Kau tau apa yang kami rasakan saat itu? Lapar, lemas, bosan, seperti orang puasa yang sedang menunggu adzan meghrib berkumandang. Truk angkutan kami benar-benar telah mengkhianati kami bahkan waktu itu sendiri. Sudah 3 jam lamanya kami menunggu, dia belum juga menampakkan kepalanya. Bahkan perut kami sudah berkeroncong memberikan kode lapar, dan truk itu belum juga muncul. Hingga jarum jam pendek telah menunjuk angka 4. Tak ada tanda-tanda kedatangannya.
Begitu laparnya, beberapa anak mencari-cari biji kelapa sawit yang masih muda. Lalu mengambil bagian dalamnya yang berwarna putih. Di bagian itulah yang mereka makan. Aku sendiri pernah mencobanya, rasanya seperti kelapa muda, tapi sedikit hambar.
Kami benar-benar lapar. Sedangkan uang saku kami sudah habis sejak siang tadi. Di tambah lagi hujan deras mengguyur area sekolah secara tiba-tiba. Membuat keadaan kami semakin menderita. Hingga aku lihat, ada yang tertidur lelap di emperan rumah orang karena terlalu lemas dan lapar menunggu truk angkutan tiba. Sedangkan Eby dan beberapa anak lainnya justru bermain air hujan. Aku kira tubuhnya sudah begitu kebal hingga dinginnya air hujan pun belum bisa membuatnya diam.
Beberapa orang penghuni afdeling itu bersimpati kepada kami. Mereka memberikan kami sepiring biskuit yang kemudian dibagikan kepada kami satu persatu. Walaupun hanya mendapatkan satu biskuit, setidaknya ini bisa mengganjal perut kami dan sedikitnya menambah energi kami.
Saat itu aku menebak-nebak kenapa truk angkutan kami tidak lekas muncul lalu menbawa kami pulang dari area sekolah. Mungkin karena faktor hujan yang membuat truk terjebak di lumpur, atau karena supirnya yang takut hujan. Tapi saat kami dalam keadaan seperti ini, bukan hujan yang kami salahkan, tapi truk itu sendiri.
"Sebenarnya apa yang sedang supir itu lakukan?" bincangku bersama Ovi.
"Entah."
"Coba lihat jam tanganmu, sudah jam berapa?"
"Jam lima."
"jarum jam pendek sudah menunjuk angka 5? OMG! Aku kira itu adalah rekor molor yang pernah dilakukan truk angkutan kami," seruku, semakin lama tinggal di Kaltim, logat jawaku semakin hilang, aku lebih sering menggunakan bahasa indonesia untuk berkomunikasi dengan teman-teman, dan lebih condong mengikuti logat orang Kutai.
Guru-guru yang tinggal di area sekolah ternyata bersimpati kepada kami. Mereka diam-diam memasakan mie instan untuk kami. Bu Susan lah yang memanggil kami ke sebuah kelas dan membagikan kami masing-masing sepiring mie instan untuk mengobati rasa lapar. kami langsung menyantapnya dengan lahap. Beberapa dari kita seperti sedang berlomba makan. Dan si gendut Gisan menjadi yang pertama kali menghabiskan santapannya.
Kami sangat berterimakasih kepada guru-guru yang sudah rela menyisihkan waktunya memasakan mie instan untuk kami. Jika tidak dengan bantuan mereka, mungkin kami akan kekurangan nutrisi yang berdampak pada proses metabolisme. Selain itu, menahan lapar dalam jangka waktu lama juga berdampak pada fisiologis, emosional dan fungsi kognitif. Kami akan merasa kelelahan, pusing, mengantuk, rambut rontok serta kulit menjadi cepat kering. Itulah yang mungkin bisa terjadi kepada kami jika guru-guru tidak membuatkan mie instan untuk kami.
Hujan akhirnya sedikit reda. Beberapa menit kemudian, terdengar auman mobil. Itu bukan suara truk tapi suara mobil estrada. Kami beranjak dari tempat duduk dan menyalami guru-guru yang ada di situ, lalu keluar dari kelas untuk melihat mobil estrada yang baru saja mengaum. Barangkali mobil tersebut bermaksud untuk membawa pulang kami dari sekolah.
Kami melihat ada dua mobil estrada berjejer di halaman afdeling . Kami kenal betul, itu adalah dua mobil estrada milik PT Dewata Sejahtera. Aku yakin itulah jemputan kami.
Seorang pengemudi dari mobil itu memberikan kode kepada kemi dengan tangannya untuk segera menaiki mobilnya. Kami semua berlari dengan hati gembira, walaupun segelintir kekecewaan masih kami rasakan karena harus pulang sesore ini.
Kami semua menaiki bak mobil estrada yang berukuran kurang lebih 2m x 1,5 m. Dua estrada tersebut menampung kami dengan bagian yang sama. Masing terdiri dari 15 anak. Hal itu membuat kami harus bedesak-desakan hingga kaki kami tak bisa digerakan. Aku sendiri berada estrada berwarna hitam. Sedangkan beberapa anak lainnya berada di estrada berwarna silver.
Kami masih bersukur karena hujan tak turun membasahi bumi lagi. Walaupun keadaannya begitu dingin dan gelap mencekam. Semua yang kami lihat hanyalah kegelapan dan juga pohon-pohon sawit yang hanya nampak hitam karena kurangnya penyinaran bulan. Tak ada satupun kenderaan yang melintas di jalan itu kecuali dua mobil estrada yang menampung kami. Saat pengemudi mengurangi gas, suara-suara serangga pun mulai terdengar hingga suara adzan terdengar samar di telinga. Dan kami masih di dalam bak estrada. Untuk melaksanakan kewajiban agama pun tak terfikir di benak kami. Yang kami fikikirlan hanyalah cepat tiba di rumah, mandi, makan, mengerjakan PR jika ada waktu, lalu bermimpi indah.
Di tengah jalan yang begitu gelap mencekam, mobil estrada berwarna silver mengenai lumpur jalan bekas hujan siang tadi. Mobil itu terjebak lumpur dan mengaum keras untuk meloloskan diri. Suasana pun semakin mencekam. Dengan terpaksa kami harus turun dari mobil di tengah hutan sawit yang sudah dinaungi kegelapan. Bahkan suara jangkrik membuat kesan lebih mencekam dan membuat bulu kuduku berdiri.
Mobil estrada hitam berusaha membantu estrada silver keluar dari jebakan lumpur. Dia menariknya dengan seling yang sudah saling dikaitkan.
Hatiku menjadi harap-harap cemas. Aku fikir ibu dan ayah sedang mencemaskanku di rumah.
Imajinasiku mulai menjurus kepada hal-hal horror. Tunggak kayu yang hanya berdiri diam pun takut untukku tatap. Aku membayangkan di situ ada mahluk halus yang sedang mengintai kami. Bahkan temanku sendiri yang terlihat samar-samar pun aku takuti. Bisa saja dia mahluk halus yabg sedang menjelma manjadi temanku.
Sebenarnya apa yang sedang kami lakukan? Kenapa kami harus berada di tempat gelap ini? Mau pulang sekolahkah atau jerit malam? Atau manjadi pemburi hantu? Pertanyaan itu sempat terselip di benakku.
Beberapa menit kemudian, kami lega. Akhirnya mobil estrada silver berhasil meloloskan diri dari jebakan lumpur. Kami benar-benar bisa tersenyum kembali bak narapidana yang baru saja keluar dari penjara. Semoga saja tak ada lagi lumpur gila lagi.
Kami melanjutkan perjalan menuju rumah kembali. Hari semakin malam. Jarum jam panjang sudah menunjuk angka 7. Hingga suasana pun semakin gelap. Bahkan bintang yang biasanya terlihat bergerombol, tak terlihat satu pun dari mereka. Ditambah lagi angin malam yang menusuk hingga ke dalam sumsum tulang membuat kami kedinginan dan harus melipatkan tangan di dada.
Sekitar pukul 8 malam, aku dan teman-teman lainnya tiba di halaman afdeling. Ibuku sudah menyambutku di depan rumah dengan ekspresi cemas. Bahkan saat aku baru menampakkan kaki di tanah, ia langsung merangkulku. Lalu menantingku menuju rumah.
"Mandilah, ibu sudah menyiapkan air hangat untukmu. Kau mau makan apa? Biar ibu buatkan," ucap ibuku. Ibu tau aku sedang sangat kelelahan.
Terimakasih sudah membaca
Jangan lupa vote
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
General FictionTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...