09. Eby

93 17 2
                                    

Jika saat itu kalian bertanya, 'siapakah teman terdekatmu selain Arham?' Maka, aku akan menajawab 'Eby'. Lalu jika kalian bertanya lagi, 'siapakah teman paling menyebalkan?' Maka, aku akan menjawab 'Eby'. Dan terakhir, jika kalian bertanya lagi padaku, 'apa kau membencinya?' Maka, aku akan menjawab 'iya'.

Eby adalah teman terdekatku selain Arham. Mungkin kedekatan kami disebabkan oleh faktor usia yang memang hanya beda satu tahun, aku lebih tau darinya. Selain itu, faktor lain yaitu karena tempat tinggal tempat tinggal berada dalam satu lokasi.

Eby adalah orang yang sangat menyebalkan di mataku. Meskipun, aku tak pernah mengatakan perasaanku kepadanya sebab aku takut dia tersinggung dan mengeluarkan hinaan tajamnya serta membantingku dengan badan yang sedikit lebih berisi dariku.

100 kali dia telah menceritakan tentang rumahnya di kampung halamannya yang berlantai dua. Lalu menceritakan tentang kekayaannya yang terkesan menyombongkan diri. Saat dia terus mengoceh, maka aku hanya akan menjawab "iya" atau "oh ya". Aku fikir, jika memang dia kaya, lalu kenapa orang tuanya pergi merantau?

Masalah ejek-menejek Eby jagonya. Bahkan jika kalian berdebat dengannya, itu hanya menghabiskan tenaga karena kalian pasti kalah berdebat. Jika dia sudah kehabisan kata-kata, dia akan keluar dari topik debat lalu melontarkan kata menyakitkan. Dia mempunyai 1000 cara untuk memenangkan perdebatan walaupun dengan cara yang tak masuk akal. Dia selalu mengakhiri debat dengan ejekan atau hinaan yang akan menusuk tajam di hati. Ada sebuah kutipan mengatakan, 'jangan berdebat dengan orang bodoh, karena akan kamu akan kalah dan terlihat bodoh'. Mungkin itulah yang dirasakan jika berdebat dengan Eby. Oleh kerena itu, jika ada unek-unek di hatiku tentangnya, aku tak akan menyampaikannya. Karena pasti dia akan menanggapi dengan emosi. Tidak hanya ejek mengejek, dia juga sangat jahil dan dan tidak bisa diam.

Jika ada masalah yang sedang memanas, Eby adalah orang yang paling berpengaruh jika kerusuhan terjadi. Contohnya saja ketika Ovi teman sekelasnya dituduh mencuri uang TPA, dialah orang yang paling semangat menggebrak pintu rumahnya lalu berteriak "keluar kau pencuri!".

Satu hal yang aku ingat tentang perlakuannya kepadaku adalah ketika kelas 1 SD. Dia mendorongku dengan sengaja hingga aku terpental saat bermain bola di sekolah. Aku menahan sakit akibatnya. Sedangkan dengan entengnya Eby berkata sambil cengar-cengir "maaf nggak sengaja, hhhe."

Aku emosi, lalu mengejarnya dan menendang kakinya saat ia sedang menggocek bola. Ia emosi dan melontarkan kata yang tidak mengenakan di hati. "Anjing, kalau berani ayo berkelahi!" Begitulah kata-kata pedas yang ia lontarkan kepadaku. Untuk memulihkan suasana, aku pun meminta maaf padanya. Meskipun bukan sepenuhnya aku yang salah, tapi setidaknya dengan meminta maaf, hatiku akan lebih tenang. Walaupun di kemudian hari beberapa hinaan masih ia lontarkan kepadaku.

Eby adalah tipe orang yang tak mau egois. Ketika timnya tertinggal gol saat bermain bola, dia tak akan mau memberhentikan pertandingannya sebelum timnya menyamakan gol, sekalipun menit bermainnya sudah habis dan lawannya sudah begitu lalah. Jika lawan tetap berhenti bermain, maka ia akan mengucapkan "dasar pengecut." Lalu ketika timnya menang besar, dengan enaknya dia membubarkan pertandingan.

Satu kejadian yang tak pernah aku lupa tentang Eby adalah saat ia membocorkan kepala anak puhus. Kejadian itu bermula saat kami kelas 1 SD. Saat itu kami sedang bermain di samping bak truk angkutan sambil menunggu kelas 6 keluar dari kelas. Tiba seseorang mencambuk kepala Eby dengan karet ban yang sudah diiris panjang-panjang.

"Hai siapa itu?!" teriak Eby sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit akibat terkena jepretan.

Dua orang terlihat berlari menjauhi Eby. Eby mengejarnya, lalu aku juga ikut mengejarnya. Beberapa kerikil aku simpan di sakuku bersama Eby untuk melemparkannya kepada anak-anak puhus itu. Ya mereka anak puhus. Aku dan Eby kenal dari perawakannya. Namanya Gio dan Reno. Mereka berdua memang sering rusuh kepada kami, terutama kepada anak-anak dewata kelas 1 SD.

Akhirnya kami menemukan mereka berdua berada di belakang sekolah. Segera kami melemparkan kerikil-kerikil yang kami bawa sambil mengejar mereka. Mereka berhasil mengelak, walaupun beberapa kerikil berhasil mengenai badannya.

Dua anak puhus itu berhasil lolos dari kejaran kami. Aku melihat raut wajah Eby begitu emosional. Tapi emosinya seperti surut ketika mendengar truk angkutan sekolah kami.

Kebesokan Harinya

Saat itu kami sedang menunggu kelas 6 pulang. Aku dan Eby sedang melempari seekor laba-laba yang menempel di sarang. Sarang laba-laba itu menempel di sebuah dahan pohon yang cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk bisa menangkapnya, aku dan Eby harus melemparinya dengan batu.

Namun tanpa terduga, batu yang Eby lempar mengenai seorang anak yang sedang duduk di bawah pohon. Keluarlah darah dari kepala anak itu. Nampaknya itu adalah Reno, anak puhus yang tempo hari mencambuk kepala Eby dengan bekas karet ban.

Semua anak puhus mengerubunginya. Lalu memperban kepala Reno yang bocor.

"Siapa yang tadi melempar batu?" Seseorang kakak kelas menghampiri kami. Badannya besar dan tinggi jauh melampaui kami berdua. Semua anak di sekitar Eby menunjuk ke arah Eby termasuk Aku. Eby langsung gemetar dan menggigil. Raut wajahnya terlihat ketakutan.

Seseorang anak puhus datang lagi menghampiri kami. Dia adalah Gio teman sebangku Reno.

"Kamu to yang melempar batu itu." Gio mengacung-acungkan telunjuknya ke wajah Eby.

"Maaf, tatapi aku nggak sengaja," ucap Eby meminta maaf. Wajahnya memerah, antara malu dan ketekutan. Sedangkan bedannya mulai gemetar.

"Jika kamu mau minta maaf, minta maaflah dengan orang tua Reno. Biar ku adukan perbuatanmu ke bapaknya," jelas Gio mengancam Eby. Wajahnya beringas, nampak seperti gorilla yang ingin bertarung.

Eby hanya diam. Tampak raut wajahnya semakin gelisah. Saat itu dia tak seperti Eby yang aku kenal. Biasanya dia jago sekali berdebat hingga melontarkan kata yang tak mengenakan. Nemun hari itu ia tak lebih buruk dari seorang patung, pecundang, bahkan pengecut. Apakah dia sedang dirasuki jiwa lain? Aku kira lebih baik seperti ini, dari pada melihat dia melontarkan kata-kata kasar.

Keesokan harinya

Eby tidak berangkat sekolah hari itu. Entah karena sakit atau karena takut dengan ancaman Gio. Tapi nyatanya kemarin kulihat di rumahnya ia sehat-sahat saja. Mungkin ia takut jika Gio mengadu ke bapaknya Reno bahwa Eby telah melukai anaknya. Namun selama Eby bolos, tak ada kulihat bingar-bingar Ayahanda Reno. Mungkin aku yang kurang jeli, atau memang Gio hanya membohongi Eby, sekedar untuk menakut-nakuti Eby.

Selang dua hari akhirnya Eby berangkat sekolah. Dia tidak terlihat berisik seperti biasanya. Sepanjang waktu, lebih sering menutup mulutnya.

"Apakah Ayah Reno kemarin kesini?" Tanya Eby kepadaku.

"Iya, dia mencarimu." Aku membohonginya. Nyatanya, Ayah Reno tidak ke sekolah untuk menuntut perbuatan Eby.

"Serius?" Raut wajahnya mulai gelisah.

"Iya serius, berhati-hatilah. Besok ayah Reno akan kesini lagi untuk mencarimu." Aku berbohong lagi dan aku tertawa dalam hati. Beginikah nikmatnya mengerjai Eby?

Pada akhirnya, tak pernah ada batang hidung Ayahanda Reno. Beberapa minggu kemudian, sikap Eby yang menyebalkan kembali muncul. Dan itu sangat menyebalkan untukku.


Watak Eby memang selalu kupandang buruk. Walaupun begitu, tak semua orang sependapat denganku. Buktinya, banyak orang yang dekat dengannya. Hal itu bisa kupahami, sebab Eby memang anak yang mudah bergaul kepada siapa saja dan tak memandang usia. Hal itu berbanding terbalik dengan diriku yang merupakan anak rumahan dan susah beradaptasi dengan lingkungan baru.

Bahkan, di mata orang tuaku Eby lebih unggul dariku. Setiap libur sekolah, Eby selalu mengangkut dua jerigen berukuran 32,5 liter untuk keperluan dapur ibunya. Ia membawa air itu dari lebung terdekat dengan angkong. Aku juga sering melakukan itu, meskipun aku hanya kuat mengangkut dua jerigen berukuran 16,5 liter, dan tak sesering Eby. Saat kelas 5 SD, Eby sudah bisa membantu ayahnya bekerja mendodos buah sawit. Sedangkan aku baru bisa memunguti brondolannya di bawah pohon sawitnya. Bahkan kata ayahku, aku lebih lelet dari adikku jika disuruh membantunya bekerja. Hingga ibuku sering membanding-bandingkan aku dengan Eby. Ia mengatakan bahwa Eby anak yang rajin, sedangkan aku adalah anak malas yang tak mau membantu orang tua.

#cuapcuapauthor
Terimakasih sudah membaca
Jangan lupa vote

SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang