Hari ini adalah hari terakhir aku dan adikku di Dewata. Sebentar lagi mobil travel yang akan membawaku ke Bandar Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman akan datang.
Aku dan Adikku akan pulang bersama Paman Surat yang kebetulan juga akan pulang kampung. Sedangkan ayah dan Ibu akan menyusul 3 bulan kemudian untuk menuntaskan kontraknya di Dewata.
Banyak orang berkumpul di rumahku. Mereka menyalamiku, ada juga yang memberi uang saku. Liana, Ody, Ovi, Wanto, dan Eby juga ada disini. Kami berpelukan. Tak kusangka persahabatan yang sudah hampir 7 tahun akan berakhir sampai di sini. Kami telah melewati masa-masa bahagia hingga waktu harus memisahkan. Aku ingat ketika pertama kali bertemu dengan Eby di TPA, ketika pertama kali melihat Ody yang buruk rupa dan Liana yang cantik luar biasa. Aku masih ingat semua kenangan yang mengesankan.
"Hati-hati pin, jangan lupakan aku," ucap Ody sambil menangis mengusap-usap ingusnya.
"Kita sahabat selamanya, aku tidak akan melupakanmu."
"Pin, Maafkan aku. Aku pernah menyakitimu. Aku sadar, kamu begitu perduli denganku." Ucap Eby.
Aku mengangguk mendengar ucapan Eby seraya mengusap air mata.
Mobil sedan hitam tiba di depan rumahku. Paman Surat sudah berada di dalam.
"Ya sudah aku pergi dulu."
Aku bersalaman dengan ayah dan ibu.
"Hati-hati di jalan sayang." Ibu menangis dan memeluk kami berdua. Berat rasanya berpisah dengan Ibu. Walau hanya 3 bulan, tapi rasanya seperti tak akan melihatnya lagi. Aku pasti akan sangat merindukannya. Sebab sejak kecil, aku dan adikku selalu menempel Ibu. Jadi tak heran jika Ibu menangis ketika kami akan meninggalkannya. Dan aku menangis tatkala bayang-bayang Ibu sudah tak tertangkap oleh pandanganku. Rasanya seperti meninggalkan sesuatu yang sangat berharga.
***
Perjalanan dari Sangatta menuju Samarinda ditempuh selama 7 jam. Jalanan rusak parah. Adikku sampai mual-mual di dalam mobil. Sepertinya sedang ada perbaikan jalan di jalur Sangatta - Samarinda.Sekitar pukul 06.00 kami tiba di Samarinda. Lalu melewati Jembatan Mahakam dengan pemandangan yang sangat indah bak jembatan di tengah segara.
Air sungai Mahakam terlihat hijau kebiruan. Terdapat kapal-kapal melintas di sungai yang sangat lebar tersebut. Sedangkan di tepian sungai terdapat kumpulan gedung dan rumah warga yang beragam membentuk pemandangan yang berwarna. Indah sekali.
Dari Samarinda, kami beristirahat sejenak di salah satu kampung yang ada di kota Samarinda. Suasana di kampung ini sangat sejuk, infraktrukturnya juga sangat maju. Jalanan di setiap gang sudah dipaving. Dan akses internetnya luar biasa stabil. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan di Dewata yang serba kekurangan.
Dari Samarinda, kami bertolak ke Balikpapan menuju Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman (SAMS) Sepinggan Balikpapan. Sekitar pukul 10.00, kami tiba Bandara SAMS. Tempat ini sangat nyaman dengan beragam fasilitas untuk memanjakan pengguna jasa saat menunggu pesawat udara. Di area kedatangan dan keberangkatan, terdapat hiasan dekorasi nuansa Ramadhan yang dapat dijadikan arena swafoto. Ya wajar, kerena ini adalah bulan Ramadhan.
Aku dan lainnya menunggu pesawat Lion Air yang akan menampung kami. Di balik tembok kaca, aku memandangi pesawat-pesawat silih berganti saling mendarat dan mengudara di landasan pacu. Mereka seperti burung-burung merpati yang diperlombakan dalam arena kolongan. Baru kali ini melihat pesawat secara jelas, biasanya hanya memandang jauh dari bawah dan hanya terlihat seperti capung putih terbang di awan-awan.
Di seberang landasan pacu, terbentang lautan dengan kapal-kapal yang saling berpapasan tanpa saling menyapa. Aku jadi ingat ketika aku dan keluargaku hendak ke tanah borneo ini menumpangi kapal raksasa. Kala itu Ibuku tak berani menatap lautan, sedangkan aku justru antusias melihat samudra yang indah. Apalagi saat pagi hari ketika lumba-lumba beriringan mengikuti kapal, itu salah satu hal yang paling menakjubkan dalam hidupku. Ternyata itu sudah 7 tahun yang lalu ketika aku masih berusia 7 tahun. Tak terasa, Kini aku sudah berusia 13 tahun. Dan aku sudah akan kembali ke tanah kelahiran yang sudah 7 tahun tak pernah kulihat lagi, entah sudah seperti apa rupanya.
Sambil menunggu pesawat lion air yang sebegitu lamanya tak kunjung menampung kami. Aku membaca sebuah koran yang memberitakan perhelatan sepakbola terakbar seantero dunia, Piala Dunia 2014. Ah, Aku tertawa dan terheran-heran ketika membacanya. 'Tuan rumah Brazil dibantai 7-1 oleh Jerman'. Ya Tuhan, aku kira Brazil akan juara di perhelatan sepakbola terakbar tahun ini. Aku tertawa, kenapa mereka terbantai 7-1? Jika harus kalah, tak sebegitunya juga. Padahal di era Pele, era Kaka, era Ronaldo, mereka sangat berjaya dan ditakuti negara-negara lain. Ada apa dengan Brazil yang sekarang? Sekali lagi aku tertawa sambil terheran-heran.
Sekitar pukul 18.30 WITA, kami diintruksi petugas untuk segera mesuk ke dalam pesawat melalui Garbarata. Di lorong Garbarata, kami berhimpitan dengan penumpang lain menuju pintu masuk pesawat. Aku agak tegang, sebab ini adalah pertama kalinya aku menumpangi pesawat.
Tiba di ruang pesawat, kami menuju tempat duduk sesuai nomor di tiket pemberangkatan. Aku mulai duduk dan merasakan getaran pesawat. Getaran disebabkan oleh mesin hidup yang semakin menderu. Tepat selangkah di depanku, Dua orang wanita bermake up tebal dan berbaju minim sedang melakulan pengumuman. Beberapa kalimat yang aku dengar dari dua pramugari itu adalah 'Please remain seated', 'Please don't leave your seat', 'Please turn off all personal electronic devices, including laptops and cell phones', dan yang lainnya tidak bisa kutangkap dengan jelas.
Ketika Pesawat take-off aku berusaha untuk tenang. Posisi pesawat miring ke atas dengan kecapatan luar biasa.
Satu jam kemudian, pesawat mulai landing, jika melihat arah bawah, sudah terlihat kerlipan lampu-lampu seperti bintang di sepanjang kota Jogja. Kota Jogja semakin nampak jelas dengan banyaknya kendaraan berlalu lalang.
Badan pesawat miring den memutar. Aku kembali tegang. Kedua mataku kupejamkan. Konon katanya, resiko kecelakaan saat pesawat landing adalah 51%. Namun, alhamdulillah, pesawat dapat mendarat dengan sempurna. Kami tiba di Bandar Udara Internasional Adisutjipto dengan senang hati. Aku telah kembali di Pulau Jawa setelah 7 tahun lamanya bernafas di tanah seberang. Aku sungguh tidak sabar melihat nenek dan sanak saudara lainnya.
Dari kota Jogja, kami langsung menuju Wadaslintang menggunakan travel. Untuk memangkas waktu perjalanan, mobil travel kami menggunakan jalur pintas. Namun bukannya memotong waktu, kami justru memperpanjang waktu. Sebab di jalur pintas tersebut sedang ada perbaikan jalan dan tidak bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan sangat terpaksa, kami harus putar balik dan mencari pintasan lain.
Beberapa jam kemudian sekitar pukul 01.00 WIB, kami tiba di Wadaslintang. Ini benar-benar asing di mataku. Aku sudah lupa dengan objek-objek yang ada di daerah Wadaslintang. Selama 7 tahun lamanya tak pernah melihat tanah kelahiran, ternyata sudah banyak perubahan hingga aku merasa asing berada di tempat ini.
Mobil travel seketika berhenti di depan rumah bertembok dinding dengan cat berwarna cream dan lantai berkaramik corak bunga.
"Apakah kita sudah sampai paman?" ATanyaku.
"Yah, kita sudah sampai di depan rumahmu."
Aku dan Enal keluar dari mobil travel disambut dengan tangisan haru. Wa'-wa'ku, nenekku, dan kakekku merangkul kami.
"Kemana saja kamu Pin," kata Nenek.
Aku masih diam bingung dengan segala situasi. Semuanya masih asing. Di depan rumah bertembok ini, aku hanya bersandar di saka dan memandangi rumah yang megah yang selalu kuimpi-impikan sejak kecil.
"Ayo masuk, ini rumah kalian. Ini adalah hasil dari kerja keras orang tua kalian." kata Wa' Sarti sambil mengusap air matanya.
Inilah yang selalu dikatakan Ibu 'Selama kita mau berusaha, harapan akan selalu ada'. Dan kata-kata Ibu telah terbukti. Rumah bertembok dinding dan berlantai keramik yang selalu kuimpi-impikan sejak kecil telah terwujud berkat usaha kerja kerasa Ibu dan Ayah. Inilah hasil dari jarih payah bermandi keringat. Terimakasih Ibu dan Ayah.
#Terimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
General FictionTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...