BAB 21

171K 16.9K 423
                                    

Selamat membaca:*

***

Vasilla meringkuk didekat tembok. Menatap seisi ruangan yang tampak membosankan. Pintu juga dikunci, menyebabkan gadis itu tidak bisa keluar.

Namun diruangan itu terdapat sebuah jendela besar namun terlalu tinggi untuk dicapai oleh Vasilla. Gadis itu putus asa dan meringkuk disana. Menahan tangisan dan sakit hati-nya sendiri.

Dia membutuhkan pelukan tulus dari seseorang yang menyayangi-nya. Dia benar benar membutuhkan Gatha.

Ruangan putih ini sangat bersih. Tidak ada tanda tanda mahkluk halus, Vasilla dapat sedikit tenang. Namun diluar sana, tepat diruang konsultasi, Vasilla melihat sesosok perempuan yang rambut-nya disanggul dan memakai pakaian perawat. Kepala-nya tampak bolong akibat luka tembak dan tangan-nya sendiri menunjukkan jejak kekerasan. Tampak-nya sosok itu diikat dengan sesuatu yang keras seperti rantai sebelum pada akhir-nya mati.

Vasilla, keluar

Vasilla mendongak, menatap langit langit kamar-nya. Tidak ada siapapun, siapa yang baru saja berbisik pada-nya.

Ini aku yang waktu itu. Ingat? Aku yang memberi tau letak dimana tas mu disembunyikan oleh teman teman sekelas mu yang nakal itu.

Vasilla kembali meringkuk tak peduli. Suasana yang terlihat tenang belum tentu benar benar tenang.

Keluar, Vasilla.

"Diam!" teriak Vasilla, kesal lalu dia kembali menenggelamkan wajah-nya dikedua lekukan kaki-nya.

Ada bangku disamping lemari sebelah sana. Kalau kurang tinggi untuk mencapai jendela itu, kamu bisa menggunakan tumpukan buku psikologi didalam lemari itu.

Vasilla mendongak, menatap lemari kayu berwarna putih itu. Disamping-nya benar ada bangku kayu berwarna putih yang tampak disembunyikan. Vasilla juga tidak akan sadar jika tidak ada 'sesuatu' yang memberitahu-nya.

Vasilla memindahkan bangku itu dan mencoba menggapai jendela yang terbuka lebar itu. "Ga sampai."

Buku, Vasilla.

Vasilla turun dari bangku itu. Memindahkan setumpuk buku tebal keatas bangku kemudian dia naik sambil memegang tembok, takut terjatuh kebawah dan membuat tulang punggung-nya patah.

Wajah Vasilla sampai pada jendela itu. Gadis itu bisa menghirup udara segar dari luar sana. Gadis itu mulai memanjat hingga tubuh-nya sudah sampai dijendela lalu dia melompat keluar, dan jatuh terduduk diatas sebuah semak semak yang mengurangi rasa sakit dibokong-nya. Gadis itu mengusap celana bagian belakangnya. "Makasih." lalu Vasilla berlari pergi meninggalkan gedung itu.

"Jalan pulang, kemana??" gumam Vasilla sambil terus berlari.

Melewati sebuah jalan yang sepi dan tiba tiba sebuah mobil sedan berwarna putih hampir menarak-nya. Untung saja mobil itu langsung berhenti sebelum benar benar menabrak Vasilla. Gadis itu tersentak kaget lalu melangkah mundur, menjauhi mobil itu.

"Lo buta?!" omel pemilik mobil itu lalu menghampiri Vasilla. "Silla?" orang itu mengernyit heran. "Lo ngapain lari lari ditengah jalan?"

"Vento ..." Vasilla menggigir bibir bawah-nya lalu menunduk. "Gapapa." sahut-nya menjawab pertanyaan terakhir dari Vento.

"Masa sih? Beneran gapapa?" Vento menatap sekeliling. "Lo abis dari mana? Kok ga pake sendal?"

"Psikiater." sahut gadis itu, lemah lembut.

Vento mengerjap berkali kali sebelum akhir-nya meneguk saliva-nya dengan susah payah. "Psikiater? Siapa yang bawa lo kesana?"

Vasilla semakin tenggelam dalam tundukan-nya. Rasa-nya dia ingin menangis, namun mata-nya sudah kering. Suara-nya benar benar melemah, dia takut untuk kembali ketempat itu. "Papa sama mama."

Vento langsung menarik gadis itu kedalam pelukan-nya. "Lo tau, yang seharus-nya kepsikiater itu nyokap sama bokap lo, bukan lo."

Vasilla tak membalas pelukan laki laki itu, pikiran-nya kosong. Samuel dan Agatha yang adalah orang tua-nya malah memperlakukan diri-nya dengan sangat buruk.

Vasilla sulit menelan kenyataan bahwa orang tua-nya lah yang paling berperan dalam menyakiti-nya. Setidak-nya ada yang membela-nya selain Gatha. Vento ...

***

Vote + Coment!

[✔] Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang