Sejak ayah bekerja sebagai petani sawit, ia berubah menjadi orang yang lebih sensitif. Setiap pulang dari kerja, segala perabotan yang berada di dalam dapur ia banting-banting tanpa ampun. Kuhitung 2 lusin gelas telah ludes dibantingnya.
"Pekerjaan apa ini!" Itulah kata-kata yang sering kudengar ketika ayah pulang dari kerja.
"Banting saja semuanya!" Ibuku sudah cukup sabar menghadapi sikap ayah. Ia sadar Merantau memang bukan kemauan ayah. Ini semua adalah ajakannya, dan ia sangat memahami apa yang dirasakan seorang karyawan sepatu yang harus menyesuaikan diri menjadi petani sawit, bukan hal yang mudah. Tapi ibu juga tak bisa disalahkan, ekonomi keluarga kami harus bangkit dari keterpurukan sebelum kemelaratan menimpa. dan itulah sebabnya ibu mengajak ayah merantau. Jika terus menerus berada di jawa, bukan tak mungkin kita bisa mati kelaparan.
***
Hari itu begitu panas. Aku dan lainnya masih berada di dalam truk menuju rumah masing-masing. Entah kenapa, saat itu hatiku gelisah. Ada sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak. Di tambah lagi rasa lapar karena seharian di sekolah tak berjajan sebab uang sakuku tertinggal di rumah.
Sekitar pukul 14.00 aku, Eby, dan anak-anak afdeling 11 lainnya tiba di halaman rumah. Aku segera berlari menuju rumah. Aku tak sabar melahap sepiring nasi sebab rasa lapar telah melanda sejak pagi. Ketika aku mendorong pintu rumah, pintu itu tak bisa terbuka. Sepertinya ibu mengunci dari dalam pikirku saat itu. Lalu aku beranjak menuju belakang rumah. Barangkali, pintu belakang bisa di buka dan aku bisa mengobati lapar. Aku terkejut. Saat aku tiba di tempat, kudapati ibuku sedang duduk menangis dengan adikku yang sedang duduk di sebelahnya.
"Bu, kenapa?" Ku tanya dengan penuh heran. Tak biasa kutemui dirinya sedang menangis.
Ibu memelukku. Lalu menggebrak-gebrak pintu belakang. "Hai, buka.. anakmu mau masuk!"
Aku belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Tapi hatiku semakin bergemuruh tak tenang. Lalu dimana ayah? Apakah yang di dalam itu ayahku?
"Ibu, aku lapar," ucapku sambil terus mengelus-elus bagian perut.
Ibu menghela nafas lalu menarik tanganku serta adikku. Ia menuntunku menuju bagian depan rumah. Saat tiba di tempat, ia berusaha mendorong pintu depan. Pintu itu tak terkunci, namun seperti ada yang menahannya.
Ibu mendorong-dorong pintu dengan sisa energinya, sedangkan aku tahu bahwa separuh energinya telah ia gunakan untuk mengais rejeki siang tadi. "Buka, anakmu ingin masuk!" ucapnya kepada ayah yang berada di dalam rumah. Air matanya masih mengalir perlahan, sedangkan suaranya berubah menjadi serak.
Aku membantu ibu mendorong pintu itu. Lalu sedikit demi sedikit pintu itu terbuka, walaupun ayahku masih berusaha manahannya. Terjadilah aksi dorong mendorong pintu antara ayah melawan ibu+aku. Para tetangga yang melihat aksi itu bersorak-sorak seperti sedang menyaksikan pertandingan tarik tambang. Namun ayah dan ibuku seperti tak menghiraukan, mereka masih meneruskan aksi dorong mendorong pintu seperti dua anak kecil yang sedang bertengkar.
Atas bantuanku dan adikku, akhirnya kami berhasil mesuk ke dalam rumah. Namun keadaan semakin memburuk. Sebab hal itu membuat percecokan ayah dan ibukku semakin ganas. Mereka berdua terus beradu mulut. Hingga permainan tangan keduanya tak bisa dilerai. Beberapa gelas juga berhasil dipecahkan oleh ayahku. Saat itu benar-benar kacau.
Ini tidak ada kaitannya dengan ayah yang membanting berlusin-lusin gelas saat pulang kerja. Aku tak tahu apa penyebab kedua orang tuaku bertengkar, walaupun pada akhirnya aku tahu bahwa ayah mengalami depresi akibat sulit beradaptasi terhadap pekerjaan barunya.
Aku sebagai anaknya hanya bisa memendam rasa sedih dan marah. Setiap hari harus mendengar adu mulut yang tak pernah surut. Kadang aku hanya menangis dalam gelap sambil menutupi kedua telingaku kerena gerah, pengap, dan bosan dengan kadua orang tuaku yang selalu berdebat dan tak ada yang mau mengalah.
Saat itu umurku sudah 8 tahun, aku pun tau broken home adalah faktor utama bercerainya seorang suami istri. Sebab beberapa kata 'cerai' juga sering mereka lontarkan saat beradu mulut. Hal itu pun memancingku untuk bertindak.
"Apakah ayah dan Ibu akan berpisah?" tanyaku ketika menemui mereka berdua sedang beradu mulut.
Mereka berdua berhenti berdebat. Lalu memandangiku penuh makna yang tak bisa kuterjemahkan.
"Lihat, anakmu sudah besar, nggak malu sama anak sendiri?" cetus ibuku memandang ganas ayahku yang juga menatapnya dengan penuh kebencian.
"Kamu yang nggak tau malu!" ayah melawan tak mau kalah
Mereka kembali berdebat, sedangkan pertanyaanku justru tak dijawab oleh siapapun. Aku hanya mengelus dada. Rasanya sesak dan pedih. Sampai kapan akan seperti ini terus?
Pagi harinya setelah ibu dan ayahku beraksi, Eby bertanya tentang apa penyebab orang tuaku broken home. Lalu aku menjawab 'tidak tahu'.
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa vote
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
Genel KurguTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...