Dilema

3.6K 190 7
                                    

Happy reading...

****

"Wah, Col. Becanda lu kelewatan," kata Dion.

Tapi tak ada reaksi dari Rhafael. Dia hanya menatap ke arah Nicol dengan santai.

"Ya kali gue becanda tong. Gue tadi liat dia tiduran di sofa. Gue bangunin kagak bangun-bangun, bisa aja kan dia meninggal karena serangan jantung? Cantik sih padahal, tapi umurnya nggak lama. Hm, gegara punya laki kayak Rhafael pasti," kata Nicol. Tak lama, Rhafael berdiri.

"Woi, mau kemana lu?" tanya Dion saat melihat Rhafael berjalan pergi. Rhafael hanya mengangkat sebelah tangannya dengan santai saat mendengar pertanyaan Dion. Ia berjalan ke arah markasnya.

Bukan karena khawatir ya, tapi Rhafael nggak mau sibuk ngurusin mayat di markasnya. Jadi mending sekarang dia lihat apa yang sebenarnya terjadi.

Begitu masuk ke dalam markas, yang dilihat Rhafael adalah sosok Lorena yang tertidur dengan posisi telentang. Tangan kirinya ada di samping tubuh sedangkan tangan kanannya ada di atas perut. Wajahnya memang pucat, bibirnya kering. Tapi masa iya sih cewek ini mati? Harusnya cewek kayak Lorena itu susah matinya, kebanyakan dosa.

"Woy, bangun!" Rhafael menyenggol lengan Lorena dengan kakinya. Tapi sama seperti kata Nicol, Lorena nggak bangun sama sekali. Aneh bener.

"Bangun nggak?!" sekali lagi Rhafael mengguncang lengan Lorena. Sebenernya Lorena mau bangun, tapi dirinya udah terlalu lemes. Buat buka mata aja susah. Apalagi bangun. Ya sebodo amatlah mau Rhafael matiin dia sekalian, tapi dia bener-bener udah nggak kuat buat adu mulut sama Rhafael.

"Jangan ngerjain gue lo. Siapa yang ngijinin lo mati hah?!!" teriakan Rhafael membuat Lorena berusaha membuka mata. Enak aja dia ngira Lorena mati. Rasanya nggak ada harga dirinya banget mati gara-gara nggak dikasih makan sama Rhafael.

"Heh, lo ngerjain gue?!" tuduh Rhafael saat melihat Lorena membuka mata walau cuma sedikit.

Lorena berusaha menggeleng. Aduh, susahnya bukan main. Dia cuma ngerasa pusing sama mual sekarang. Nggak pingin makan apapun. Rasanya udah muak. Apalagi sama mukanya Rhafael yang ngeselin itu.

"Sini, bangun. " Rhafael menarik tangan Lorena karena gadis itu nggak bangun-bangun. Tangan Lorena aja udah panas banget. Tapi ya dasar Rhafaelnya aja yang nggak peka, dia nggak tahu kalau Lorena sakit.

Tanpa susah-susah membantu Lorena berjalan, Rhafael terus menarik tangan Lorena. Membawa gadis itu keluar dari markasnya. Dalam perjalanan ke parkiran, mereka bertemu dengan Leon. Pas banget emang ya, pikir Rhafael.

"Lo adeknya Lorena kan? Gue lihat lo pas acara nikahan." Leon mengangguk. Dia melihat kakaknya yang seperti mau pingsan berdiri agak di belakang Rhafael.

"Ini, bawa pulang kakak lo. Aneh begini dia." kata Rhafael menyerahkan Lorena ke Leon.

"Loh, ini kenapa?" tanya Leon.

"Gue nggak tahu. Lo tanya aja," jawab Rhafael seraya meninggalkan Leon dan Lorena.

Lorena yang berdiri aja nggak tegak langsung pingsan menubruk adiknya. Untung Leon langsung sigap menahan tubuh kakaknya. Dia panik bukan main karena tiba-tiba Lorena pingsan. Wah, mesti dibawa kemana coba. Apa dibawa ke rumah sakit aja biar nggak ketahuan sama daddynya. Mungkin begitu aja ya, biar aman. Nanti kalau dibawa pulang dalam keadaan seperti ini, bisa-bisa dicekik sama Darren.

Leon membopong tubuh Lorena yang lemas. Badannya panas dan berkeringat dingin. Aduh, kenapa juga ini orang. Udah nggak pulang, jadinya malah kek gini.

Bitter Sweet Destiny [MDS ¦ 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang