BAB 24

176K 17.2K 1K
                                    

Selamat membaca:*

***

Pagi ini Vento dan Vasilla tidak sekolah karena hari ini hari minggu. Biasa-nya selalu ada ekstrakulikuler, namun Vento dan Vasilla tidak mengikuti satupun kegiatan ekstrakulikuler itu.

Sebalik-nya, pagi ini mereka malah pergi kemakam Pinkan. Mencoba merenovasi makam itu agar Pinkan tidak terus mengikuti Vento.

Pinkan memang masih belum berbuat sesuatu yang membahayakan Vento, tapi nanti pasti akan dia lakukan.

Vento menabur bunga kamboja diatas makam Pinkan yang sudah rapih dan bersih. Vasilla, gadis itu berdiri dibelakang Vento dengan wajah-nya yang semakin lama semakin pucat.

Beberapa arwah itu menempeli tubuh Vasilla. Beberapa dari mereka bahkan memeluk kaki Vasilla dan enggan melepas. Ada yang bergelayut dilengan-nya serta punggung-nya. Membuat gadis itu merasa punggung dan leher-nya semakin nyeri.

Sayang-nya Vento sedang sibuk menabur bunga hingga tidak tau keadaan Vasilla. Gadis itu ingin berteriak namun beberapa dari mereka menutup mulut Vasilla dengan tangan mereka yang berbau busuk.

Nafas gadis itu memburu, dia mulai merasa sesak nafas sebelum akhir-nya terjatuh pingsan. Vento berbalik, menemukan gadis itu sudah jatuh pingsan dibelakang-nya.

"Lah, kok pingsan? Hei, Lala!" Vento bersimpuh didekat kaki Vasilla, menepuk pipi gadis itu berkali kali.

Vento menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah gadis itu. Vento menyentuh pundak Vasilla, hendak menggendong-nya namun rasa-nya pundak gadis itu hangat.

"Bodoamat lah." Vento menggendong Vasilla, membawa-nya sekuat tenaga menuju kemobil. "Lo berat juga. Makan apaan sih?" Vento menidurkan gadis itu dibangku penumpang lalu dia menarik nafas panjang dan meminum air putih dari botol air yang dia bawa.

***

"Itu anak orang lo apain?" tanya Vexo, mengikuti Vento dari belakang. Vento menidurkan Vasilla diatas kasur-nya. Gadis itu masih belum tersadar dan Vento menyadari tiba tiba muncul sebuah lebam dikaki kanan gadis itu.

Vento hanya menggeleng pelan sambil menatap lebam dikaki Vasilla. "Tadi, ini ga ada."

Vexo duduk ditepi kasur, sama sama menatap lebam yang membiru itu. "Lo mukul anak orang?"

"Ya kagak lah! Ngapain juga?! Ini tadi dia pingsan pas lagi dimakam. Dan tadi, lebam ini ga ada. Terus kenapa bisa muncul tiba tiba?"

"Ga bawa ke orang pinter aja?"

"Gila! Bisa dimarahin abis abisan kalo ketahuan sama Vasilla."

"Takut kayak difilm conjuring ..."

Vento menatap Vexo dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Emang-nya bathsheba dikubur dimakam itu?"

Vexo menoyor kepala Vento sambil tertawa. "Jangan bercanda!"

Mata gadis itu perlahan terbuka, menyesuaikan pancaran cahaya yang menyerbu masuk mata-nya. Gadis itu mengedip berkali kali sebelum akhir-nya memijit pelipis-nya dan mengubah posisi-nya menjadi duduk.

"Mau kedokter?" tanya Vento tanpa basa basi.

"N ... Nggak" Vasilla masih memijat pelipis-nya.

"Lo kenapa pingsan tadi? Vento ngapain?" tanya Vexo, sarkas.

Vento langsung menatap Vexo dengan tatapan tajam dan Vexo pura pura tidak tau.

"Bukan apa apa, kak ... Bukan, Vento, maksud aku." Vasilla berdehem. "Aku ga bisa kemakam. Disana lebih banyak roh, daripada dirumah sakit. Mereka ngajak aku main, kealam mereka."

"Kaki kamu lebam." Vento menunjuk lebam dikaki Vasilla.

Vasilla langsung mencari cari lebam itu dan mengelus-nya setelah berhasil menemukan lebam yang membiru dikaki-nya. "Pasti gara gara anak kecil yang lempar batu tadi." gumam gadis itu.

Vexo mengernyit. "Anak kecil?"

"Bukan manusia." Vasilla tersenyum tipis lalu dia meregangkan tubuh-nya, apalagi punggung-nya yang terasa pegal.

"Ga ada Pinkan lagi, kan?" Vento menoleh sekilas kebelakang lalu mengangkat sebelah alis-nya sambil menatap Vasilla.

Vasilla menggeleng pelan lalu tersenyum. "Maka-nya kalau jalan lihat lihat. Hati hati."

Vento mengangguk sembari tersenyum.

"Oh ya, tadi pagi gw udah nelpon abang lo, nama-nya Gatha Samuel, kan? Gw udah kasih tau dia kalo lo nginep disini. Dan dia nyuruh lo buat jangan pulang dulu, soal-nya bokap sama nyokap lo udah tau kalo lo kabur dari psikiater sebelum jalanin terapi itu. Mereka lagi nyariin lo, jadi Vento ... Jangan bawa Vasilla keluar dulu."

Vento hanya mengangguk pelan lalu tersenyum. "Kak ... Laper."

"Delivery, mau? Vasilla mau apa?"

Vasilla menggeleng pelan. "Ga usah deh kak, takut ngerepotin."

"Nggak, sama sekali ga ngerepotin kok. Kan kamu juga udah bantu banyak. Mau makan apa? Spaghetti? Pizza? Chicken Wings? Hamburger? Kentucky?"

"Pizza Cheesy Corn sama Cheese Burger-nya 1." sahut Vento, padahal tidak ditanya.

"Gw bukan nanya lo! Elo mau makan batu juga gw ga peduli." Vexo membuang muka.

Vasilla tertawa kecil. "Ikutin Vento aja." sahut-nya sambil tersenyum.

"Yaudah, gw pesenin dulu." Vexo bangkit lalu berdiri dihadapan Vento. "Jagain." ucap-nya sebelum akhir-nya melangkah pergi dan menelpon untuk memesan makanan.

Vento duduk ditepi kasur sambil menatap Vasilla. "Gw pengen nanya, tapi ini agak keterlaluan."

"Tanya aja."

"Ehm ... Tadi, pas dimakam nyokap gw, lo liat nyokap gw gak?"

"Kalau aku bilang lihat, kamu bakal percaya?"

Vento terdiam, mata-nya masih menatap kedua manik mata Vasilla.

Mungkin, percaya ...

"Oke, kamu percaya ...?" Vasilla tersenyum.

Vento mengerjap berkali kali, dia lupa bahwa Vasilla bisa tau apa yang dia pikirkan.

"Aku ga lihat mama kamu, Vento." Vasilla tersenyum tipis. "Tanda-nya, dia udah pergi. Benar benar pergi dan ga mungkin kembali. Dia udah pergi dengan tenang, kenapa kamu masih mengharapkan dia kembali?"

Vento tersenyum, senyuman yang menyembunyikan sakit yang Vento rasakan. "Iyayah? Ngapain gw ngarep nyokap gw balik? Toh dia ga akan balik lagi." Vento terkekeh. Tawa yang terdengar pahit ditelinga Vasilla. Vasilla tau, Vento sedang menangis didalam hati-nya. "Makasih ..."

Vento bangkit dan beranjak pergi. Jika dia berlama lama disana, Vasilla akan tau bahwa dia sedang menahan tangisan-nya sendiri.

***

Vote + Coment!

[✔] Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang