Si Kampret Rese

6.5K 257 6
                                    

Halo!!!

Gw up lagi. Jangan lupa vote dan komennya oke.

Happy reading. Anggep aja matanya Si Eneng yang jadi castnya Lorena warna biru ye... Duh, maksa banget. Hihi...

***

"Lorena, kamu nggak ke kampus? Nggak ada alasan ya, lagipula itu sudah kemaren. Ayo cepat berangkat, daddy nggak mau kamu bolos kelas!" Lorena mendesah pasrah karena daddynya dengan cepat menarik selimutnya, lalu menyeretnya ke kamar mandi.

"Dad, Lore nggak usah mandi ya? Dingin ini. Tangan Lore masih perih," kata Lorena membujuk daddynya. "Ya ampun, prawan macam apa keluar rumah nggak mandi?! Mandi! Nggak usah kenain ke tangan kamu yang sakit. Hari ini daddy yang bakalan nganter kamu, daddy tunggu di bawah..." kalau sudah begitu, titah sang Raja tidak bisa dibantah alias mutlak bagi Lorena. Dengan malas Lorena berjalan ke dalam kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan sebal.

"Awww, perih!!! Daddy!!!" rengek Lorena manja.

Lorena yakin kalau Rhafael lah yang telah menyergapnya kemarin sore. Kalau bukan dia siapa lagi? Tapi Lorena masih penasaran kenapa Rhafael membunuh orang-orang itu. Sendirian pula. Untung nggak mati. Eh...

Lorena yang kedinginan cepat-cepat melilitkan handuk ke tubuhnya dan mencari baju untuk ke kampus. "Kan ada air panas. Kenapa gue pake yang dingin, ih tolol lu Lore!" gerutu Lorena pada diri sendiri. Setengah jam kemudian dia sudah siap. Ia melihat daddynya yang asik minum tehnya sambil baca koran.

"Kamu lama amat sih, Lore. Nggak juga daddy suruh mandi di toilet umum. Masih juga lama..."

Lorena hanya menatap daddynya sambil mulutnya komat-kamit menirukan omongan daddynya. Masih pagi juga sudah kena omel.

***

Bibirnya manyun, matanya melotot, wajahnya merah. Lorena sedang kesal karena dosen mengancamnya bahwa hasil ujian Lorena tidak akan dikoreksi jika Lorena masih buat ulah. Ih, peduli amat tuh dosen, batin Lorena. Ia menatap ke arah depan. Meski begitu ia sebenarnya sedang melamun. Memikirkan siapa Rhafael yang sebenarnya. Kenapa pak Bambang Rempong itu juga tidak bisa menindak Rhafael. Masa ia harus saingan sama itu kutukupret sih. Harusnya cuma ada Lorena yang bikin mereka semua pusing. Nggak ada yang lain.

Sampai jam istirahatpun, Lorena masih memikirkannya. Sampai-sampai dia melamun saat sedang berjalan.

"Aduh, sialan lo ya!" teriak Lorena keras.

"Elu yang sialan. Berani banget lu ngatain gue!" bentak orang yang Lorena tabrak.

"Apa? Harusnya tuh lo sadar, jalan itu liat-liat pake mata. Mata ini nih," Lorena menunjuk matanya. "Bukan mata kaki!" sambung Lorena.

"Wah, siapa sih lo sok-sok an ngajarin gue?!" laki-laki itu menyeret Lorena sambil mencengkeram lengan gadis itu yang sedang sakit. Lorena mengaduh luar biasa tapi tak direspon oleh orang yang menariknya. Ia melotot saat darah di lengannya kembali keluar dan merembes di pakaiannya.

"Woy, berhenti. Lo mau bawa gue kemana?!" Lorena meronta sekuat tenaga, tapi ya dasarnya udah boncel, kecil, lemah pula. Lorena tak mampu menghentikan tarikan itu.

Setelah mereka sampai di samping gedung yang Lorena tahu itu adalah tempat UKM basket, laki-laki itu baru berhenti dan memojokkannya di samping tembok.

"Kayaknya lo belum tahu ya siapa gue. Sampai lo berani ngomong sama gue, ditambah lagi ngata-ngatain gue." dengan mata elang dan nada datarnya laki-laki itu menatap Lorena tajam.

Lorena yang diajak bicara malah sibuk meniup lukanya yang kembali terbuka tanpa memedulikan tatapan tajam laki-laki itu. 'Sebodo amat lu mau nyabutin rumput atau ngepel stadion, gue nggak peduli. Aduh... Bisa-bisa apa yang dibilang Leon soal amputasi beneran inih... Aduuuuh,' batin Lorena.

Bitter Sweet Destiny [MDS ¦ 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang