30. Kehidupan Modern dan Pergaulan Bebas

43 9 2
                                    

Kehidupan manusia semakin terbantu oleh teknologi, setiap tahunnya semakin modern dan canggih. Kufikir akan ada perubahan kehidupan dan juga perubahan pada dunia. Bahkan bisa kubayangkan, jika di masa depan nanti akan ada banyak sekali robot yang bersosialisasi dengan manusia. Mereka bisa saja menggeser posisi manusia sebagai mahluk tercerdas di seluruh alam semesta.

Dulu nenek moyang kita harus menempuh jarak ratusan kilo dalam waktu berhari-hari untuk tiba di perkotaan, kini kita hanya butuh hitungan jam saja. Bahkan dengan pesawat antariksa tercepat, kita hanya butuh waktu 39 hari untuk tiba di Planet Mars ketika keduanta berada di titik terdekat, atau hanya butuh waktu 289 hari saat kedua planet berada di titik terjauh. Padahal Rata-rata jarak antara Bumi dan Mars adalah 225 juta kilometer. Sedangkan Kecepatan berjalan seorang manusia rata-rata sekira 0.5 km/jam. Maka, untuk tiba di Mars kita mumbutuhkan kurang lebih 18.750.00 hari dengan berjalan kaki. Bisa dibayangkan, betapa pesatnya kemajuan teknologi yang semakin memanjakan manusia.

Tak berbeda dengan lingkungan afdeling 11. Jika dulu orang-orang masih berjalan kaki untuk menuju lahan perkebunan sawit, kini kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai menghilang. Banyak orang yang sudah mempunyai sepeda motor. Mereka sudah menggunakan sepeda motor kemanapun perginya. Bahkan yang jaraknya hanya 100 langkah saja wajib menggunakan sepeda motor. Seakan-akan mereka tak mempunyai kaki, atau lupa bahwa kaki gunanya untuk berjalan.

Yang lebih mengejutkan lagi, anak di bawah umur sepertiku sudah sliwar-sliwer menggunakan motor. Teman-temanku seperti Eby, Syahrul, Renal, Saddil dan lainnya sudah biasa bermain freestyle motor. Mereka tak segan membuat gaduh dengan knalpot bobokannya, Melompat kesani kemari dengan motornya, hingga beradu kecepatan di trek lurus. Mereka sudah lupa asyiknya bermain gobak sodor, petak umpet, lompat tali, bahkan ciblon di lebung.

Mungkin sebab itu mereka jadi jarang bermain denganku. Mereka seperti mengasingkanku. Aku merasa dianggap anak balita oleh mereka. Sikap Eby kepadaku sudah berubah. Ia lebih banyak bermain dengan anak dewasa. Kusadari, Eby memang segalanya lebih jago dariku. Dia jago Volly, aku tidak, dia pintar bergaul, aku tidak, dia pintar mengendarai motor, aku tidak, dia ahli menangkap ikan, aku tidak. Segalanya yang kuinginkan selalu diungguli Eby, kecuali di bidang mata pelajaran.

Aku memang membenci Eby karena sifatnya yang suka mengejek. Namun aku juga merasa sedih dengan sikapnya saat ini. Ya, kupikir memang Eby sudah sangat berbeda. Dulu dia sangat antusias mengajakku menangkap ikan di lebung. Kini, mengajakku bermain pun tidak.

Walau begitu, sesekali kami masih mau berbincang-bincang di atas menara tandon. Sambil cengengesan menikmati angin spoi-spoi yang silir menyentuh permukaan kulit, menyaksikan lambaian dedaunan pohon pisang di belakang barak.

Eby bertanya. "Apa cita-citamu?" Sambil memejamkan mata menikmati aliran angin yang menyentuh wajahnya. Diantara jari-jari tangan kanannya diselipkan sebatang rokok lalu mulutnya mengepulkan asap rokoknya.

"Aku ingin menjadi seorang kiper," jawabku. "Tapi saat aku TK, aku ingin menjadi penyanyi. Entahlah, cita-citaku selalu berubah-ubah seiring bertambahnya waktu. Kalau kamu cita-citanya apa?"

"Aku punya tiga cita-cita," jawabnya. Lalu rokoknya ia hisap dan menghembuskan asapnya dari mulut dan lubang hidung.

"Apa itu?"

"Pertama Pembalap, kedua pemain sepakbola, dan ketiga Tentara."

"Kamu berbakat menjadi pembalap," kataku, menengok kearahnya. Asap rokok sedikit mengganggu pernapasanku.

"Ya, aku juga merasa seperti itu."

"Belakangan ini kamu sibuk sekali dengan motormu, kamu kemana saja?" Aku mulai penasaran dengan apa yang dilakukan Eby dan lainnya.

SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang