Selamat membaca:*
***
3 Minggu Kemudian.
Vento, Vexo dan Gatha tengah duduk disebuah ruangan luas bernuansa putih. Vexo dan Vento hanya terdiam sambil menatap Gatha yang masih tampak marah. Sejak kematian Vasilla, laki laki itu selalu emosional.
Luna dan Bi Raya yang baru tiba juga langsung bergabung dengan Vexo dan Vento. Menunduk hingga bulu kuduk mereka meremang saat Gatha menatap mereka dengan tatapan tajam.
Tatapan Gatha berhenti pada Vento. "Jangan nunduk!"
Vento mendongak, menatap Gatha takut takut.
"Lo tau kenapa Silla bisa ... meninggal?"
"Bunuh diri ..."
Gatha berdecak lalu tersenyum miring. "Itu cuma alasan. Dia meninggal, karena lo. Lo ga nyadar juga?"
Vento mengernyit tak paham. "Aku kan--"
"Biar gue tanya. Kalo seandainya lo ga ninggalin adek gue demi ..." Gatha menunjuk Luna. "Jablay kegatelan itu. Apa Silla bakalan bunuh diri? Huh?"
Vento tertegun, menguras otak berusaha mencari jawaban-nya yang pas untuk pertanyaan Gatha. Luna hanya menunduk takut, Bi Raya pun langsung merangkul Luna.
Bi Raya tidak bisa membela Luna karena ini semua memang salah Luna. Tak seharus-nya Bi Raya membiarkan Luna tinggal dirumah Vasilla dan Agatha.
"Abis ini, lo mau godain siapa lagi? Gue, atau Vexo?" tanya Gatha, sarkas.
Luna mendongak, menatap Gatha dengan tatapan takut. "Maaf--"
"Lo minta maaf seribu kalipun, Silla ga akan hidup lagi. Semuanya gara-gara lo. Abis ini lo mau godain siapa lagi? Om-om hidung belang yang biasa nongkrong dirumah bordil? Atau lo mau keliling club tanpa busana?"
"Kak, aku udah minta ma--"
"Maaf lo itu sampah. Sekarang gue punya prinsip baru. Lo semua mau denger?" Gatha menatap mereka semua secara bergantian lalu dia mulai tersenyum. "Yang ga penting dan cuma sekedar SAMPAH, itu ga usah dilirik apalagi dipandang. Sayangnya, Vento Parcival Archer jauh lebih tertarik sama SAMPAH daripada BATU BERLIAN yang selalu ada disamping dia sejak awal ketemu."
Gatha melirik Luna. "Lo tau siapa yang gw sebut dengan SAMPAH?" Gatha tersenyum. "Itu lo." lalu dia terkekeh. "Adek gw udah meninggal. Kenapa lo ga mati juga? Hah? Yang harus-nya mati itu elo, bukan adek gw! Kenapa lo masih berani buat hidup disini setelah ngerebut cowok-nya adek gw? Ops, sorry ... Setau gw, CEWEK MURAHAN itu pasti ga punya malu. Karena urat malu mereka udah putus." Gatha semakin sarkas.
Gatha menatap tajam kearah Luna. "Seandai-nya Vento nyuruh lo buka baju disini lalu keliling rumah gw dengan keadaan telanjang, mungkin lo bakalan mau. Lo MURAHAN kan? Pasti mau lah, kan?!" nada-nya semakin meninggi dan mengejek.
Mulut Luna terbungkam rapat rapat. Vento yang biasa-nya membela pun ikut diam karena takut. Apalagi setelah tau bahwa yang menyelamatkan hidup-nya adalah gadis yang ia khianati lalu ia tinggalkan.
"Udah puas lo nyakitin adek gw?" suara Gatha terdengar semakin meninggi. Gatha menatap Bi Raya. "Bibi, biar saya tebak. Bibi dan suami-nya bibi pasti cerai karena Luna ngegodain papa-nya sendiri kan? Apa jangan jangan Luna udah hamil diluar nikah, hamil anak paps-nya sendiri, lalu dia minta papa-nya tanggung jawab? Lalu papa-nya nolak dan akhir-nya ketahuan sama bibi, dan ending-nya ... bibi dan suami bibi bercerai?" Gatha mengangkat sebelah alis-nya. Dia sama sekali tidak merasa bersalah setelah menginjak hancur harga diri Luna.
"Sorry, lupa. Cewek murahan itu jarang yang masih perawan." Gatha tertawa, tawa yang begitu pahit. "Udah dibelai sama siapa aja selain Vento? Dicium aja mau dan ga nolak." Gatha tersenyum miring untuk kesekian kali-nya. "Udah dibelai sama tukang siomay depan rumah? Gimana kalau go-food langganan gw? Udah juga? Udah dibobol sama siapa aja? Siapa yang udah pernah tanam saham dirahim lo? Siapa aja? Bokap lo termasuk juga? Vento gimana? Kok ga lahiran? Di gugurin semua?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Sixth Sense
Horror#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap harinya sendirian tanpa siapapun. Bahkan orang tuanya saja pergi meninggalkannya dan tinggal diluar kot...