04. Tentang Tempat Penitipan Anak

208 22 7
                                    


Hari itu adalah untuk pertama kalinya orang tuaku akan bekerja perkebunan sawit. Oleh karena itu Ibu menitipkan kami di TPA (Tempat Penitipan Anak).

Adikku menangis ketika hendak ditinggalkan ibu bekarja. Mungkin ia kira ibu akan meninggalkannya untuk selamanya. Ibuku terbawa suasana, ia menitikan air mata. Digendongnya adikku, ia seperti tak tega meninggalkan anaknya yang masih berusia 6 tahun.

"Ibu jangan pergi!" Berulang kali adikku mengucapkan kalimat itu sambil menangis.

Ibuku hanya bisa memeluk erat. "Cuman sebentar nak, jangan nangis lagi." Begitu balasan dari Ibu untuk menenangkan adikku.

Hanya tangisan dan kata-kata yang bisa ibu tinggalkan. Apa boleh buat, meski adikku terus menangis, Ibuku harus tetap pergi meninggalkan kami. Lebih baik mendengarkan anaknya menangis dari pada melihat anaknya kelaparan, bukan begitu?

Teganya, justru aku tertawa melihat adikku menangis. Senang rasanya melihat ia menderita. Saat itu, aku dan adikku memang seperti rival bersaudara. Kami tak pernah akur. Apalagi perihal tentang barang. Jika ibuku membeli baju untuk kami dengan warna dan corak yang berbeda, maka kami akan berkelahi merebutkan satu baju yang kami anggap paling menarik. Aku juga suka menjaili adikku hingga membuatnya menangis. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaanku sejak balita. Hingga tetanggaku sering menggunjing tentang kenakalanku terhadap adikku. Aku mendengar mereka menggunjingku, tapi karena aku masih dianggap anak kecil atau memang masih anak kecil, jadi aku pura-pura tak paham. Aku pikir,  aku memanglah kakak yang buruk.

Sebelum meninggalkan ibu meninggalkan kami, ia menitipkan kami di TPA (Tempat Penitipan Anak). Tempat yang berukuran 4x5 meter itu begitu ramai dan bising. Tempat yang berisi puluhan bayi, balita, hingga anak-anak seusiaku serta dua orang pengasuh. Segala jenis tangisan hingga teriakan terdengar gaduh di telingaku. Lama aku berdiam di tempat itu hingga bau pesing pun mulai tercium tajam di hidungku. Belum lagi pengasuh TPA yang sangat berisik mengomeli anak-anak yang juga berisik. Orang itu sangat cerewet. Wajahnya juga sadis parah. Menyebalkan. Aku benar-benar tak nyaman di TPA.

Tak berbeda denganku, Eby teman baruku yang baru ketemui saat pendaftaran sekolah pun merasakan hal yang sama denganku. Bahkan ia mengajakku untuk melarikan diri dari TPA melalui jendela yang belum berkaca dan tidak dipagari dengan apapun. Dengan keadaan yang memang sangat tidak nyaman bagiku, aku pun menyetujui bujukan Eby. Kami berlari cepat menuju jendela yang tak berkaca dan lubangnya cukup muat untuk ukuran badan kami.

"Hai!! Apa yang kalian lakukan?" seru pengasuh berwajah sadis ketika melihat aku dan Eby meraih bagian bawah jendela.

Aku tak pedulikan omelan ibu berwajah sadis itu. Aku dan Eby segera keluar dari ruang TPA secepatnya. Sedangkan seorang pangasuh mencoba meraihku. Namun aku dan Eby berhasil keluar.

"Awas kalian!! Aku adu nanti sama emak kalian!" Ancam sang pengasuh TPA. Ia begitu cerewet dan nampak galak dilihat dari raut wajahnya.

***

Suatu hari, aku mendengar percakapan antara Ovi dan Silfi. Mereka bilang ibu TPA cerewet telah bertransformasi menjadi Ibu TPA yang lemah lembut. Katanya, Ibu TPA suka menceritakan dongeng hingga anak-anak TPA tertidur lelap. Mereka juga bilang, TPA kini sudah tidak seperti neraka yang berbau pesing. Kini sudah berubah menjadi rumah dongeng.

"Jadi benar ibu TPA cerewet itu kini susah lemah lembut?" aku bertanya penasaran.

"Sejak kapan kamu menguping percakapan kami?" Ovi malah bertanya balik.

"Emm maaf, aku hanya nggak sengaja dengar percakapan kalian. Tapi apa yang kalian katakan benar?."

"Bukan bertransformasi Ipin.. tapi udah diganti!" bentak Silfi.

SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang