Pak Samsul telah mengonfirmasi jika aku akan mengikuti lomba puisi se kecamatan. Akmal, Liana, dan Pinky juga telah terpilih sebagai wakil SDN 015 dalam kategori lomba cerdas cermat. Wakil lainnya adalah Rudi yang akan mengikuti lomba cerita bergambar, Ovi yang akan mengikuti lomba kaligrafi, Syarip yang akan mengikuti lomba pantomim, dan Bu Rita yang akan mengikuti lomba bercerita.
Aku harus menyiapkan diri. Melatih mental, mencari referensi puisi, melihat vidio orang berpuisi, lalu mempraktekannya di depan cermin. Aku tak hanya berlatih sendiri, Bu Rita selaku guru seni budaya turut membantuku dalam hal ini. Katanya, hal yang terpenting ketika berhadapan di depan orang banyak adalah mental.
"Setelah mentalmu sudah kuat, semuanya akan terasa mudah. Makanya kau harus sering menguji mentalmu di depan temanmu, maksudnya berpuisilah di depan temanmu, agar mentalmu tumbuh." Kata Bu Rita.
Lalu ia juga menjelaskan bahwa ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam berpuisi. Di antaranya adalah penjiwaan, vokal, mimik, dan gesture.
"Ibu guru, bagaimana caranya menjiwai sebuah puisi?" Aku bertanya.
"Hayati dan pahami isi puisimu. menghayati puisi dengan interpretasi kamu sendiri akan membuat puisi tersebut lebih menyatu dengan kamu, jadi kamu akan lebih menjiwai dalam membawakannnya." Jawabnya.
Bu Rita lantas mencontohkan bagaiman cara berpuisi yang baik. Tampaknya Ia sudah hafal dengan liriknya. Tanpa secuil bantuan apapun, ia meragakannya di hadapanku. Aku tertegun melihatnya. Ia sungguh piawai, begitu menjiwai, semua anggota badannya bergerak-gerak gemulai sesuai dengan kalimat yang ia ucapkan, mimik wajahnya membuat aku merinding. Ibu guru sungguh mengagumkan.
Setelah pulang sekolah aku mencoba untuk melakukan apa yang dicontohkan Ibu Guru. Tanpa rasa malu aku berkoar-koar di depan adikku dan memintanya untuk mengomentari setelah puisinya selesai kubaca. Aku berusaha menirukan apa yang dicontohkan Ibu Guru. Gestur tubuh dan mimik wajah adalah yang paling ku maksimalkan. Kata Ibu Rita, aku harus menggerakan tubuh dan berekspresi sesuai dengan makna kalimat puisi yang diucapkan. Maka, Saat kalimatnya sedih, aku akan menyentuh dada sambil berusaha mengeluarkan air mata, walau tak seupil pun yang bisa keluar. saat kalimatnya bermakna marah, aku akan mengepal dan melotot memerkan wajah penuh murka. Adikku yang melihatnya malah terbirit-birit ketakutan.
Keesokan harinya, aku menunjukan hasil latihanku di depan Ibu Guru. Katanya, vokal, gestur, dan mimikku sudah lebih baik namun kurang penjiwaan. Maka, aku harus lebih memahami isi puisi dan merasakan makna setiap liriknya.
Aku berlatih setiap hari dan selalu menunjukan hasil latihanku kepada Ibu Guru. Dan ibu Guru selalu memujiku karena kemampuan berpuisiku selalu meningkat setiap hari. Bahkan katanya, aku sangat berpotensi menjadi seorang penyair.
***
Tiba waktunya hari perlombaan. Kami yang mengikuti perlombaan didampingi oleh Pak Samsul dan Ibu Rita. Kami menggunakan bus perusahaan untuk menempuh jarak yang satu jam melintasi barisan pohon sawit yang secara bersamaan melambaikan daunnya. Sejenak aku teringat pada masa-masa ketika masih bersekolah di SD Long Jenew. Andai dulu sudah menggunakan bus perusahaan dalam menempuh perjalanan sekolah, pasti perjalanan akan lebih mudah dan nyaman, Kami akan jarang bolos ketika hujan menghadang. Namun masa lalu sungguh mengesankan, setidaknya aku telah merasakan kerasnya perjuangan untuk mendapatkan pendidikan. Dan itu adalah pengalaman hidup yang tak terlupakan dan tentunya sangat berharga. Banyak pelajaran hidup yang bisa kuambil dari pengalaman tersebut, tentang pentingnya perjuangan, pentingnya pendidikan, pentingnya kebersamaan, dan indahnya kesederhanaan. Suatu hari nanti ketika hidupku sudah semanis yang kuinginkan, maka masa-masa pahitku adalah salah satu hal yang paling berperan dalam pencapaianku.
