Bernaung di Hotel Remang

3.9K 185 10
                                    

Lorena membantu Rhafael berjalan sampai ke sebuah hotel kecil yang terletak tak jauh dari lumbung itu. Kalo nggak terpaksa, Lorena juga nggak akan mau bawa Rhafael ke tempat seperti ini. Lorena bahkan hampir menunjukkan KTPnya sebagai bukti kalo dia sama Rhafael udah nikah, tapi Rhafael melarangnya.

"Udah deh mbak, nggak usah keganjenan. Pokoknya saya pesan satu kamar. Cepetan!" bentak Lorena. Dia merangkul Rhafael dan Rhafael berusaha berdiri tegak supaya orang-orang nggak curiga kalo dia habis kena tikam.

"Mbak kalo mau-"

"Mau apa?! Saya bakalan bayar kok. Nggak usah takut. Saya cuma lupa naro KTP saya dimana," kata Lorena tajam. Akhirnya diberikan juga kunci kamarnya. Setelah itu mereka naik ke lantai 3 dimana kamar itu berada.

"Lo tidur dulu aja. Gue mau ke apotek beli P3K dulu." kata Lorena. Rhafael nggak mengatakan apapun, dia cuma rebahan di atas kasur dan tetap diam.

Rhafael menunggu Lorena dengan gelisah. Gimana nggak gelisah kalo udah setengah jam Lorena nggak balik-balik. Mau telpon nanti hpnya dilacak, kan jadi serba salah. Meskipun Rhafael udah mendeklarasikan diri nggak akan peduli sama Lorena, toh kenyataannya dia malah telpon Lorena dan memintanya datang.

'Lo dimana?'

'Gue di deket kawasan wisata kebun stroberi. Kenapa?'

'Gue mau lo ke sini. Jangan kemana-mana, loe ke sini. Gue ada di alamat ini. Gue share lokasinya.'

Rhafael emang nggak ngomong apa-apa soal dirinya yang dikejar-kejar anak buah Black. Tapi entah kenapa dia berharap Lorena mau datang menemuinya dan anehnya harapannya terkabul. Dengan polosnya Lorena datang menemuinya disaat nyawanya di ujung tanduk. Bahkan dia nggak tahu nasib Garry sekarang. Mungkin Garry udah selamat karena yang diincar kan dia, bukan siapapun.

Baru aja Rhafael mau buka pintu untuk cari Lorena, pintu kamar udah kebuka dan menampilkan sosok Lorena. Wajahnya keliatan kesal nggak tahu karena apa. Rhafael mundur, membiarkan Lorena masuk.

"Buka baju lo. Kalo nggak buru-buru diobati nanti infeksi," kata Lorena dengan ketus. Rhafael cuma melongo sambil menuruti perintah Lorena. Kenapa jadi Lorena yang serem ya?

"Lo yang lama," balas Rhafael akhirnya.

"Kalo nggak gara-gara resepsionis gesrek itu gue nggak akan lama tahu, udah diem aja." kata Lorena setengah membentak.

"Emang dia ngapain?" Rhafael tetep nekad nanya ke Lorena karena dia penasaran.

"Dia nggak percaya kalo kita udah nikah, masa dia bilang gue pelacur yang lo sewa, duh... Kalo punya mulut tuh dikontrol jangan kayak cerobong asap. Apa yang dia omongin itu isinya cuma toksin, alias racun." gerutu Lorena kesal.

Alhasil bukannya ngerawat dengan lembut, malah diuyel-uyel nggak berperasaan. Rhafael sampai mau teriak karena perih, tapi harga dirinya langsung membungkam mulutnya.

"Bisa pelan-pelan nggak sih?" tanya Rhafael dengan wajah tersiksa.

"Menurut lo gue kayak pelacur ya?" tanya Lorena setelah dia selesai membalut luka Rhafael.

"Hah?" tanya Rhafael tak yakin.

"Gue kayak pelacur nggak?!" jerit Lorena kesal.

"Menurut lo?"

"Enggak!" jawab Lorena tegas.

"Ya udah. " meski kesal dengan jawaban cuek Rhafael, Lorena tetep ngasih makanannya buat Rhafael. Untung tadi nggak ditinggal. Dia kan nggak berpikiran sempit kayak tokoh-tokoh sinetron, kalo pas lari tadi dia tinggal itu makanan, sekarang pasti mereka kelaparan.

Bitter Sweet Destiny [MDS ¦ 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang