kemajuan zaman.
Aku merasa sendiri atau justru lebih suka sendiri. Hari-hariku lebih sering menatap taman bunga di halaman barak. Hanya sesekali bermain dengan Wanto dan Ody, other time kembali mengurung di rumah.
****
Suatu hari, ayah membeli motor dengan cicilan perbulan Rp 600.000 selama satu tahun. Aku gembira bukan kepalang. Akhirnya ayah menyadari kalau keluarganya telah tertinggal zaman. Dan sedikit demi sedikit, ayah mulai mengikuti zaman.
Motor yang ayah beli tampak berbeda dari yang lainnya. Ini lebih mirip motor Power Ranger. Tank bensinnya bertengger di bagian paling depan, sedangkan di badannya gemuk melebar dengan sentuhan tulisan yang menonjol 'Kawasaki'. Ini sungguh keren. Aku tak menyangka, ternyata selera ayah tinggi.
Saat itu juga, aku dan ayah langsung jalan-jalan menunggangi motor. Kami berkeliling menjelajahi jalan di area blok-blok perkebunan sawit.
Hanya selang dua hari setelah motor itu dibawa ke rumah kami, ia sudah ngambek tak mau dinyalakan. Motor ini memang bekas orang, tapi bentuk sekeran ini seharusnya tak pantas rusak secepat ini. Apa ini yang namanya tampang luar tak menjamin tampamg dalamnya?
Dengan terpaksa, ayah harus membawa motornya ke bengkel. Minta diganti Oli dan diperbaiki kerusakannya. Tentunya dengan biaya yang tak sedikit.
Beberapa hari setelah motor membaik, aku berlatih menungganginya dengan dipandu Ayah. Aku tak percaya diri, jangankan berlatih menunggangi motor, dulu ketika masih TK menunggangi sepada roda tiga saja tak lihai, apalagi ini yang jelas levelnya sudah max . Tapi aku tak mau dibilang tertinggal zaman. Aku harus bisa.
Pertama kali aku berlatih di lapangan sepakbola. Memutari sudut-sudut lapangan. Lalu mencoba berlatih di jalan besar.
Dua hari aku sudah berlatih untuk menjinakan kuda mesin. Kini sudah mulai terbiasa. Rasa takut dan gerogi juga mulai hilang. Aku sudah mulai tertantang untuk bertindak agrsif. Saat latihan ketiga, aku menarik gas dengan kecepatan tercepatku.
"Pelan saja!" Intonasi Ayah menunjukan kepanikan.
"Tenang yah, aku sudah jago."
Saat asik melaju di lintasan lurus, tiba-tiba kami bertemu dengan tikungan. Aku panik, motor yang kukendarai sulit dijinakan. Rasa panik telah menguasai hingga keseimbanganku tak terkendali. Saat akan menikung, motorku masih melaju cepat hingga posisi yang tadinya tegak kini miring seperti Valentino Rossi yang sedang menikung. Namun aku tak bisa sekeren The Doctor. Kerikil-kerikil yang mengumpul di sepanjang jalan membuat motorku terpeleset, lalu badan motorku bersama ayah dan aku tergesek-gesek oleh permukaan jalan yang penuh kerikil. Aku yang masih panik terus menarik gas tanpa henti hingga roda belakang berputar dengan sangat cepat dalam keadaan rebah.
Beberapa menit kemudian, aku berhasil mengendalikan kepanikan. Aku dan ayah berkapar tak berdaya di tengah jalan dan disaksikan oleh puluhan pohon sawit yang berdiri angkuh tak mau menolong. Aku dan ayah bangkit. Lutut dan sikuku lecet dan berdarah-darah akibat gesekan dengan permukaan jalan. Ayah lebih parah lagi, aku kaget melihatnya. Pipinya lecet dan membengkak. Wajahnya sudah tak menyerupai ayah, mirip seperti karakter Shrek dalam animasi SHREK THE THIRD . Aku syok, hanya bisa berdiri tegang melihat ayah menyeringai kesakitan memegangi pipinya. Aku merasa sangat bersalah. Harusnya aku mengikuti intruksi Ayah. Maafkan aku Ayah.
Keesokan harinya Ayah tak bisa bekerja. Ia izin kerena lutut dan sikunya juga terluka dan kaku. Rasanya linu juga digerakan. Aku merasakannya karena aku juga terluka di bagian yang sama. Aku semakin merasa bersalah.
***
Pada sore yang agak mendung, aku duduk di depan barak mamandangi orang-orang sedang bermain volly. Dibagian kananku yang letaknya hanya 50 meter aku melihat Eby cs hendak berpergian dengan motornya. Aku menatap iri melihat mereka, rasanya ingin sekali bergabung dengan anak-anak gaul itu. Tapi aku harus intropeksi, mungkin belum saatnya aku menjadi anak kekinian.
Renal menoleh ke arahku. Mata kami bertemu. Ia menatap sinis. "Kau mau ikut?" Katanya.
Aku hanya diam. Aku tahu dia sedang mengejekku.
Mereka tertawa di hadapanku. "Kalau kau mau ikut, tunggangi motormu."
"Eh jangan-jangan, nanti jatuh kaya pas itu." Sahut Saddil. Mereka tertawa lagi. Sedangkan setiap tawanya adalah luka bagiku.
"Mana motor kau yang keren itu? Sudah bobrok.?" Katanya lagi sambil tertawa.
Aku memilih diam lalu beranjak dari tempat itu. Meninggalkan mereka yang tertawa puas atas segala celaanya sendiri dan pastinya bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
#Terimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
General FictionTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...