Sejak sore tadi, bumi perkemahan dilanda mendung. Rasa khawatir akan datangnya hujan mulai terngiang-ngiang di kepala. Kami selalu saja sedih ketika memandang ke langit-langit bumi, Bukan karena tak sukur atas karunia Tuhan yang mendatangkam hujan. Tapi kami hanya khawatir jika hujan tiba, tenda kami yang bolong di sana-sini tak mampu menahan air jatuhannya. Apalagi nanti malam adalah acara malam puncak. Akan ada acara api unggun yang meriah, sangat disayangkan jika kemeriahan malam puncak akan terlewatkan karena sebuah hujan yang tak di undang.
Kulihat dari halaman tendaku, rintik-rintik air gerimis mulai bermunculan. Semoga saja tak disusul oleh rintikan air hujan.
Hujan malam ini sepertinya menunda untuk datang. Beberapa menit yang lalu, gerimis telah lenyap dari bumi perkemahan. Kami lega. Sudah tak ada penghalang bagi kami untuk menyaksikan malam puncak.
Upacara api unggun tak lama lagi akan dimulai. Semua penggalang sudah berbaris di lapangan. Ada yang sedikit janggal, beberapa regu terlihat mengenakan jaz hujan. Mereka jadi terlihat seperti pasukan akatsuki yang mengenakan jubah warna-warni.
Lampu-lampu yang ada di bumi perkemahan meredup. Tempat ini menjadi gelap dan hening walau ratusan manusia ada di dalamnya. Tumpukan kayu yang dibuat menggunung mulai dibakar oleh para petugas upacara api unggun. Api mulai merambat-rambat ke seluruh tatanan kayu. Mulai terlihat lagi bayang-bayang samar barisan para penggalang. Kami mulai bernyanyi untuk menyambut api unggun.
API KITA SUDAH MENYALA
API KITA SUDAH MENYALA
API API API API API API
API UNGGUN SUDAH MENYALABegitu terus hingga jari-jari api mulai melilit-lilit pada tumpukan kayu. Kepala api mulai terbentuk dan menyala-nyala menyinari upacara hingga bumi perkemahan. Barisan para penggalang mulai terlihat samar.
Semua penggalang bertepuk tangan dan bersorak melihat api unggun telah membentuk sempurna. Aku memandang penuh takjub dengan api unggun yang begitu tinggi. Belum pernah rasanya melihat kobaran api sebesar ini.
Namun nahas, hujan tiba-tiba mengguyur seisi bumi perkemahan. Tak ada yang mengira, hujan deras datang secara tiba-tiba. Pembina upacara api unggun langsung mengintruksi para penggalang agar kembali ke tenda masing-masing. Kulihat api unggun masih berkobar dengan gagah menantang hujan yang biadap. Namun lambat laun kobaran api unggun meredup dimakan hujan. Ah sialan, hujan telah menghancurkan kemeriahan malam ini.
Kami masuk ke dalam tenda. Keadaan tenda bocor di sana-sini. Air hujan menyelinap di lubang-lubang kecil tenda. Kami dengan sigap menutupi lubang tersebut dengan tangan. Ada juga yang tiduran dengan kaki menyangga bocoran air hujan.
Suasana semakin bersitegang.
"Sebelah situ bocor juga!" Denis mengancung-acungkan bagian yang bocor.
"Ah sial, banjir-banjir!" Mata Ikhsan membulat melihat genangan air mulai menguasai tepian tenda. Rupanya parit yang kami buat tak cukup untuk mengalirkan air hujan.
"Amankan tas-tas! Bariskan ke tengah." Agung yang masih menyangga bagian yang bocor mengintrusi temannya agar tas yang ada di pinggir ruang tenda bisa diamankan.
"Eiihh apa kita harus terus begini sampai pagi?" Andi mulai tak nyaman dengan keadaan.
"Semoga saja, hujan segera berhenti," ucapku dengan penuh harapan.
"Ah sial, banjirnya semakin melebar." Ucapan Eby mengalihkan perhatian kami menuju tepian tenda.
"Tolong gantikan aku untuk menutup bagian yang bocor, biar aku atasi banjirnya." Agung keluar tenda dan segera mengambil cangkul untuk melancarkan aliran air di tepian tenda. Aku dan Aklis ikut keluar karena tak tega melihat ia kehujanan sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
General FictionTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...