Happy reading!
Petra POV
"Biar aku yang melanjutkannya, kau duduk saja." Suaranya rendah, penuh ketegasan yang tak memberi ruang untuk sanggahan.
Aku sempat terpaku, tapi akhirnya menurut. Dimas membimbingku ke sofa setelah menempelkan plester di jariku, tangannya terasa kuat dan hangat saat menyentuh pergelangan tanganku. Entah kenapa, debaran di dadaku terasa lebih keras daripada yang seharusnya.
Sementara aku duduk di sana, ia kembali ke dapur, melanjutkan memasak dengan gerakan yang santai tapi terukur. Namun, mataku membelalak begitu ia tiba-tiba menarik kaosnya dan melemparkannya begitu saja ke meja.
Tubuhnya tersaji di hadapanku tanpa penghalang—kulit kecokelatan yang merata, otot yang terbentuk sempurna seakan diukir dengan cermat, dan seulas kilau keringat yang semakin menonjolkan definisi tubuhnya. Dadanya naik turun perlahan saat ia membalikkan daging di atas panggangan, otot-otot punggungnya menegang setiap kali ia bergerak.
Aku menelan ludah, berusaha mengalihkan pandangan, tapi tatapanku kembali lagi seperti besi yang tertarik magnet.
Apa-apaan ini? Siapa yang menyuruhnya pamer begini?
Aku menggerutu dalam hati, tapi ada perasaan aneh yang menjalar di tubuhku, menghangatkan kulitku dari dalam. Dimas tampak begitu percaya diri, seolah sengaja membiarkanku menikmati pemandangan ini.
Aku menyilangkan kaki, berusaha menenangkan sensasi aneh yang muncul tanpa diundang. Napasku terasa lebih berat.
Apa ini cara Dimas membuat wanita tertarik padanya? Jika iya, sial, dia hampir berhasil.
•••
Hanya ada keheningan di antara kami.
Dimas berdiri di depan kompor, wajahnya fokus, tubuhnya hanya dibalut celana panjang yang menggantung rendah di pinggulnya. Otot punggungnya mengencang setiap kali ia menggerakkan tangan, mencapit daging di atas wajan panas. Cahaya lampu dapur jatuh, menyoroti lekuk ototnya dengan begitu menggoda.
Sial. Aku seharusnya mengalihkan pandangan, tapi entah kenapa mataku terus saja terpaku padanya.
"Butuh waktu berapa lama untuk membuat dua potong daging matang?" gumamku, lebih pada diri sendiri, tapi Dimas pasti mendengarnya.
Pria itu tak menoleh, hanya mengangkat sedikit bahunya sebelum akhirnya aku memberanikan diri memecah keheningan. "Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tanyakan saja." Suaranya dalam, nyaris bergetar di udara, menelusup masuk ke inderaku seperti desir halus yang entah bagaimana terasa begitu intim.
"Kau anak tunggal?"
"Tidak," jawabnya santai. "Aku memiliki seorang adik. Dia juga gadis sepertimu, namanya Daisy. Usianya dua tahun lebih muda darimu."
Aku sedikit terkejut. "Di mana dia? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?"
Dimas menoleh sekilas, tatapannya lebih lembut, lalu kembali fokus pada wajan. "Daisy tinggal dengan ibuku. Setelah orang tuaku berpisah empat tahun lalu, mereka pindah ke Jerman, dan Daisy melanjutkan sekolahnya di sana."
Aku mengangguk paham, meskipun di dalam hati, aku merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kepindahan. "Kenapa harus Jerman?"
Dimas terkekeh kecil. "Ibuku berasal dari sana. Apa kau tidak melihatnya? Wajahku saja tidak seperti warga Indonesia seutuhnya, bukan?"
Aku mengamati wajahnya lebih dalam—rahangnya tegas, hidungnya lurus sempurna, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang tajam namun menyimpan kedalaman yang sulit dijelaskan. Aku baru menyadari, memang ada sesuatu yang berbeda dari dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
His touch, Her desire
RomanceJarak usia yang cukup jauh membuat Dimas tak pernah menganggap Petra sebagai lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Namun, ketika mereka bertemu kembali, waktu telah mengubah segalanya. Petra tumbuh menjadi sosok memikat yang berhasil meruntuhkan p...