Jangan Jatuh Cinta

3.5K 178 8
                                    

Rhafael memasuki apartemen Nicol dengan santai. Baru melangkahkan kakinya masuk ke dalam, Nicol dengan senyum gajenya langsung menubruk Rhafael sambil memeluknya.

"Apa kabar bosque yang ganteng?" Nicol mengerling manja. Dion yang sedang makan keripik kentang langsung terbatuk hebat.

"Jauh-jauh lu homo!" Rhafael melepaskan pelukan Nicol dengan paksa.

Nicol mengabaikan perkataan Rhafael dan menarik sahabatnya itu untuk duduk di sofa berdekatan dengan Dion. Dion langsung meletakkan toples keripiknya dan menatap Rhafael serius, "Rhaf, Johny Black?" tanya Dion.

Rhafael langsung menoleh ke arah Dion, "kenapa emang?" tanya Rhafael balik.

"Dia yang nyuruh Revan buat sabotase mobil lo. Btw gue juga heran kenapa Revan bisa gabung sama Black." kata Dion.

Rhafael diam. Dia udah tahu sih kalo Black yang jadi dalang di balik peristiwa terbakarnya mobilnya. Namun dia masih agak kaget pas Dion bilang kalo Revan yang turun buat nyabotase mobilnya.

"Alah, lu kayak nggak tau wataknya Revan aja." celetuk Nicol.

"Seriusan gue Col. Dulu Revan nggak kayak gitu." sergah Dion. Rhafael mendengus. Dia nggak tahan denger nama Revan disebut-sebut. Teringat dengan segala perubahan sifat Revan yang membuat Rhafael jadi muak. Sekarang dia jadi bertanya-tanya, kok bisa-bisanya dia temenan sama Si Bangsat Revan itu.

"Gue balik. Tadi pas ke sini kayaknya kelupaan sesuatu." Sebelum dapat dicegah, Rhafael sudah keburu berdiri dan berjalan keluar dari apartemen Nicol.

Jalanan lengang membuat Rhafael leluasa melamun. Menatap ke arah mobil yang tengah melaju di depannya. Rasanya kesal. Bukan cuma kesal, tapi juga marah. Seseorang yang dia percaya malah berhianat dan menghancurkannya. Rhafael sudah terkenal bandel sejak SMA. Selalu berbuat onar dan membuat para guru jadi pusing. Dan Revan adalah partner in crime bagi Rhafael. Revan begitu dekat dengannya. Rhafael yang jago kelahi dan congkak begitu ditakuti oleh anak-anak SMA lain. Bahkan Rhafael kerap menghajar anak-anak SMA lain yang mengganggu jalannya. Sama sekali nggak logis memang. Namun itulah Rhafael. Diam-diam, Revan iri dengan pesona dan karisma Rhafael. Dia juga ingin jadi seperti Rhafael. Dan begitu tahu sebuah rahasia Rhafael, bahwa Rhafael diam-diam menjadi anggota komplotan mafia, rasa iri itu kian jadi. Revan datang ke Billy, namun keberadaannya tak diinginkan pria bengis itu. Revan mencari cara, menjatuhkan sosok Rhafael di mata Billy agar sahabatnya itu tak lagi terlihat berguna di mata Billy. Dan nyaris saja, apa yang Revan lakukan merenggut nyawa Rhafael.

Rhafael memukul stirnya. Ingatan busuk itu lagi-lagi menguasai kepalanya. Ia mendengus kasar dan berbelok masuk ke basemen apartemennya.

Aroma lezat tercium di indera penciumannya. Harum dan keliatannya juga enak. Semakin Rhafael masuk ke dalam dapur, aroma itu makin tercium.

Dengan celemek warna pink dan rambut diikat membentuk bun, Lorena berdiri membelakangi Rhafael sambil mengaduk-aduk wok pan. Diam-diam Rhafael tersenyum, kemudian ia berdiri di belakang Lorena.

"Masak apa?"

"Argh!" Klontang!

Lorena menjatuhkan spatulanya dan berbalik. Matanya mendelik menatap Rhafael yang cengar-cengir sambil melirik masakannya.

"Bisa nggak sih, lo nggak ngagetin gue?" omel Lorena.

Belum pudar dari ingatannya, kelakuan menyebalkan Rhafael yang meninggalkannya di basemen rumah sakit. Dia pikir Lorena bakalan luluh dengan cengiran ganteng itu huh! Ganteng iya! Nyebelin juga iya! Pengen mukul otaknya deh!

"Gitu doang ngambek." gerutu Rhafael.

"Gitu doang? Kulit bawang juga tahu kalo lo tadi ninggalin gue di basemen!" Rhafael mengernyitkan dahi. Oh... Jadi yang ia rasa ketinggalan tadi itu Si Lorena ya...

Bitter Sweet Destiny [MDS ¦ 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang