tiga

1.1K 129 7
                                    

"Omong omong, tadi kau bilang ada yang marah padamu, memangnya siapa?" Johnyyyyyy! Kenapa dibahas lagi sih. Aku sudah hampir lupa gara gara semangkuk mie pedas dan moccacino dingin, ini malah diingatkan lagi, aku jadi tidak nafsu makan lagi kan.

"Tidak penting, lagian aku juga tidak begitu akrab dengannya. Sudah mending kau fokus saja pada makananmu." Aku mencoba mengalihkan pembicaraannya dan memilih memakan lagi mie ku yang mulai mendingin.

"Jangan coba coba menyembunyikan sesuatu dariku, kau lupa hah aku ini sudah seperti anjing pelacak. Jadi kalau kau berbohong sedikit saja, akan cepat tertangkap oleh inderaku."

"Kau memang anjing."

"Iya, ehhh sialan kau memanggilku anjing. Maksudku itu kan persamaan, maksudnya, ah aku salah lagi. Harusnya aku tidak selalu memakai kata kiasan kalau berbicara padamu."

"Tuhkan barusan kau bilang persamaan. Berarti kau sama seperti anjing yang kau maksud."

"Iya kan saja asal kau bahagia. Capek aku berdebat soal anjing. Mending aku pesan lagi mie. Aku masih lapar."

"Ya terserah kau saja, anjing."

"Awas ya, aku tidak akan teraktir kau makan lagi nanti. Dan jangan sentuh sentuh lagi makanan yang sering aku bawa kekampus."

Aku hanya tertawa saja. Lagian dia sering sekali bilang seperti itu, tapi ujung ujungnya? Dia juga yang duluan menghampiriku dan minta maaf.

"Kenapa kau malah tertawa? Aku tahu aku lucu, tapi jangan begitu kenapa. Kau tertawa seperti tidak ada hari esok. Lihat orang orang memperhatikanmu."

Ahh iya, seharusnya aku tidak tertawa sebegininya. Aku takut nantinya malah menangis setelah ini. "Iya iya, tidak lagi. Makan lagi makan. Anggap saja ini aku yang traktir."

"Jadi kau yang bayar? Yeeeeay, aku mau pesan satu mangkuk lagi boleh ya, ditambah nasi ah biar kenyang."

"Tidakkk, kan anggap saja. Urusan yang bayar tetapppp, kauu."

"Hm sudah ku duga."

"Hehe."

*

"Kenapa sih kau tidak bisa memperlakukan orang baru dengan baik?" Apalagi sih adikku ini, sudah malam juga masih mengoceh tak jelas.

Aku hampir tertidur dengan lelap tapi karna pintu kamar yang lupa dikunci akhirnya dia nyelonong masuk saja tanpa permisi atau mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Apa sih kau ini. Aku ingin tidur, sudah jangan bahas bahas itu lagi. Bagaimana pun ini kamar kakakmu, jadi sopan sedikit!"

"Oh pantas saja dia murung tadi dan tidak mau menceritakan apa apa padaku. Mungkin karna ini, karna kata katamu yang begitu menjengkelkan."

"Harus ya? Kau bela teman barumu daripada kakakmu sendiri?"

"Dengar ya KAKAK CIO, aku bukannya membela siapa siapa disini. Sebagai adik aku hanya ingin mengingatkan saja untuk jangan terlalu kasar pada orang yang baru kau kenal."

"Kalau begitu kau tinggal saja dengan dia! Jadi kau tidak perlu repot repot mengurusi kakak yang menjengkelkan ini."

"Oh kalau itu maumu bisa saja. Tapi yang harus kau ingat, dia yang mendonorkan darahnya satu tahun yang lalu saat kau hampir sekarat karna butuh pendonor. Ya saat ayah dan ibu bahkan sedang diluar kota, dia yang rela mendonorkan darahnya, padahal dia orang asing."

"Jangan mengada ngada. Dia kan temanmu, bukan orang asing. Aku tidak percaya juga dia yang mendonorkan darahnya untukku. Kau bilang kau sendiri yang melakukukannya. Lagian tidak sampai sesekarat itu, jangan berlebihan."

"Karna dia tidak mau kau kenal dia karna merasa kasihan dan merasa perlu membalas budi. Heh! Golongan darahmu itu susah, yang memilikinya dikeluarga itu hanya aku dan ayah, aku tidak mendonorkannya karna kau kan tahu waktu itu aku sebahabis donor darah disekolah, aku sudah lemas dan mana bisa mendonorkannya lagi padamu, bisa bisa aku yang mati."

"Hmm."

"Semenjak itu aku menyimpan kontaknya diponselku. Hanya saling menyimpan dan tidak pernah bercerita apa apa." Dia terlihat kesal sambil tertawa hambar. "Dan kau tahu? Dunia ini ternyata begitu sempit sekali ya? Dengan sangat kebetulan aku bertemu kembali dengannya dikampus yang sama, jurusan yang sama serta kelas yang sama." Lanjutnya. Aku benar benar kaget, omongannya barusan membuat perasaanku berfikir sejenak, kenapa? Kenapa Lucas harus bilang hal seperti itu padaku?

Lalu alasan Tuhan menemuiku pada Mark untuk apa?

"Kau terlalu berbelit belit. Bagaimana ya, aku tidak percaya dengan omonganmu."

"Terserah saja, aku tidak berharap kau percaya padaku, lagian kau kan memang tidak percayaan pada siapapun."

Dia langsung pergi dari kamarku sembari membanting pintu cukup keras, membuat jantungku berdetak lebih cepat.

Haruskah aku percaya? Dia kan sering membodohiku, aku tidak mau dibodohi lagi oleh adikku sendiri.

Ahhh tapi kenapa tiba tiba aku ingin menangis.

*

Aku jadi tidak bisa tidur kan sekarang. Gara gara perkataan Lucas tadi masih terngiang ditelingaku. Bagaimana kalau yang dikatakannya kali ini memang benar?

Kenapa juga sih aku harus kepikiran. Apa aku harus menyelidikinya? Tidak tidak, tidak perlu seberlebihan itu.

Kenapa juga sih diluar berisik sekali.

Aku mengintip ruang tengah dari pintuku. Sedikit membukanya karna takut ketahuan. Kenapa lagi aku hari ini, sangat berlebihan.

Pokoknya itu lah, aku tidak mau Lucas melihatkku sedang ingin tahu begini.

Mark?

Dan

Johnny?

Kenapa ada mereka berdua disini?

Sebentar sebentar, mereka memang sering datang kesini, terlebih Johnny karna sudah lama kenal juga dengan adikku. Mark juga walaupun baru dikenal Lucas, dia juga sering datang kesini untuk main. Tapi kenapa sekarang mereka jadi dekat? Mereka berteman atau apa?

"Kau mau terus mengintip dari sana?" Adikku menyadarinya. Aku kelabakan, kenapa juga dia bisa tahu. Ah kenapa aku bodoh sekali, didepan itu televisi kan? Dan jelas bayanganku terpantul disana.

"A a aku ingin tidur, jangan terlalu berisik." Aku langsung menutup kembali pintu dan menguncinya.

Kenapa juga harus ketahuan sih, kan malu. Mana Mark juga terus melihat padaku.

Kenapa harus Mark coba yang aku bicarakan sekarang. Kan yang melihatiku tadi bukan hanya dia, Johnny dan Lucas juga mereka melihatku kan.

Aku rasa sekarang aku mulai tidak waras lagi.

moccacino, mark lee (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang