42. Budaya Yang Keliru Di Sekolah

60 9 0
                                    

Hasil UN kami tak memuaskan. Walau Aku mendapat nilai rata-rata tertinggi diantara teman-temanku, tapi tetap saja tak puas karena rata-ratanya hanya 7,8. Tapi aku memaklumi itu, kami memang tak bisa menyiapkan UN secara maksimal. Tak seperti sekolah-sekolah di kota dan desa yang jauh-jauh hari menyiapkannya secara matang dengan fasilitas lengkap. Sedangkan kami tak ada les, tak ada buku yang merangkum materi UN. Kami hanya mengandalkan kemandirian kami dan kinerja para guru yang sukerela mau mengajar di luar jam pelajaran tanpa upah.

Namun kami sangat bersyukur karena semuanya lulus. Kami bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Syukur Alhamdulillah, hampir dari kami dipastikan akan melanjutkan ke SMP sederajat. Namun Ody mengatakan bahwa dirinya akan berhenti satu tahun sebelum melanjutkan pendidikannya. Katanya, ia merasa jenuh dengan mata pelajaran yang selalu membuatnya pening kepala. Aku paham, ia sedang sangat bersedih karena nilai rata-rata UN.nya adalah yang terendah di kelas. Bahkan ia mencurahkan isi hatinya serta pemikirannya tentang selama ia berjuang untuk mendapat nilai baik di kelas.

"Aku jenuh dengan mata pelajaran," kata Ody. "Aku merasa tak ada perkembangan berarti pada otakku. Aku masih bodoh, aku tak berubah menjadi pintar. Selama ini aku sudah belajar semaksimal mungkin, tapi nilaiku tetap jelek. aku berfikir bahwa sekolah itu hanya mencerdaskan anak-anak yang otaknya memang cerdas sepertimu, sedangkan anak-anak bodoh sepertiku tetaplah bodoh," curhatnya kepadaku ketika aku bermain ke rumahnya.

"Oleh karena itu, aku akan fakum dari sekolah untuk mempertimbangkan, apakah aku masih perlu sekolah atau tidak," lanjut Ody. "Rasanya, aku ingin sekali mendapat pujian dari guru dan orangtuaku, tapi mustahil."

"Mungkin memang sekolah bukan tempat yang cocok untukmu, kamu harus cari tahu kemampuanmu. Lalu kembangkan. Belajar tidak hanya di sekolah, dimana saja bisa," kataku. "Yang penting kita mau belajar dan berusaha. Kalau kamu bisa menemukan bakatmu lalu sukses, kamu akan dipuji orangtuamu," lanjutku menyemangatinya.

Aku paham dengan pemikiran Ody. Selama ini aku juga berfikir, bahwa orang cerdas bukan lantas karena ia bersekolah tapi karena ia memang berbakat dalam bidangnya. Misalnya ia bakat dalam bidang kedokteran, maka pasti ia akan cerdas dalam bidang kedokteran. Atau orang yang bakat dalam olahraga, maka ia akan cerdas dalam bidang olahraga. Dan aku percaya setiap orang punya kemampuan dan kekurangan. Hanya saja, di kasus Ody, ia memang belum menemukan kemampuan dirinya dan mata pelajaran sekolah bukanlah bakatnya.

Nahasnya, jika kuperhatikan, kebanyakam guru berlaku tak adil kepada muridnya. Dimana guru lebih banyak memberikan perhatian hanya kepada murid yang pintar saja. Bahkan tidak sedikit guru yang hanya menerangkan dan memberikan penjelasan, terfokus kepada salah satu murid yang dianggap pintar saja. Sedangkan murid yang tidak begitu pintar dibiarkan saja. Mungkin bagi sebagian guru itu bisa memuaskan dirinya, sebab apa yang ia berikan kepada muridnya bisa diterima oleh murid yang terbilang berbakat dalam mata pelajaran sekolah. Namun tidak bagi murid yang tak berbakat dalam mata pelajaran sekolah. Murid yang tidak begitu pintar dalam mata pelajaran sekolah tentu sangat merugikan dirinya. Sebab hak diajari merupakan hak setiap murid, baik itu murid pintar maupun murid bodoh.

Satu lagi budaya yang keliru yang sering kulihat di sekolah. Kulihat, kebanyakan guru hanya mengukur kepintaran muridnya hanya dari kemampuan berhitung saja. Artinya mereka yang pandai berhitung dianggap lebih pintar dibandingkan dengan mereka yang pintar menggambar, pintar menulis, atau pintar berolahraga. Padahal itu tak adil menurutku, seharusnya setiap kemampuan seorang murid harus diapresiasi secara merata. Karena hal itu bisa memberi semangat muridnya untuk terus berkembang. Tapi faktanya tidak, setiap murid pasti dianjurkan untuk pintar berhitung. Hasilnya, murid yang tak bakat dalam berhitung harus merasakan frustasi dan jenuh bahkan malah tidak membuat mereka cerdas.

Aku merasa harus ada pembenahan dalam budaya sekolah di Indonesia. Harusnya kami sebagai murid dibebaskan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan kami. Dengan begitu, banyak murid yang akan menikmati masa-masa pendidikannya dan bakatnya juga semakin berkembang. Bukan malah jadi malas bersekolah karena gurunya yang terus menganjurkan anak muridnya mengikuti pola pikirannya.
Berhitung! Berhitung! Dan bethitung!

#TErimakasih

SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang