"Yang lain pada kemana?" Tanya Lucas ke Leon dan Kevin.
"Ah taulah, mereka sibuk ngebucin."
"Jadi kita itu apa ya? Sudah berdua berdua, nempel nempel lagi aihh geli." Jawab Lucas. Mark hanya terkekeh, suasana hatinya sedikit mendung, makanya dia terlihat lesu.
"Pesan makanan gih."
"Mau makan apaan nih."
"Apa ajalah terserah."
Mereka kemudian memesan makanan, sedikit berbincang sambil menunggu pesanan datang.
"Eh gimana tuh si Jelly? Dengar dengar dia sampai jadi pendiam gitu, tiap ditanya sama anak anak kelas selalu menghindar."
"Kenapa tiba tiba bahas dia sih." Jawab Lucas sedikit sensi, dia semakin merasa bersalah.
"Ya habis masih jelas sekali dalam otakku, pas kau bilang, Jell, maaf tapi ini cuma prank. Seketika wajahnya berubah pucat." Leon mencoba mengingat kembali kejadian itu dan tertawa setelahnya.
"Kau malah dengan jahatnya menertawakan dia." Sahut Mark.
"Aku bukan menertawakannya, aku hanya menertawakan Lucas. Siapa tuh yang kasih Lucas tantangan itu nih si Kevin nih."
"Dih kan itu cuma buat seru seruan aja. Dianya aja yang baper."
Semakin dipikirkan, Lucas semakin tidak enak hati pada Jelly. Dia tidak melanjutkan pembicaraannya lagi dan memilih untuk langsung melahap makanan yang sudah tersedia.
"Mau tantangan lagi gak nih?" Leon mencoba memancing lagi.
"Ini lagi. Gak!!!" Tegas Lucas.
Drrrrrrt.
Ponselnya bergetar beberapa kali. Milik Mark, dia lalu melihatnya sekilas. Ada panggilan masuk disana.
Yena?
Tapi dia tidak mengangkatnya. Dan tak kunjung lama Yena mengirimnya pesan. 'Mark, aku sakit. Dirumah tidak ada siapa siapa, bibi pulang karna ada urusan dikampungnya. Hanya kau yang bisa aku andalkan sekarang.'
*
"Bu?" Tanya Cio sambil membuka pintu kamar. Berjalan kearah dapur untuk menemui ibunya. "Bu ada mie instan gak?"
"Cio? Kapan kau pulang? Kau dari mana saja sih ibu cari cari kemana mana. Ayah marah tuh."
"Ih ibu apaan sih orang Cio barusan dari kamar."
"Jangan bohong Cio."
"Iya iya. Cio tadi kabur sebentar, habisnya Cio kesal sekali dengan ayah. Ibu tau tidak alasan ayah menjodohkan Cio sama Johnny dan ingin cepat cepat mengadakan pertunangan?"
"Itu karna kalian sudah kenal lama dan orang tua mereka kenal kita juga."
"Buuu, bukan hanya itu. Ayah ingin hartanya mereka." Cio berusaha menahan rasa kesalnya. Kalau harus bilang, dia sangat kesal, benci dan juga marah dengan situasi ini.
"Cio dengarkan ibu, ini hanya perjodohan biasa. Jalani saja dulu, nanti kau akan merasa nyaman dengan sendirinya. Kalian kan teman, tidak akan secanggung itu kan?"
"Bukan itu masalahnya bu. Cio tidak mencintai Johnny bu, dia itu sudah Cio anggap sebagai teman sekaligus abang, tidak bisa lebih."
"Urusan cinta itu gampang Cio, bisa nyusul seiring berjalannya waktu. Kau hanya perlu lebih dekat lagi dengan dia supaya perasaanmu luluh." Ibu masih saja mencoba meyakinkan Cio.
Sedangkan Cio semakin merengek. "Buuu, Cio masih muda, umur Cio baru 22 tahun. Cio belum siap. Masih banyak yang ingin Cio capai sebelum memutuskan untuk menikah! Cio ingin lulus dengan nilai yang memuaskan, melanjutkan s2, atau misalnya mencari pekerjaan, bekerja ditempat yang Cio inginkan dan melakukan hal yang belum pernah Cio coba."
Ibu berusaha menenangkan Cio, mengusap rambut anaknya itu lembut dengan kedua tangannya. "Ciooo, ibu tidak akan langsung menikahkanmu. Dengarkan ini hanya pertunangan biasa saja, hanya sebagai ikatan kalau kalian resmi menjadi sepasang kekasih. Sudah saatnya kau mencari pasangan yang serius, bukan saatnya untuk main main lagi."
"Buuuu..."
"Ciooo.."
Cio menarik napasnya pasrah. Dia tidak bisa melakukan apa apa sekarang. Membujuk kedua orang tuanya hanyalah sia sia. Dia benar benar harus mendatangi Johnny.
*
"Sudah minum obat?" Tanya Mark, menyentuh kening Yena sebentar. Tidak ada yang aneh, suhu badannya terasa normal.
"Sudah." Jawab Yena cepat.
"Tidak terlalu panas."
Yena menarik selimutnya dan menenggelamkan dirinya disana. "Itu karna aku sudah meminum obatnya, jadi kondisinya sekarang mulai membaik."
"Lalu kenapa kau menyuruhku kemari?"
"Memangnya tidak boleh? Biasanya kau selalu kemari tanpa aku suruh."
Mark hanya tersenyum kecut. Ada hal yang sangat ingin dia tertawakan sekarang. "Dulu sebelum kau menyalah artikan kebaikanku."
"Mark... Tidak bisakah kau benar benar melupakan masa lalu? Aku ragu kalau kau belum memaafkanku sepenuhnya."
"Tergantung sikapmu padaku. Aku akan terus menjauh kalau kau masih begini."
"Begini bagaimana? Memangnya aku kenapa? Kau yang harusnya bertanya pada dirimu sendiri. Sudah benarkah apa yang kau putuskan itu?!"
"Maksudmu?"
"Sudahlah. Lupakan saja."
Mark diam dan tidak menanggapi kata kata Yena lagi. Dia terus menatap tajam kearah Yena.
"Kau yakin mau meneruskan perasaanmu itu pada Cio? Aku tidak yakin kalau perasaan itu benar benar perasaan sukamu pada seorang gadis." Lanjut Yena. Mark masih diam sambil mencoba menahan amarahnya. "Atau kau memang terobsesi karna dia mengingatkanmu pada Milla?" Lanjut Yena.
Mark mendekatkan wajahnya kehadapan Yena yang sedang berbaring. Tatapannya yang tajam dengan nafas yang menggebu membuat Yena bungkam. "Tidak usah ikut campur lagi urusanku. Cukup kau yang merusak semuanya dulu, aku tidak akan memaafkanmu lagi kalau kau sampai mengungkit ungkit hal itu dihadapanku!!!"
"Aku tidak akan tinggal diam sampai kau menempati janjimu dulu untuk bersamaku. Kau bilang akan bersama denganku selamanya kan? Mana sekarang aku tagih janjimu."
"Janji yang mana? Jangan mengada ngada. Kalau kau masih begini, aku tidak segan segan menyakitimu!"
"Coba saja kalau kau bisa. Kau mau membunuhku? Bunuh saja biar sekalian aku menyusul Milla disana. Um aku akan menemaninya agar dia tidak kesepian.. ide bagus." Kekehnya membuat Mark muak, dia memilih untuk pergi dari sana dengan kasar.
"Markkkk! Kau mau kemana!!"
"Markkkk! Kembali atau aku benar benar membunuh diriku sendiri!!!!!"
Mark terus berjalan tanpa memperdulikan omong kosong Yena. "Aku menyesal telah mengenalmu." Tanpa menengok lagi kebelakang, Mark terus berjalan dan pulang tanpa perasaan bersalah sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
moccacino, mark lee (selesai)
Fanfictionkenapa harus moccacino? rasanya seperti aku harus menuang lagi gula agar rasanya sepadan. tetap saja, meskipun pahitnya menghilang, aku slalu mengharapkan dia jangan sampai pergi..