Waktu memang terasa singkat. Sekarang kita sedang melihat matahari bersinar, tapi beberapa menit kemudian akan berganti dengan bulan, dan seterusnya begitu. Hingga tak terasa tinggiku sudah menyamai bahu Pak Dien. Dulu waktu pertama kali berjumpa dengannya, aku hanya sepinggangnya. Bahkan aku tak kuasa menangkap bola yang menempel di tangannya.
Sungguh terasa singkat, tiba-tiba UN tinggal menghitung hari. Padahal baru kemarin melihat Andi be'ol di celana di ruang kelas 2, eh kini dirinya malah jadi pembela kaum beser yang membutuhkan WC berisi air. Untung saja, hari ini WC kami sudah lebih baik, setidaknya sudah ada airnya walau hanya seciduk.
"Pin besok nginap di rumah bapak lagi, kita belajar bareng lagi. Ajak yang lainnya kalau dikasih izin orang tuanya," ajak Pak Dien.
"Iya Pak."
Akhir-akhir ini, aku memang sering menginap di rumah Pak Dien. Kadang Agung, Andi, Ikhsan, Denis, Eby dan lainnya juga ikut jika diizinkan oleh orang tuanya. Terkhusus aku dan Eby yang rumahnya paling dekat dengan Pak Dien lebih sering diizinkan ketimbang tidak. Walau orang tua kami agak ragu mengizinkan kami karena takut merepotkan Pak Dien, tapi Pak Dien menjelaskan sendiri kepada orang tua kami bahwa ia justru senang jika muridnya menginap di rumahnya karena rumahnya menjadi ramai. Di rumah Pak Dien, kami tak hanya belajar ilmu academy, tapi kami juga belajar baca tulis Al-Qur'an saat setelah sholat Maghrib.
Sekolah kami memang tak menerapka sistem les. Tentu tak bisa menerapkan hal semacam itu karena bis perusahaan tak mau bertugas pada sore hari untuk menjemput anak-anak yang rumahnya jauh. Maka, karena tak ada les, Pak Dien mengajak murid-muridnya untuk menginap di rumahnya lalu membahas materi-materi yang kiranya akan keluar di UN. Namun usaha Pak Dien tak membuahkan hasil maksimal. Sebab tak semua muridnya diizinkan oleh orang tuanya untuk menginap di rumah Pak Dien.
Pak Dien memang sangat dekat dengan muridnya, aku telah menganggapnya sebagai orang tuaku sendiri. Dia bukan hanya sekedar guru, tapi sudah seperti seorang sahabat. Bahkan diluar pelajaran, dia tidak menunjukan dirinya sebagai seorang guru. Dia seperti bujang-bujang lain, yang suka ngegame, main poker, main bola, bahkan Pak Dien adalah satu-satunya Guru bersedia bermain bola bersama segerombolan anak kelas 6 dan kelas 5.
Aku sangat ingat ketika aku mulai memandang Pak Dien sebagai seorang guru yang karakternya paling unik di antara guru-guru yang pernah kujumpai.
Waktu itu hari sabtu. Ketika pulang sekolah. Aku, Agung, Andi, Denis dan Ikhsan menggerombol di warung Bu Rita. Pak Dien datang dengan wajah bersinar, lalu malahap 2 bakwan yang ditaburi sambal. Aku tahu Pak Dien sedang berbunga-bunga karena baru saja membeli Laptop barunya.
"Disini ada yang jago main PES?" tanya Pak Dien. Sebuah pertanyaan yang langka dari seorang guru. Kebanyakan guru biasanya bertanya kepada muridnya perihal materi pelajaran, tapi yang ini justru melenceng jauh dari mapel.
"Saya Pak!" Ikhsan langsung tanggap.
"Kamu bisa? nanti main ke rumah Bapak ya, kita main PES pake laptop baru bapak. Kamu juga boleh Pin." ajak Pak Dien. Kesannya seperti pamer, padahal iya.
"Yah, tapi kalau diizinin mamak ya pak." Ikhsan cemburut. Ia harap-harap cemas karena orang tuanya pasti susah mengizinkan dirinya menginap di rumah orang.
"Ya udah, kalau nggak diizinin, nanti bapak main sama Ipin aja," kata Pak Dien.
Sore harinya aku main ke rumah Pak Dien. Lalu belajar mengotak-atik Laptop baru milik Pak Dien. Sedangkan Pak Dien sedang menyuci pakaian.
"Yuk main PES. Pak Dien sudah kelar mencuci." Ajak Pak Dien.
"Tapi nggak bisa mainnya pak." Jawabku.
"Mari Bapak ajari." Tawarnya.
Aku mangangguk. Pak Dien menjelaskan secara ditail kegunaan tombol-tombol yang menempel pada joystick.
Setelah dijelaskan fungsi tombol-tombol pada joystick. Aku mulai mencoba bermain PES untuk yang pertama kalinya, atau dengan kata lain ini adalah debutku sebagai seorang player PES. Aku memilih club Real Madrid sebagai yang aku mainkan sedangkan lawannya adalah rival se kota Atletico Madrid yang akan dikendalikan oleh komputer.
Baru berjalan 10 menit aku sudah kebobolan 2 gol. Aku sangat kesulitan menyarang dan merebut bola lawan. Tanganku masih asing dengan joystick. Atau memang ada yang salah dengan caraku bermain.
Sejak itu, aku dan teman lainnya sering bermain ke rumah Pak Dien Dan semakin mahir bermain PES. Namun Pak Dien sungguh pleyer yang tak terkalahkan. Aku sudah berkali-kali bertanding dengannya, tapi tak ada satu pun yang menghasilkan kemenangan untukku.
Itulah yang membedakan Pak Dien dengan guru-guru lainnya. Sebagian orang mungkin akan mengaggap bahwa Pak Dien adalah guru yang buruk karena telah mengajari muridnya bermain PES. Namun tidak bagiku! Di mataku, Pak Dien adalah guru yang spesial. Dia bisa membangun kedekatan dan kemistri yang luar biasa dengan murid-muridnya dengan caranya sendiri yang apa adanya. Bahkan dengan cara mengajak muridnya bermain PES bersama, itulah bentuk pengembangan kemistri antara guru dan murid versinya. Unik dan langka, itulah Pak Dien.
Apa yang dilakukan Pak Dien dengan menjalin hubungan erat dengan murid-muridnya adalah hal yang penting. Sebab Efektifnya komunikasi berbanding terbalik dengan kenyamanan murid dalam belajar. Maka, sebaiknya tak ada lagi pembatas tebal antara guru dan siswa untuk menjalin komunikasi selagi masih dalam koridor yang tak merugikan satu sama lain. Disini Pak Dien bukan hanya menjadi fasilitator dalam ilmu, tapi juga pemerhati EQ dari peserta didik. Sebab itu Pak Dien menjadi tahu cara yang tepat untuk memperlakukan masing-masing muridnya. Ia tidak mudah menimpakan kegagalan pengajaran yang dialaminya kepada siswa melainkan menjalin hubungan dengan siswa hingga tahu cara mengajar yang tepat.
Sebagai murid yang baik mari bersama berfikir, sebaiknya kita tidak boleh menjaga jarak dengan guru apalagi sampai menanamkan kebencian karena alasan tertentu. Jika ada kebencian pada guru, bagaimana pelajaran yang diberikannya bisa kita terima dengan baik? padahal tentu saja pelajaran itu akan sangat berguna nantinya. Maka kedekatan antara guru dan murid memanglah penting.
Maka kawan. Saat menjalang UN, aku dan teman-teman lainnya sering menginap di rumah Pak Dien untuk membahas materi UN. Namun setelah pukul 9, semua tentang UN akan disimpan dalam kantong tas. Lalu kami akan bermain PES bersama dengan bantuan proyektor yang dipancarkan ke dinding. Kami bermain PES dengan layar yang sangat lebar. Sangat menyenangkan. Dan itulah salah satu bentuk kedekatan kami dengan Pak Dien. Pengalaman yang tidak terlupakan.
#Terimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
General FictionTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...