Kami berangkat pukul 06.45 dari sekolah, sedangkan perlombaan akan dimulai 08.00. Sebenarnya, kami terlambat star, posisi sekolah kami adalah yang paling jauh diantara yang lainnya. Jika bus berjalan menggunakan kecepatan sedang, yang akan terjadi adalah kami akan tiba tepat waktu namun tanpa ancang-ancang yang berarti. Maka aku harus menyiapkan segalanya di dalam bus. Menyiapkan mentel serta segala hal terpenting dalam berpuisi.
Di tengah jalan, tiba-tiba bus kami bertemu pohon sawit yang berbaring memotong jalanan. Tampaknya tadi malam wilayah ini terguyur hujan deras bertabur geledek. Dan aku kira pohon sawit yang terbaring tak berdaya itu adalah korban sambaran geledek. Sungguh malang dan menyusahkan.
Keadaan ini membuat bus tak mungkin berjalan lurus lalu melewati pohon sawit tersebut. Bus kami memilih mundur lalu beralih melintasi jalur lain. Dan ini membuat waktu perjalanan kami setidaknya melebar 15 menit. Dan jika bus masih berjalan ala kadarnya, kami pasti akan terlambat.
Benar saja, kami terlambat. Pukul 08.45 kami baru tiba di tempat perlombaan, yaitu di SMP Sanata Dharma. Aku langsung diarahkan Ibu Rita menuju ruang lomba berpuisi. Katika tiba di tempat dan memasuki ruangan, kulihat 15 murid SD sedang bersilah menatap sinis kearahku.
"Maaf bu, terlambat. Tadi ada kendala sedikit." Kata Ibu Rita kepada dewan juri.
"Iya bu tidak apa-apa, silahkan langsung saja. Peserta yang belum tampil hanya anak asuh Ibu."
Tanpa basa-basi, aku langsung menuju mimbar. Lalu mulai berpuisi di depan tatapan-tatapan sinis yang mungkin sudah pegal bersilah karena menunggu kedatanganku.
Walau tidak melihat penampilan peserta yang lain, tapi aku yakin pertunjukan puisiku akan jadi yang terbaik. Hari ini aku harus maksimal dan menampilkan sebaik mungkin. Kuhembuskan nafas perlahan untuk menghilangkan rasa gugup, lalu fokus berpuusi.
"Ibuku..
Kasihmu selambut kain sutra..
Menyelimutiku dengan kehangatanmu..
Membimbingku dengan cinta.." Bait pertama membuat Suasana ruangan hening, bahkan suara jangkrik pun tak ada."Ibuku..
Rangkulanmu adalah dunia ternyaman..
Kau adalah selimut nyata..
Yang menghangatkan keluarga..""Kau adalah cerminan putihnya hati..
Kau lebih dari sekedar seorang pahlawan..
Didikanmu telah membuahkan akhlak mulia..
Nasihat sederhanamu lebih bernilai dari kata mutiara.." Aku mulai menitikan air mata, beberapa murid di depanku juga meratap haru."Ibuku..
Melalui berjuta-juta kasihmu..
Kau telah menghasilkan diriku..
Malalui sabarmu, lelahmu, keringatmu..
Kau adalah titik utama keberhasilanku.." Wajahku bercucuran air mata dan seisi ruangan banjir air mata."Ibuku..
Hatimu sangat mulia..
Perhatianmu tak pernah padam..
Pengorbananmu telah melampaui batas..
Hingga tak sanggup tuk kubalas..
Rangkulanmu labih berharga dari sakarung emas..
Hingga sulit tuk kulepas..""Ibuku.
Maafkan aku ibu..
Jika sampai detik ini masih selalu mengecewakan.." Lirik terakhir sangat menghantam hatiku. Aku menangis karena pada kenyataannya aku lebih sering membuat ibuku marah. Jangankan membaut dirinya bahagia, membuatnya tersenyum pun jarang."Terimakasih." Ucapku setelah pertunjukanku selesai.
Aku tak menyangka, semua orang berdiri lalu bertepuk tangan sambil menyeka air matanya. Aku merasa sangat tersanjung dan air mataku semakin mengalir deras karena terharu. "Terimakasih-terimakasih."
Setelah lomba puisi selesai, aku dan Bu Rita pergi menuju ruang LCC dimana Akmal cs akan berjuang membawa nama baik sekolah kami. Akmal cs berada di Grup C, dimana pesertanya adalah SDN 011 Muara Wahau sebagai, SDN 016 Muara Wahau, dan SDN 015 Muara Wahau.
Kelompok yang mengumpulkan nilai terbanyak akan masuk ke final. Aku sedikit pesimis kepada Akmal cs, sebab mereka akan menghadapi si jenius Mirna. Namun aku yakin, Akmal cs akan berjuang semaksimal mungkin.
#Terimakasih
KAMU SEDANG MEMBACA
SERIBU CERITA DI PULAU SERIBU SUNGAI
Algemene fictieTidak ada yang disedihkan. Tak ada yang dimasalahkan pula. Kami anggap ini adalah hukum alam. Siapa yang mau ilmu, dialah yang harus berusaha. Karena bukanlah ilmu yang memberi kita fasilitas, tapi kitalah yang dituntut untuk bekerja keras. Sekeras...